Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya Jl. Ahmad Yani D-6 Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543 E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Sleman. majalahbuser.com - Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan, Hudono SH dalam workshop peran media dalam mengontrol isu-isu gender melalui pemberitaan yang responsif gender di Hotel Cakra Kembang, pada Jumat (20/6).
Mengungkapkan, bahwa selama ini sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual masih tergorong ringan.
Dalam Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, hukuman penjara bagi pelaku kejahatan seksual tertulis minimal 3 tahun.
Sabtu, 21 Juni 2014
Jurnalis Wajib Memiliki Empati Terhadap Isu Gender
Pidana tersebut tentu tidak sebanding dengan derita yang dialami korban. Dan menurutnya, perlu adanya revisi dalam UU tersebut terutama terhadap pemberian sanksi.
"Jika pelakunya berusia dewasa, setidaknya dapat terkena hukuman penjara seumur hidup. Tapi jika pelakukanya dibawah usia 18 tahun, maka tidak dapat terkena pidana seumur hidup karena masih tergolong anak-anak. Tapi setidaknya minimal 5-10 tahun," katanya.
Masih menurut Hudono, selama ini masih ada sejumlah media yang tidak memperhatikan undang-undang ketika memberitakan tentang kejahatan seksual. Terutama baik yang menjadi korban maupun pelaku adalah anak-anak. Dicontohkannya, ada media yang dalam memberitakan kasus kekerasan anak justru diungkapkan secara detail.
"Padahal diharapkan setiap pemberitaan dapat menumbuhkan empati. Bukan menginspirasi untuk melakukan simulasi. Selain itu juga dihimbau menciptakan opini publik dan kesadaran secara kolektif, sehingga muncul anggapan bahwa kekerasan seksual terhadap anak harus dilawan," jelasnya.
Sementara itu Esti Susilarti selaku Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (YP3A) Sehati Yogyakarta, berharap kepada awak media sekarang mulai memiliki 'sense' tentang kesetaraan gender. Apalagi masih banyak media yang tidak menanyakan bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi.
"Contohnya saja ketika ada kasus pornografi, prostitusi atau pelecehan seksual. Semua menempatkan perempuan sebagai tersangka atau objek yang diamati. Bukan sebagai sudut pandang perempuan. Untuk itu dibutuhkan sosok jurnalis yang memiliki rasa empati, terutama yang memberitakan terkait kekerasan. (hm/herlit)
Pembicara dalam workshop peran media dalam mengontrol isu-isu gender melalui pemberitaan yang responsif gender