Brigade Al Qassam, organisasi sayap Hamas, memusnahkan tank Israel saat asap membubung di dekat perbatasan Israel-Gaza di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

DALAM analisanya di laman Foreign Affairs pada 11 Oktober 2023, pakar intelijen dari Hoover Institution, Stanford University, Amy B. Zegart, mengatakan bahwa salah satu penyebab fatal dari serangan dadakan Hamas ke teritori Israel adalah kegagalan intelijen Israel dalam mendeteksi rencana aksi Hamas.

Dalam analisa berjudul “Israel’s Intelligence Disaster”, Amy menulis bahwa kegagalan dalam mencegah terjadinya serangan dadakan akan menjadi bencana intelijen, jika Israel tidak segera melakukan instrospeksi atas kapasitas pencegahan dalam badan intelijennya.

Menurut penulis buku “Spying Blind” (2007) yang mengulas beberapa kelalaian CIA dan FBI pada peristiwa Nine Eleven tersebut, Hamas berhasil mengeksploitasi rutinitas aktifitas pengumpulan informasi yang dilakukan intelijen Israel, layaknya pelaku bom WTC yang juga memanfaatkan rutinitas biasa CIA dan FBI.

Keasyikan, bahkan ketergantungan, intelijen Israel dengan alat-alat super canggih membuat mereka cenderung menganggap Hamas “undercontrolled”, lalu meng-underestimate kapasitas serangan dadakan yang mampu dilakukan oleh Hamas kemudian hari.

Keterlenaan tersebut membuat intelijen Israel bekerja berdasarkan rutinitas sehari-hari, karena beranggapan bahwa Hamas masih berada dalam posisi status quo, tanpa membuka wacana baru tentang peluang Hamas untuk melakukan terobosan serangan dadakan di luar kontrol Israel.

Kegagalan dan keterlenaan tersebut juga berasal dari kelalaian intelijen Israel dalam menemukan legitimasi baru bagi Hamas untuk melakukan serangan, yakni faktor geopolitik.

Tak pelak, situasi ini membuat intelijen Israel berada dalam posisi yang sama dengan CIA dan FBI sebelum terjadinya peristiwa Nine Eleven.

Ketika itu, Amerika Serikat sedang menikmati sepuluh tahun masanya sebagai Hyper Power, setelah Uni Soviet runtuh berantakan tahun 1991.

Situasi geopolitik yang demikian menepis asumsi ancaman eksternal atas Amerika Serikat, karena negara Paman Sam itu adalah negara Hyper Power, dengan kekuatan militer terbaik di dunia yang juga disokong oleh kecanggihan teknologi kelas satu.

Namun nyatanya jejaring Al Qaeda tak banyak melakukan upaya terobosan teknologi. Mereka masuk ke Amerika Serikat dengan cara normal, bahkan beberapa di antaranya menggunakan nama asli yang sebenarnya sudah lama masuk ke dalam daftar orang-orang yang layak dicurigai.

Pun upaya serangan yang dilakukan tidak menggunakan teknik canggih, hanya berupa pembajakan pesawat yang lazim dilakukan teroris.

Amerika Serikat belajar banyak dari peristiwa Nine Eleven. CIA dan National Security Agency (NSA) segera melakukan pembenahan secara komprehensif setelah itu.

Salah satu bukti keberhasilan mereka adalah mengetahui rencana invasi Rusia ke Ukraina jauh hari sebelum Putin memberikan perintah.

Langkah pertama yang diambil CIA tentu mencegah. Direktur CIA bersama dengan anggota National Security Council (NSC) berusaha mendekati salah satu orang kepercayaan Putin dan menyampaikan bahwa Amerika Serikat telah mengetahui rencana mereka.

Lalu memberikan peringatan bahwa Amerika Serikat dan Barat akan memberikan sanksi yang berat kepada Rusia, jika rencana itu dilaksanakan.

Seiring dengan itu, CIA juga menginformasikan pihak Ukraina, di mana pada mulanya sempat tidak dipercayai oleh Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy, Presiden Ukraina.

Namun setelah melihat data-data dari CIA, Zelensky akhirnya percaya dan bersepakat untuk melakukan persiapan sematang mungkin untuk mempersulit realisasi rencana Putin itu.

Berkat upaya CIA tersebut, rencana Putin menaklukkan Ukraina dalam waktu beberapa minggu gagal total. Hari ini perang masih berlanjut, yang berarti sudah hampir dua tahun, rencana Putin itu pun belum juga bisa terwujud.

Ketika Zelensky memilih untuk tidak memercayai informasi awal dari CIA, ia berangkat dari asumsi status quo relasi Kiev dengan Moskow di mana rencana invasi Putin tidak termasuk di dalamnya.

Jika saja Zelensky bersikeras bertahan dengan asumsi tersebut dan menafikan informasi dari CIA, maka kemungkinan besar Ukraina hari ini sudah di bawah kekuasaan presiden boneka buatan Rusia.

Nah, keberhasilan Hamas dalam membangun konstruksi berpikir bahwa intelijen Israel mengasumsikan relasi status quo dengan Hamas di mana serangan dadakan masif tidak mungkin terjadi, justru memberikan Hamas kesempatan untuk mempersiapkan diri secara diam-diam.

Boleh jadi dengan berbagai trik pengelabuan di lapangan bahwa seolah-olah tidak ada gerakan mencurigakan di kubu Hamas, lalu melakukan “surprise attack” dari berbagai sisi.

Kegagalan intelijen Israel, baik dalam hal sensitifitas mengoleksi data lapangan maupun dalam hal analisis geopolitik, membuat di sisi Israel akhirnya tidak saja menelan korban yang cukup banyak, tapi juga serta-merta terjebak ke dalam keserbasalahan geopolitik kawasan di satu sisi.

Israel juga akan mulai diragukan sebagai “perisai militer” untuk aliansi-aliansi Amerika Serikat di Timur Tengah oleh banyak pihak di kawasan Timur Tengah di sisi lain.

Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, Israel tentu akan melakukan assessment atas “Intelligence Failure” di satu sisi dan akan melakukan pembalasan militer yang setara di sisi lain.

Israel dipastikan akan menggasak Jalur Gaza, menghancurkan banyak gedung dan bangunan, menyeret banyak manusia dari Gaza untuk ditahan dan diinterogasi, dan seterusnya.

Langkah inilah yang akan membuat Israel terjebak dalam keserbasalahan geopolitik. Menggasak Jalur Gaza akan membuat Israel terpojok di Timur Tengah secara geopolitik dan akan mempersulit posisi Amerika Serikat di sana yang memang sudah serba salah sejak aksi militer menginvasi Irak pada 2003 sebagai imbas lanjutannya.

Yang jelas, upaya Israel untuk menormalisasi relasi diplomatik dengan Arab Saudi boleh jadi akan semakin sulit dan lama.

Antipati akan sangat tinggi di kalangan elite-elite autokrat dan masyarakat Kerajaan Arab Saudi, yang membuat Mohammed bin Salman Al Saud akan semakin kesulitan untuk berdekatan dengan Tel Aviv.

Dan diakui atau tidak, situasi tersebut tentu akan sangat disukai dan diharapkan oleh Iran. Upaya-upaya Benjamin Netanyahu selama ini untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Arab Saudi akan terbentur antipati politik domestik di Arab Saudi.

Lebih dari itu, Iran akan terus mendukung Hamas, layaknya Hezbollah, baik secara langsung dengan selalu menjadi supplier utama persenjataan untuk Hamas maupun secara tidak langsung dengan memberikan dukungan geopolitik di kawasan Timur Tengah atas aspirasi anti-Israel yang dikobarkan Hamas.

Dukungan geopolitik tersebut akan mengambil bentuk dorongan kepada China dan Rusia untuk terus menggandeng Saudi Arabia, dengan target terdekat adalah mempersulit kemungkinan normalisasi relasi diplomatik antara Israel dan Arab Saudi.

Lalu Iran akan mengeksploitasi kebersamaannya dengan Arab Saudi di dalam organisasi BRICs untuk menyuarakan suara kritis atas Amerika Serikat dan Israel.

Sementara di sisi lain, Israel akan mulai diragukan oleh banyak pihak sebagai perisai Amerika Serikat di Timur Tengah.

Selama ini, Amerika Serikat memberikan “millitary’s edge” hanya kepada Israel; satu-satunya di Timur Tengah, sebagai perisai pertama yang akan melindungi negara-negara mitra Amerika Serikat seperti Saudi Arabia, jika Iran melakukan serangan.

Karena itu, hanya Israel yang diperbolehkan Amerika Serikat memiliki pesawat tempur canggih F35 di Timur Tengah, persis seperti keistimewaan Singapura di Asia Tenggara.

Pun Amerika Serikat tidak pernah mempermasalahkan senjata nuklir yang dimiliki oleh Israel, sementara Amerika Serikat dan Israel akan kelimpungan kalau Iran sampai berhasil memilikinya.

Semua itu tak lain karena posisi “millitary’s edge” yang disematkan Amerika Serikat kepada Israel.

Nah, serangan Hamas, sejatinya selain membuktikan kelemahan intelijen Israel, juga bermaksud untuk mematahkan status istimewa yang disematkan Amerika Serikat untuk Israel.

Patahnya mitos perisai Amerika Serikat di Timur Tengah tentu akan berimbas kembali ke ranah geopolitik di mana negara-negara yang berencana menormalisasi relasi diplomatik dengan Israel akan berpikir ulang untuk melakukannya, mengingat Israel hari ini belum tentu lagi bisa menjalankan mandat sebagai perisai Amerika Serikat tersebut. Pertahanan Israel sendiri ternyata bisa ditembus oleh Hamas.

Potensi munculnya keraguan atas status perisai Amerika Serikat pada Israel akan menjadi potensi keraguan kepada Amerika Serikat pula pada ujungnya, lalu menguatkan harapan untuk menggandeng negara “great power” lainnya ke Timur Tengah, yakni China dan Rusia.

Kecenderungan tersebut telah berlangsung cukup lama, terutama sejak Joe Biden berkuasa dan Arab Saudi mulai mencari model relasi geopolitik baru untuk mendapatkan jaminan atas stabilitas di Timur Tengah.

Model relasi baru tersebut berupa upaya merangkul kembali Iran dan Suriah, di bawah fasilitasi China dan Rusia, dan bersama dengan Iran masuk sebagai negara anggota BRiCS plus.

Jadi kegagalan intelijen Israel yang berpotensi berujung pada keserbasalahan geopolitik Israel dan Amerika Serikat di Timur Tengah akan menjadi perhatian utama Amerika Serikat dalam memberikan dukungan kepada Israel.

Amerika Serikat dipastikan akan mengutuk Hamas, membantu Israel secara militer dan intelijen khususnya dalam menekan Hamas, tapi akan memberi batasan jelas kepada Israel dalam bertindak.

Sebagaimana disampaikan Joe Biden baru-baru ini yang meminta Israel untuk tetap menghormati hukum perang.

Besar kemungkinan Amerika Serikat akan berusaha membatasi agar Israel tidak melakukan ekspansi daerah kekuasaan ke Gaza dengan tindakan pendudukan secara brutal, karena akan menyuluk antipati dari negara-negara Liga Arab, lalu akan memaksa China dan Rusia untuk berpihak kepada Liga Arab dan Iran secara terbuka.

Perang kinetik dengan Hamas boleh jadi tidak akan lama. Setelah pembalasan berupa penghancuran base-base militer Hamas di Gaza, penangkapan sel-sel Hamas di masyarakat Gaza, perang kinetik akan berhenti.

Serangan tersebut tidak akan memusnahkan Hamas, tapi hanya melemahkan kapasitas berperangnya. Pasalnya, situasi geopolitik akan terus membuat negara seperti Iran memberikan dukungan penuh kepada Hamas dan Hezbollah.

Pun Israel tidak akan menarget Iran secara langsung, untuk menghindari bencana geopolitik yang lebih besar.

Yang akan dilakukan Israel, sebagaimana biasanya, adalah menghancurkan aset-aset Iran di Suriah. Ini pun bukan bagian dari perang besar, hanya rutinitas biasa bagi Israel.

Sejak beberapa tahun terakhir, Israel selalu melakukan serangan udara atas aset-aset Iran di Suriah. Dan sebaliknya, Iran sudah terbiasa menyerap serangan tersebut sebagai bagian dari rutinitasnya di Suriah.

Dan terakhir, imbasnya ke Asia, selain imbas ekonomi berupa potensi kenaikan harga minyak yang akan menyuluk inflasi di banyak negara Asia, juga potensi munculnya serangan teroris dari sel-sel teroris yang ada di Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Bagaimana pun, serangan dadakan Hamas akan menjadi inspirasi bagi organisasi teroris Islam di Indonesia untuk mencari celah melakukan serangan dadakan serupa.

Semoga komunitas intelijen di Asia dan Indonesia semakin waspada dan terus meningkatkan kapasitas surveillance-nya. (kompas)

Penulis: Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer