Perma ini penting agar putusan MK tentang PK dapat diminimalisir penyalahgunaannya oleh pihak-pihak tertentu.
"MA bisa menerbitkan peraturan terkait prosedur pengajuan PK dan kalau sudah ada (peraturannya) perlu direvisi, yang intinya tidak merubah putusan MK,” kata pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Mudzakir saat dihubungi, Senin (10/3/2014).
Mudzakir menilai peraturan tersebut tidak boleh membatasi pengajuan PK. Tetapi untuk membatasi perkara PK yang akan diperiksa MA.
"Semacam aturan yang menyeleksi secara administrasi apakah sebuah pengajuan PK layak untuk diperiksa atau tidak. Sehingga, tidak merubah esensi dari putusan yang telah dikeluarkan MK," jelas dia.
Sebelumnya, pasca MK mengabulkan gugatan yang diajukan bekas ketua KPK Antasari Azhar, banyak pihak yang mengatakan tidak adanya kepastian hukum tentang PK. Pasalnya PK dapat dilakukan berkali-kali.
Dalam pembacaan pertimbangan putusan, hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali. Mungkin saja pasca putusan PK ditemukan keadaan baru (novum).
"UU KUHP tidak dapat diterapkan karena hanya memperbolehkan mengajukan PK sekali, karena menyangkut keadilan," kata Anwar.
Sebelumnya, MA menolak permohonan PK Antasari. Majelis hakim terdiri dari Harifin A Tumpa, Komariah E Sapardjaja, Djoko Sarwoko, Hatta Ali, dan Imron Anwari.
Akibat PK ditolak, Antasari Azhar tetap divonis 18 tahun sesuai putusan pengadilan tingkat pertama, yakni PN Jakarta Selatan, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, serta diperkuat kasasi MA. [gus]
MA: PK Tak Bisa Berkali-Kali
Hakim Agung Gayus Lumbuun menerangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK), tidak berarti dapat diajukan berkali-kali.
Gayus menjelaskan, keputusan MK itu bukan membuat PK bisa dilakukan tanpa batas.
"Jangan lalu mengartikan PK boleh berulang kali tanpa batas, putusan MK yang menyatakan pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan mengikat, sesungguhnya hanyalah membatalkan ketentuan untuk pengajuan PK dibatasi hanya satu kali saja untuk memberikan keadilan terhadap ditemukannya keadaan baru setelah PK diputuskan," terang Gayus di Jakarta, Senin (10/3/2014).
Jelas Gayus, keputusan MK itu bukan berarti mengesampingkan keputusan yang sudah baku. PK tetap hanya bisa dilakukan satu kali saja.
"MK pada kewenangannya tidak bisa membuat norma baru untuk mengisi kekosongan norma pada pasal tersebut, tidak juga berarti bahwa PK boleh dilakukan berkali-kali tanpa batas," jelas mantan politisi PDI Perjuangan ini.
Gayus juga menampik, bahwa PK akan dimanfaatkan oleh seorang terpidana untuk menunda hukuman.
"Tidak memberikan kepastian hukum seperti yang dibayangkan banyak pihak yang kurang memahami tentang hukum perundang-undangan," tandasnya.
Sebelumnya, pasca MK mengabulkan gugatan yang diajukan bekas ketua KPK Antasari Azhar, banyak pihak yang mengatakan tidak adanya kepastian hukum tentang PK. Pasalnya PK dapat dilakukan berkali-kali.
Dalam pembacaan pertimbangan putusan, hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali. Mungkin saja pasca putusan PK ditemukan keadaan baru (novum).
"UU KUHP tidak dapat diterapkan karena hanya memperbolehkan mengajukan PK sekali, karena menyangkut keadilan," kata Anwar.
Sebelumnya, MA menolak permohonan PK Antasari. Majelis hakim terdiri dari Harifin A Tumpa, Komariah E Sapardjaja, Djoko Sarwoko, Hatta Ali, dan Imron Anwari.
Akibat PK ditolak, Antasari Azhar tetap divonis 18 tahun sesuai putusan pengadilan tingkat pertama, yakni PN Jakarta Selatan, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, serta diperkuat kasasi MA. [inilah]