Namun hingga sepekan dari pernyataan presiden soal evaluasi kabinet, belum ada tindakan yang berarti.
Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani meyakini tidak akan ada reshuffle kabinet. Penyebab utamanya terletak pada diri Presiden SBY. "SBY kesulitan dalam komunikasi dengan Partai Golkar dan PKS, namun di sisi lain, belum ada jaminan PDIP dan syarat dari Gerindra," katanya.
Ramai-ramai desakan reshuffle bermula dari usul hak angket pajak yang bergulir di parlemen. Partai Golkar dan PKS dalam kenyataannya tidak seirama dengan barisan koalisi.
Atas dasar itulah, desakan agar Partai Golkar dan PKS agar dikeluarkan dari koalisi muncul. Partai Demokrat kali pertama yang menyuarakan usulan ini. Kemudian disusul oleh anggota koalisi lainnya, seperti PAN dan PKB.
Wakil Sekjen DPP PKS Mahfudz Siddiq merespon desakan reshuffle kabinet oleh Partai Demokrat tak lebih sebagai upaya untuk menjerumuskan Presiden SBY. "Inilah blunder politik yang dihadapi Presiden SBY akibat sikap dan manuver politik sejumlah elit Partai Demokrat," katanya di gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/3/2011).
Mahfudz menilai, langkah Partai Demokrat didorong kemarahan sesaat yang disisipi oleh kepentingan-kepentingan tersembunyi. Sayangnya, lanjut Mahfudz, elit Partai Demokrat tidak mengkalkulasi implikasi serius yang harus ditanggung oleh Presiden SBY.
Memang cukup sulit pilihan yang harus diambil Presiden SBY untuk melakukan evaluasi atau penataan ulang terhadap koalisi. Karena realitas politik di lapangan, PDI Perjuangan dan Partai Gerindra nyatanya tidak bisa diajak dalam barisan koalisi.
PDI Perjuangan terbentur faktor Megawati Soekarnoputri yang konsisten dengan keputusan Kongres PDI Perjuangan di Bali, April tahun lalu yang memutuskan untuk tetap berada di luar pemerintahan. Sedangkan dengan Gerindra, syarat yang diajukan partai berlambang burung garuda itu, sulit dipenuhi oleh Presiden SBY.
Realitas inilah yang tidak terbaca dengan jeli oleh para politisi Partai Demokrat dengan mendorong Presiden SBY melakukan reshuffle terhadap menteri Partai Golkar dan PKS.
Situasi ini sejatinya telah dibaca petinggi PKS. Salah satu petinggi PKS menyayangkan pernyataan Presiden SBY saat mengomentari soal desakan reshuffle. "SBY telah terprovokasi Partai Demokrat. Ini sama saja Partai Demokrat melakukan ‘kudeta sunyi’ terhadap Presiden,” kata sumber kepada INILAH.COM yang enggan disebutkan namanya.
Memang jika menilik beragam pernyataan elit Partai Demokrat, dimulai dari Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pernyataan pertama Anas yang cenderung keras terkait koalisi, disampaikan sehari menjelang sidang paripurna DPR, Selasa (22/2/2011) lalu.
"Kalau sering berbeda apa bedanya partai koalisi dengan partai non koalisi. Jadi mungkin saja, ada bagian dari koalisi yang terpaksa kami ikhlaskan," kata Anas seusai rapat internal Fraksi Partai Demokrat di gedung DPR, Jakarta.
Pasca pernyataan Anas, gerakan dari internal pengurus DPP Partai Demokrat kian massif mengkampanyekan reshuffle kabinet. Mulai dari Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa, Ulil Abshar-Abdalla, Rachland Nasidik dan Ikhsan Modjo.
Ketika dikonfirmasi perihal ragam pernyataan Partai Demokrat, Anas Urbaningrum belum membalas pesan singkat yang dikirim INILAH.COM. Memang banyak spekulasi atas manuver Anas dan para koleganya di Partai Demokrat terkait reshuffle kabinet.
Manuver ini ditujukan untuk menguji eksistensi Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat di mata Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY dan internal pengurus Partai Demokrat. Ada pula kemungkinan, dengan manuver ini, Partai Demokrat berharap mendapat kursi tambahan di kabinet.
Yang paling ekstrem, dengan usulan reshuffle kabinet ini, sejatinya ingin merongrong kekuasaan Presiden SBY. Karena dengan melakukan reshuffle kabinet jelas akan menaikkan tensi politik antarpartai terhadap pemerintahan SBY.
Isu-isu politik aktual seperti rencana kenaikan harga BBM, krisis pangan dan lain-lain potensial menjadi alat ampuh untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. Apalagi, jika skenarionya Partai Golkar dan PKS ditendang dari koalisi.
Potensi inilah yang tidak memustahilkan jika terjadi ‘Kudeta sunyi’. Cukup ironi, jika kudeta sunyi ini justru muncul dari Partai Demokrat. Namun sejarah negeri ini cukup memberi contoh, Soeharto jatuh juga karena orang-orang dekatnya. Semoga kali ini tidak.
[mdr](INILAH.COM)