"Saya berani melapor ini kan bukan apa-apa. Saya sudah telepon Kapolri Pak Timur (Pradopo), dia bilang buat saja laporan. Kalau tidak ada izin kan mana mungkin berani dibuat laporan. Ini jenderal semua, ngetik namanya saja sudah gemetar," ujar Saiful saat dihubungi, Minggu (13/3/2011).
Saiful melaporkan kelima jenderal polisi itu sebagaimana surat laporan dengan Nomor LP/137/III/2011/Bareskrim tertanggal 3 Maret 2011. Dalam pelaporannya, kelima jenderal polisi tersebut digugat pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah. Saiful juga menyertakan akta tanahnya yang telah diklaim PT Banda Kersa.
Baru pada 3 Maret 2011 Saiful berani melaporkan kelima jenderal itu, karena setelah selama 14 tahun tanahnya seluas seluas 152 hektar senilai Rp 750 miliar diserobot insitusi Polri tanpa dibayar.
Saiful mengaku tanahnya yang diserobot Polri itu terletak di Desa Jeulikat Kecamatan Blang Mangan, Lhokseumawe, Aceh Utara, yang kini dijadikan Markas Komando Brimob Aceh Utara, sekaligus 142 hektar sekitarnya dijadikan lapangan tembak.
Saiful menceritakan, awalnya Polri berniat membangun Mako Brimob pada 11 Desember 1996. Saat itu, Saiful adalah sersan mayor (setara dengan brigadir kepala) bertugas Kanit Reskrim Polres Aceh Utara, mengakui memiliki tanah. Jodoh antara pembeli dan penjual pun terjadi.
Selanjutnya, dibuatkanlah kesepakatan-kesepakatan jual beli tanah sehingga muncul harga Rp 55 miliar untuk 10 hektar. Namun, transaksi pembayaran tak pernah terjadi.
Tiba-tiba, lanjut Saiful, pada 30 September 1997, tanah itu langsung diambil dan digunakan begitu saja oleh Polri dengan mengklaim mendapat hibah dari pemda setempat. Bahkan perjanjian pemborongan yang tadinya akan dikerjakan juga oleh PT Banda Kersa mendadak dialihkan ke perusahaan lain. "Polda Aceh waktu itu bilang ada alat bukti sah," kata Saiful sambil menunjukkan sejumlah nomor akta bertanggal 27 November 1998.
Namun, Bupati dan pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) memprotes akta hibah tersebut.
Saiful mempidanakan kelima jenderal itu, karena kelima pimpinan penegak hukum itu diduga makan uang pembayaran tanahnya. Sebab, pada 2006, Saiful merasa Polri telah mengeluarkan surat pembayaran tanahnya, sebagaimana tercatat dalam nota dinas Binkum Polri nomor B/ND-416/XII/2006 tertanggal 27 Desember 2006.
Salah satu butir surat yang ditandatangani Kadiv Binkum kala itu Irjen Teguh Soedarsono, merupakan kewajiban Polri membayar harga tanah sesuai perjanjian.
Setelah itu, Saiful merasa sejumlah Kapolri sudah menjanjikan pembayaran secepatnya, termasuk mantan kapolri terakhir Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Namun, sampai dengan turun dari jabatan, tak sepeser pun uang Polri keluar untuk Saiful.
Berjalannya waktu, jumlah yang digugat Saiful membengkak dari Rp 55 miliar menjadi Rp 750 miliar. Sebab, tanah PT Banda Kersa yang saat ini dipakai Polri seluas 152 hektar, yang di dalamnya termasuk lapangan tembak. (tribunnews)