Kabar itu sendiri didapatkan melalui email yang diterimanya dari kapten kapal Slamet Juhari, yang dikirimkan pada Jumat (8/4/2011) malam kemarin.
"Saya tidak tahu sejak kapan naik jadi segini, cuman kabar yang semalam saya terima menyebutkan begitu. Sebelumnya naik tiga setengah gak direspon, sekarang perompak minta sembila juta dollar," ungkap Yunita, kepada detiksurabaya.com di rumahnya, Desa Purwokerto, Kecamatan Ngadiluwih, Sabtu (9/4/2011).
Selain mengabarkan nilai tebusan yang naik menjadi US$ 9 juta atau Rp 77 miliar, dalam email yang dikirimkan Slamet juga menyebut kondisi ke-31 ABK, 20 diantaranya WNI sangat memperihatinkan. Selama penyanderaan seluruh ABK ditempatkan di kardek bagian dasar kapal, serta persediaan air bersih yang hanya menyisakan lumpur. Sebagian besar ABK juga dikabarkan terserang diare.
"Jadi kabar yang selama ini disampaikan perusahaan itu bohong. Buktinya, ini kabar langsung dari kapal menyebut mereka dalam kondisi mengenaskan," tegas Yunita.
Mendapati kondisi ABK kapal Sinar Kudus, termasuk suaminya, Yunita mengaku semakin cemas. Terlebih dalam surat elektronik yang dirimkan Slamet, sejauh ini proses negosiasi yang diklaim dilakukan PT Samudera Indonesia hanya kebohongan, karena yang terjadi di lapangan tidak sekali pun terjadi usaha pembebasan.
"Sekarang ini nilai tebusan lebih dari separo nilai barang yang dimuat. Saya mohon banget PT Samudera (Indonesia) serius, ini menyangkut nyawa awak kapal," sambungnya serius.
Dengan kondisi yang tengah dialami ABK, Yunita berharap semua pihak yang berkompeten dengan permasalahan tersebut bisa membantu. Bahkan Yunita juga mengaku sudah melaporkan apa yang dialami suaminya ke Presiden SBY, meminta agar pemerintah bisa lebih serius membebaskan Kapal Sinar Kudus.
"Pagi tadi adik saya kirim surat ke Pak SBY lewat email. Intinya ya minta tolong, bagaimanapin caranya agar suami saya bisa segera bebas," pungkas Yunita.
Seperti diinformasikan sebelumnya, Kapal Sinar Kudus dibajak oleh perompak Somalia di perairan Laut Arab, saat melakukan perjalanan dari Pomalaa, Sulawesi Selatan menuju ke Roterdam, Belanda, tangga 16 Maret 2011 lalu. Kapal yang diawaki oleh 31 ABK, 20 diantaranya Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut bermuatan biji nikel dan seharusnya sudah sampai 34 hari setelah keberangkatan.
Usaha pembebasan sendiri hingga saat ini belum membuahkan hasil, sementara keluarga ABK mengaku sangat cemas. Mereka berharap pemerintah RI bisa turun tangan membantu pembebasan, dan sudah melaporkan kejadian tersebut melalui kotak aduan online Mabes Polri. (bdh/bdh)(detikSurabaya)