Para serdadu dihela ke jalanan menghabisi pendemo. Tank memenuhi seluruh penjuru Tripoli. Tapi tidak semua tentara takluk pada perintah yang nyaris tak masuk akal itu. Dengarlah kisah Abdali dan Khadafi. Keduanya pilot pesawat tempur. Diperintahkan petinggi militer menghabisi musuh di kota Benghazi.
Itu kota kedua terbesar di segenap Libya. Dikuasai massa anti Khadafi. Dan militer seperti kehabisan akal merebut kota itu. Mengudara sekian menit, kedua pilot itu takluk oleh nurani mereka sendiri. Tak mungkin membombardir kota dengan ribuan orang di jalanan. Mereka meninggalkan pesawat itu dengan kursi pelontar yang dilengkapi parasut. Pesawat Shukoi buatan Rusia itu menghujam tanah. Meledak. Sebelumnya dua pilot lain yang diperintahkan menembak massa di Benghazi memilih menerbangkan pesawat itu ke Malta dan meminta suaka di sana.
Kengerian lain berlangsung di sebelah barat Tripoli. Kamis, 24 Februari 2011, serdadu Khadafi membombardir sebuah Masjid di situ yang dituduh sebagai sarang para demonstran. Sejumlah saksi mata menuturkan bahwa pasukan militer mengunakan rudal anti pesawat dan senjata otomatis. Puluhan orang tewas dan ratusan lain luka parah. Jumlah serdadu yang membangkang terus bertambah. Tapi Khadafi dan petinggi militer menghukum mereka tanpa ampun. Sejumlah 130 tentara yang diduga membangkang sudah ditembak mati. Aksi tembak mati itu diketahui dunia lewat sebuah video yang dimiliki oleh Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (IFHR), seperti dilansir dari laman Press TV, 23 Februari 2011.
Video itu mempertontokan bagaimana eksekusi mati itu berlangsung. Terlihat sekitar 130 tentara yang tewas ditembak dengan tangan diikat ke belakang. Mereka dieksekusi di kota Al-Baida, timur Benghazi. Kengerian di Libya itu mencemaskan dunia. Hampir semua negara berusaha keras mengevakuasi warga mereka dari sana. Beberapa negara malah mengirim pesawat khusus guna menjemput warganya.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Tatang Boedi Utama Razak, memastikan bahwa pemerintah terus memantau perkembangan situasi di negeri itu. Menurut Tatang, rencana evakuasi telah disiapkan dan tinggal menunggu waktu yang tepat. "Kami sedang menunggu waktu yang tepat untuk evakuasi. Diperkirakan dalam 1-2 hari ini," ujar Tatang, di Jakarta, Kamis, 24 Februari 2011.
Kementerian Luar Negeri memperkirakan 875 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Libya. Sebanyak 550 di antaranya bekerja di sektor formal, 130 mahasiswa, dan sisanya adalah WNI yang bekerja di sektor informal.
Migrant Care malah mencatat lebih dari 1.000 WNI berada di tengah pergolakan berdarah di Libya. Di antara WNI tersebut, mayoritas adalah pekerja ilegal atau tidak terdaftar di Kedutaan Besar RI di Tripoli. "Menurut perkiraan kami, WNI di Libya antara 1.000 sampai 2.000 orang, dan mayoritasnya tidak terdaftar," ujar Direktur Migrant Care, Anis Hidayah.
Berbagai perusahaan di Indonesia yang mengirimkan pekerjanya ke Libya, seperti PT Wijaya Karya Tbk, PT Pertamina, dan PT Medco Energi Internasional Tbk, pun telah menghubungi Kementerian Luar Negeri untuk mengevakuasi karyawan mereka.
Sewa Pesawat
Untuk proses evakuasi, manajemen Wijaya Karya bahkan harus menyewa satu pesawat asing untuk memulangkan sekitar 200 pekerjanya di Libya.
"Kami terus berkoordinasi dengan Kemenlu dan KBRI di Libya untuk segera mungkin mengevakuasi para pekerja yang mencapai 200-an orang dari Libya," tutur Natal Argawan, sekretaris perusahaan Wijaya Karya.
Natal memperkirakan, dalam pekan ini atau pekan depan, para tenaga kerja Indonesia yang ada di Tripoli sudah kembali ke Tanah Air. Sementara itu, para pekerja asing yang juga direkrut Wijaya Karya, menurut dia, sudah kembali ke negaranya masing-masing. Sebab, mereka berasal dari negara-negara yang dekat dengan Libya. "Jadi, mereka ada yang jalan darat dan tidak perlu naik pesawat," kata Natal.
Wijaya Karya sebetulnya sedang dalam proses pengerjaan proyek pusat perbelanjaan (mal) di Qurji Investment Complex di Tripoli, Libya senilai US$16 juta atau sekitar Rp141,59 miliar. Namun, situasi politik dan keamanan yang semakin tidak menentu di negara Afrika Utara tersebut memaksa perseroan menghentikan sementara proyek tersebut. "Ya, mandek jadinya," kata dia.
Dia mengakui, proyek mal tersebut sudah digarap Wijaya Karya sejak September 2010 dan ditargetkan kuartal kedua tahun ini selesai. Tetapi, dengan adanya kerusuhan di Libya membuat proyek itu molor dari proyeksi semula.
Upaya menarik seluruh karyawan dari Libya juga dilakukan PT Pertamina. Juru Bicara Pertamina, Mochammad Harun, mengatakan, Pertamina telah menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Libya untuk mengevakuasi karyawannya.
"Kami tidak bertindak sendiri, tapi dengan KBRI di sana," kata Harun.
Pertamina mengelola blok Sirt dan Sabrata di lepas pantai Libya melalui Pertamina E&P Libya Limited. Perusahaan ini melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas di bawah Perjanjian Eksplorasi dan Produksi (EPSA) dengan National Oil Corporation (NOC). Namun, menurut Harun, operasi Pertamina Libya sudah berhenti, sehingga warga Indonesia yang bekerja di sana tidak banyak lagi. "Tinggal karyawan kantor yang mengurus keperluan administrasi," katanya.
Sementara itu, Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk, Lukman Mahfoedz, mengatakan, akibat kekacauan politik maupun keamanan di Libya, perseroan juga memilih untuk menghentikan kegiatan pengeboran di sumur E 4 yang baru saja diperoleh Medco tahun ini.
"Jadi, kami hentikan dulu pengeboran sumur baru yang merupakan eksplorasi tambahan dan tidak masuk program perseroan tahun ini," kata dia
Untungnya, perseroan sudah berhasil melakukan pengeboran sumur Area 47 di cekungan Ghadames, bagian Barat Laut Libya yang dijadwalkan sesuai program eksplorasi, yaitu dari 1 April 2010 hingga Maret 2011. "Jadi, di saat kisruh di Libya, sumur itu sudah selesai pengeboran, tinggal dalam tahap general maintenance dan persiapan pengeboran sumur lain," ujar Lukman.
Lukman mengakui, total karyawan Medco Energi yang berkantor di Tripoli, Libya mencapai 80 orang. Namun, dari keseluruhan itu, sekitar 85 persen adalah orang Libya. Sisanya sekitar 15 persen adalah pekerja asing, termasuk dari Indonesia sebanyak empat orang.
"Sebagian dari mereka kebetulan sedang tidak bertugas di lapangan dan saat ini dalam tahap pemulangan ke negara masing-masing," ujarnya. (VIVAnews)