"Dengan adanya fakta tersebut, istilah diberhentikan dengan hormat atau tidak sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Sejatinya, masyarakat sudah dapat menilai. Saya tidak mau terjebak pada istilah, karena perbedaan istilah tersebut sarat kepentingan politik," kata Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura yang ikut mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden 2014.
Meski demikian, Wiranto menjelaskan bahwa secara normatif apa yang dimaksud pemberhentian secara hormat atas seorang prajurit TNI. "Seorang prajurit diberhentikan dengan hormat, apabila yang bersangkutan habis masa jabatannya, meninggal dunia, sakit parah, cacat akibat operasi militer, mengundurkan diri dari kedinasan dan disetujui atasan," kata dia.
Sementara itu, pemberhentian dengan tidak hormat, ujar Wiranto, apabila prajurit tersebut melanggar Sapta Marga, melanggar Sumpah Prajurit, dan melanggar hukum sehingga ia tidak pantas lagi menjadi seorang prajurit. Maka berdasarkan definisi tersebut, mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu jelas menganggap Prabowo diberhentikan dengan tidak hormat.
Pernyataan Wiranto yang dikeluarkan 20 hari menjelang Pemilu Presiden 9 Juli 2014, itu sontak membuat gerah kubu Prabowo. Direktur Operasi Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Edhy Prabowo, minta tudingan penculikan oleh Prabowo dibuktikan. "Itu kan operasi intelijen. Waktu itu keadaan genting. Maka boleh melakukan sesuatu, mengambil tindakan," kata dia.
Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kini bergabung dalam tim pemenangan Prabowo-Hatta, yakin penjelasan Wiranto ke publik soal kasus HAM Prabowo itu dilakukan untuk menggerus elektabilitas mantan menantu Presiden Soeharto itu. Kivlan pun menyindir sikap politik Wiranto yang berubah-ubah. "Pak Wiranto sudah bertemu Prabowo sebelum mendukung Joko Widodo. Dia dulu mendukung pencapresan Prabowo, tetapi sekarang berbalik arah. Itu saya sesalkan," ujarnya.
Adik kelas Wiranto itu juga menambah sentuhan personal dalam kasus Prabowo tersebut, dengan menuding Wiranto tak tahu terima kasih meski sudah dibantu oleh Prabowo. Menurut Kivlan, Prabowo berjasa besar dalam karier militer Wiranto. "Wiranto dipromosikan Prabowo sebagai ajudan Soeharto, sebelum kariernya meningkat menjadi Panglima ABRI," kata Kivlan.
Sehari setelah Wiranto bicara soal Prabowo, Jumat 20 Juni 2014, tim pemenangan Prabowo-Hatta menunjukkan salinan surat putusan pemberhentian Prabowo yang ditandatangani oleh Presiden B. J. Habibie tiga bulan setelah Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Prabowo dari TNI.
"Kepada Bapak Prabowo, kami ucapkan terima kasih atas jasa-jasanya selama mengabdi di ABRI. Surat ini ditandatangani dan ditetapkan di Jakarta, 20 November 1998, oleh Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie," kata anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim, membacakan salinan surat putusan tersebut di Rumah Polonia, Jakarta, markas pemenangan Prabowo-Hatta.
Berdasarkan kalimat yang tertera di salinan surat itu, kubu Prabowo-Hatta yakin Prabowo diberhentikan secara hormat dari dinas kemiliteran. "Kami harap ini semua (tudingan pelanggaran HAM kepada Prabowo) diakhiri," ujar Marwah. Politisi kelahiran Sulawesi Selatan itu juga mengatakan, Menteri Sekretaris Negara Muladi saat itu mengirimkan surat kepada Komnas HAM yang menyatakan tidak terdapat cukup bukti yang membuat Prabowo bisa dinyatakan terlibat dalam kasus penculikan aktivis.
Kerusuhan 1998
Wiranto juga bicara soal tudingan dia terlibat kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan yang pecah 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa daerah lain itu dipicu oleh tertembak dan terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Wiranto membantah menjadi dalang kerusuhan Mei 1998. Dia mengklaim telah melakukan pencegahan dan memberi instruksi agar peristiwa itu diusut. "Sebagai Panglima ABRI saat itu, otomatis saya terlibat. Tetapi bukan sebagai dalang, melainkan sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran," ujarnya.
Apabila terlibat dalam kerusuhan, kata Wiranto, maka pasti negara hancur karena sebagai Panglima ABRI, ia punya kekuatan penuh untuk menggerakkan pasukan. “Kalau saya terlibat, kerusuhan pasti akan berlarut-larut seperti di Thailand, Mesir, dan Suriah. Peluang saya sangat terbuka untuk melakukan kudeta saat itu. Tapi tidak saya lakukan, karena negara harus menegakkan demokrasi dengan segala risikonya," ujar Wiranto.
Sebaliknya, tambah Wiranto, dia berupaya mengendalikan situasi dengan menarik pasukan Kostrad dan Marinir dari Jawa Timur untuk mengamankan situasi Jakarta. Maka kerusuhan yang bermula usai pemakaman para korban penembakan Trisakti itu dapat diredam dalam tiga hari.
"Saat penembakan terjadi, saya sudah perintahkan tidak ada peluru tajam. Semua peluru tajam ditinggalkan di batalion. Kenyataannya, terjadi penembakan di lapangan, dan saya sudah mengusut serta menghukum para pelaku penembakan Trisakti. Tidak adil dan tidak pada tempatnya, kalau Panglima ABRI dibebani tanggung jawab sebagai dalang penembakan, kerusuhan, dan penculikan," ujar Wiranto.
Kerusuhan Mei 1998 ini juga disinggung Mayjen (Purn) Kivlan Zein. Menurutnya, Wiranto pernah bersepakat dengan Prabowo untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masa lalu, termasuk peristiwa 1998. "Tetapi, sejak bergabung ke kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla, Wiranto justru membuka aib masa lalu," kata pria asal Langsa, Aceh, itu.
Lebih jauh, Kivlan menuduh Megawati Soekarnoputri terlibat dalam kerusuhan 1998. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pernah maju berpasangan dengan Prabowo sebagai capres-cawapres pada Pemilu 2009, dia sebut ikut mengerahkan massa untuk menyerang Gedung DPR/MPR RI. "Jadi, pelanggaran HAM bukan dilakukan oleh Prabowo sebagaimana dituduhkan sejumlah pihak," kata Kivlan.
Saat peristiwa kerusuhan 1998, ujarnya, Prabowo justru melakukan pengamanan terhadap ancaman massa yang menolak Sidang Istimewa MPR untuk meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Kivlan lalu memperlihatkan foto-foto kekerasan saat kerusuhan Mei ’98. "Bisa dilihat di foto ini, orang-orangnya ada. Tak usah saya sebut orangnya, dengan spanduk merah yang jelas bertuliskan 'Komite Pendukung Megawati'. Kerusuhan ini sudah direncanakan dan mereka menggelar rapatnya di Senayan. Ini adalah aib bangsa," ujarnya.
Sebagai Panglima Kostrad, ujar Kivlan, Prabowo tidak pernah meninggalkan Jakarta, saat keadaan genting itu. "Kalau dia pergi, maka habislah Jakarta. Saya bicara ini, karena saya ada bersama dia. Pak Prabowo selama ini terkena fitnah," kata Kivlan.
Bukan rahasia
Sementara itu, soal dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait rekomendasi pemberhentian Prabowo yang disebut banyak orang sebagai rahasia negara yang dibocorkan, Wiranto tak sepakat. Ia tegas mengatakan, dokumen DKP bukan lagi rahasia negara.
"Tersebarnya produk DKP bukan pembocoran rahasia TNI. Alasan pertama, karena dalam kasus tersebut yang menjadi korban adalah masyarakat sipil, maka TNI tidak bisa lagi mengklaim dokumen itu rahasia internal TNI yang tidak bisa dipublikasikan," ujar Wiranto.
Alasan kedua, karena Wiranto selaku Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan periode 1998-1999 sudah secara bertahap menjelaskan kepada masyarakat soal keterlibatan TNI Angkatan Darat dalam aksi penculikan aktivis disertai permohonan maaf atas kejadian tersebut. Wiranto pun dahulu telah berjanji secara terbuka untuk mengusut dan menindak anggotanya yang terlibat penculikan aktivis.
Alasan ketiga, ujar Wiranto, karena 'Dalam pelaksanaannya, semua kegiatan mulai pembentukan DKP, Mahkamah Militer, kinerja DKP, serta saran DKP kepada Panglima ABRI yang kemudian menjadi keputusan saya, disampaikan pada presiden. Keputusan pemberhentian (Letjen Prabowo Subianto) juga sudah dipublikasikan sejak lama, sehingga bukan sesuatu yang rahasia."
Ketiga alasan itu, menurut Wiranto, menjadikan dokumen DKP tak lagi masuk kategori rahasia negara. "Kasus tersebut sudah terbuka, sudah menjadi milik publik. Kalau dianggap sebagai pembocoran rahasia negara, pendapat itu sungguh aneh, mengada-ada, dan tidak sesuai kenyataan," kata dia.
Penjelasan Wiranto ini lagi-lagi dibantah oleh Kivlan. "Surat berkop rahasia negara itu berlaku 40 tahun baru bisa dibuka. Kalau dibuka sebelum 40 tahun, artinya Pak Wiranto melanggar pidana. Wiranto patut ditangkap dan harus minta maaf ke publik," ujar Kivlan.
Tim advokasi Prabowo-Hatta telah melaporkan Wiranto ke Badan Pengawas Pemilu dengan tudingan melakukan kampanye hitam dan fitnah keji atas Prabowo. "Kami melaporkan Wiranto ke Bawaslu terkait ucapannya yang mengatakan bahwa penculikan aktivis adalah inisiatif Prabowo. Sebagai orang tua, seharusnya Wiranto santun dalam berpolitik. Jangan halalkan segala cara demi menjegal elektabilitas Prabowo. Rakyat sudah cerdas dan tidak bisa dibodohi," kata Ketua Tim Advokasi Prabowo-Hatta, Habiburrahman.
Tim Prabowo berharap Bawaslu segera menindaklanjuti laporan mereka. Jika Wiranto terbukti melakukan kampanye hitam, mereka minta Bawaslu untuk melaporkannya ke Kepolisian. Kubu Prabowo juga mempertimbangkan untuk langsung melaporkan Wiranto ke Kepolisian dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Tanggapan capres
Joko Widodo tak setuju bila Wiranto disebut melakukan kampanye hitam terhadap Prabowo. "Black campaign bagaimana? Pak Wiranto kan menyampaikan fakta sebagai pelaku. Beliau sebagai mantan Panglima ABRI. Beliau dulu atasan Pak Prabowo. Jadi, tahu fakta-faktanya," kata Joko Widodo di Solo, Jawa Tengah, Jumat 20 Juni 2014. Menurut Joko Widodo, apabila Wiranto sebagai mantan atasan Prabowo menyatakan bahwa mantan Komandan Jenderal Kopassus itu terlibat dalam kasus penculikan aktivis, sudah jelas bahwa Prabowo memang bersalah. "Kalau atasan sudah menjawab, ya sudah," kata dia.
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 23 aktivis yang diculik pada periode 1997/1998. Dari 23 orang itu, satu ditemukan meninggal yakni Leonardus Gilang, sembilan dilepaskan, dan 13 lainnya masih hilang sampai saat ini. Dari sembilan orang yang dilepaskan, dua di antaranya kini bergabung ke Partai Gerindra binaan Prabowo, yakni Desmond Junaidi Mahesa dan Pius Lustrilanang.
Dalam dokumen keputusan DKP, disebutkan bahwa Letjen Prabowo Subianto memerintahkan Satgas Mawar dan Satgas Melati untuk menangkap dan menahan aktivis kelompok radikal dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dokumen itu juga menyebut Satgas Mawar melakukan penculikan bukan atas inisiatif sendiri, melainkan karena percaya pada Prabowo yang menyatakan perintah itu berasal dari pimpinan dan sudah dilaporkan kepada pimpinan.
Masih menurut dokumen itu, penculikan tersebut ternyata tidak dilaporkan Prabowo ke Panglima ABRI. Dia baru melaporkannya pada April 1998, setelah didesak Kepala Badan Intelijen ABRI. Prabowo disebut tidak melakukan pengendalian atas tindakan Satgas Mawar. Atas dasar itu dan sederetan kesalahan lain, DKP merekomendasikan agar Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Soal penculikan aktivis ini, Prabowo tak mau berkomentar. "Tidak ada komentar. Biar rakyat yang menjawab tanggal 9 Juli. Biar rakyat saja yang memilih," kata dia, usai memaparkan visi misinya sebagai capres di hadapan para pelaku pasar modal di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta.
sumber: .viva.co.id