Buruh pemecah batu kali ini biasanya mengambil sendiri bahan baku di dasar sungai, saat aliran Progo tergolong aman. Namun sekarang, persediaan batu kali di pos atas tebing yang mulai menipis memaksa para pengambang batu berjibaku dengan ganasnya Sungai Progo untuk mengisi persediaan.
"Setiap hari hujan. Alirannya sering deras. Hanya kaum pria saja yang berani mengambil batu di situ. Itu pun harus melihat kondisi debit," lanjutnya.
Dalam sehari, seorang buruh pemecah batu rata-rata mampu mengumpulkan batu kerikil sebanyak 10-15 tenggok. Untuk pecahan batu ukuran 2X3 sentimeter, satu tenggok seberat 20 kilogram dijual Rp1.500. Sedangkan batu kerikil ukuran 2X1 sentimeter dijual Rp2.000 per tenggok.
Haryoto, buruh pemecah batu lainnya mengatakan, keganasan Sungai Progo mudah terdeteksi secara visual. Para pemecah batu memperkirakan tingkat keganasan sungai dari tinggi muka air (TMA) yang tertera di talud Jembatan Trinil.
"Kalau muka air menyentuh pertengahan tangga, kami tidak berani turun," katanya.
Di musim penghujan ini, batu yang bisa diangkut dari dasar sungai ke tebing tak lebih dari belasan buah, dari sebelumnya mencapai puluhan saat musim kemarau. Ketika mengambil bongkahan di dasar sungai, para pemecah batu ini tak dilengkapi perlengkapan standar keselamatan.
Mereka turun berkelompok antara tiga sampai lima orang demi saling menjaga. Bahan baku yang diangkut berupa batu kali dengan ukuran sedang.
Meski pasokan bahan baku di pos pemecah batu menipis, namun hal itu tak menimbulkan dampak signifikan terhadap aktivitas tersebut.
"Kami setiap hari masih menambang dan memecah batu. Berangkat pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 16.00 WIB. Saat ini mengandalkan tenaga kuat yang berani mengambil batu dari bawah sana," kata Bakin (40), pemecah batu lainnya.
Di pos pemecah batu sekitar Jembatan Trinil terdapat sedikitnya 25 orang pemecah batu asal Desa Kalijoso, Kecamatan Secang. Pecahan batu dijual ke perorangan atau ke proyek melalui pengambilan langsung di pos-pos tersebut. (Wie)