Keluhan itu diungkapkan Ketua Kelompok Tani Pembudidaya Bibit Ikan Lele di Dusun Bulurejo, Desa Sumberejo, Kecamatan Kandat Imam Tohari saat dikunjungi calon bupati Haryanti, sejumlah hambatan kini dihadapi oleh para peternak. Diantaranya, persoalan listrik padam, induk lele yang belum tersertifikat.
"Kalau listrik sewaktu-waktu padam, mengganggu proses pembuahan maupun pembibitan ikan lele. Oleh karena itu, kami berhadap ada bantuan mesin genset yang bisa kami pakai saat listrik padam," ujar Imam Tohari, Jumat (02/10/2015).
Masih kata Tohari, selain persoalan listrik, para peternak juga kesulitan mendapatkan indukan ikan lele bersertifikat. Pasalnya, harga indukan ini relatif mahal dan sulit untuk dijangkau. "Indukan yang bersertifikat ukuran kecil saja sudah Rp 100 ribu, itu belum bisa dibuahi," imbuh Imam Tohari.
Ia mengaku, memasarkan bibit ikan lele hasil produksinya ke kalangan peternak sekitar desa. Umumnya sistem pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut. "Yang ngambil dari sekitar sini saja. Tetapi kadang ada dari Kabupaten Tulungagung, karena perkenalan saja," terang Imam
Dalam kesempatan itu, Haryanti melihat indukan ikan lele yang berada di dalam sebuah kolam, dan bibit ikan lele di dalam kolam lainnya. Ia memberikan strategi jitu memasarkan produk bibit ikan lele melalui online internet.
"Dengan sistem pemasaran internet, jangkauannya lebih luas. Konsumen dari berbagai daerah akhirnya tahu dan mengambil bibit dari sini," kata Haryanti.
Untuk diketahui, di Dusun Bulurejo ini ada puluhan pembudidaya bibit ikan lele. Masyarakat menggantung hidup dari usaha di bidang peternakan itu.
Setelah mengunjungi sentra pembibitan ikan lele, Haryanti juga mendatangi pengrajin mainan kuda lumping di Desa Karangrejo.
Ditempat tersebut, kendala yang dihadapi pengrajin adalah sama yakni, pemasaran produk yang masih tradisional, sehingga penjualan kuda lumping belum bisa menjangkau ibu kota.
Sementara untuk kerajinan kuda lumping di Desa Karangrejo ada sekitar 11 home industri pembauatan kerajinan jaranan.
Usaha tersebut telah eksis lebih dari lima tahun. Setiap jaranan ukuran kecil, 20 bijinya ditarif Rp 100 ribu, ukuran sedang dibandrol Rp 150 ribu per 20 biji dan Rp 200 ribu per 20 biji untuk ukuran besar
Menjelang datangnya bulan Suro, sentra kerajinan kuda lumping yang ada Desa Karangrejo ini, mulai kebanjiran order, tetapi karena pola pemasarannya yang masih menggunakan cara tradisional dan melalui perantara makelar, maka laba yang diperoleh pengrajin sangat menipis. (bsr1)