"Betul, memang KUHAP dan KUHP perlu melakukan studi komparatif, masukan, melihat dan mendengar secara langsung dari sumber yang menganut Eropa konstinental, kalau kita kan selama ini menganut Belanda," kata anggota Komisi III Dimyati Natakusuma di Gedung DPR, Jumat 22 Maret 2013.
Anggota Komisi III, kata Dimyati, akan dibagi menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing negara ada 15 orang berangkat. "Itu termasuk dengan sekretariat ya," kata dia.
Rencananya, mereka akan kunker selama tiga hari. Tetapi belum diketahui kapan mereka akan berangkat. "Saya sendiri nanti ke Inggris."
Apa urgensinya? Menurut Dimyati, banyak pasal yang bisa dipelajari di empat negara tujuan itu. Misalnya saja, pasal santet, juga dapat didalami di negara itu. "Santet itu bagian dari sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Itu (santet) subnya. Ini perlu pengaturan-pengaturan," ujar dia.
Dalam RUU KUHP itu, santet tercantum dalam Pasal 293 ayat (1), yang bunyinya: Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Sementara, ayat (2) berbunyi: Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
KUHP Baru, Lajang Berzina Bisa Dipenjara 5 Tahun
Dalam KUHP yang ada saat ini, ancaman maksimal zina hanya 9 bulan.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memperluas definisi pelaku berzina hingga ke pasangan lajang. Dalam KUHP lama, pasal ini hanya menjerat pelaku--baik salah satu maupun kedua pelaku--yang terikat perkawinan.
Dalam dokumen rancangan KUHP yang diterima VIVAnews, Pemerintah mencantumkan masalah ini di Pasal 483. Selain memperluas definisi pelaku, Pemerintah juga menaikkan pidana dari sebelumnya hanya 9 bulan menjadi lima tahun.
Perbuatan zina ini tercantum di bagian Keempat dengan judul 'Zina dan Perbuatan Cabul.' Berikut bunyi Pasal 483 ayat (1-4):
(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
a. laki laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki laki yang bukan suaminya;
c. laki laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki laki, padahal diketahui bahwa laki laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menjelaskan, pasal ini merupakan bentuk pengaturan ketertiban. "Ini menampung satu perkembangan pemikiran hukum bahwa kebebasan seperti ini tidak boleh tanpa ada aturan," kata Amir.
Lihat videonya di sini.
Di samping itu, pasal ini juga menimbang nilai budaya dan norma agama. "Tapi tetap harus ada batasan sedemikian rupa sehingga UU ini tidak sewenang-wenang diterapkan," kata dia. Salah satu batasan adalah delik aduan di mana harus ada yang keberatan dengan perbuatan zina.
"Orang yang keberatan pun tidak boleh sembarangan. Di Pasal 483 dijelaskan, pihak ketiga itu pihak yang berkepentingan. Mereka harus ditanya, sejauh mana terganggunya," jelas Amir. (VIVA)