ADA tiga topik utama pemberitaan nasional beberapa pekan terakhir. Baik media konvensional, koran, majalah, televisi, radio, maupun media berbasis internet.
Pertama, yang terbaru, kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. Publik tak habis pikir membaca berita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan sejumlah uang tunai pecahan asing dan rupiah senilai puluhan miliar dalam operasi penggeledahan di rumah Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Ternyata bukan cuma uang puluhan miliar rupiah, tapi juga ditemukan sejumlah senjata api.
Lebih menggelikan lagi keberadaan SYL sempat dikabarkan hilang kontak di Eropa.
Politikus Partai Nasdem yang mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu seharusnya terbang meninggalkan Eropa pada 30 September 2023 dan tiba di Tanah Air pada 1 Oktober 2023 (Kompas.com, 04/10/2023).
Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, pun angkat bicara. Ia meminta SYL langsung pulang ke Indonesia untuk mematahkan asumsi publik.
Dan, Kamis (5/10/2023) pukul 10.17 WIB, diberitakan SYL telah tiba di kantor Kementerian Pertanian (Kompas.com, 5/10/2023).
Kasus SYL menambah deret panjang korupsi pejabat negara kelas menteri. Sebelumnya Johnny G. Plate sewaktu menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika terseret dalam dugaan korupsi proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G. Plate juga kader Partai Nasdem.
Kasus Plate semakin menjadi perhatian, sekaligus keprihatinan publik. Pasalnya, sejumlah pihak dikabarkan (diduga) menerima aliran uang proyek penyediaan menara BTS 4G. Sejumlah pihak itu bukan sembarang orang.
Dikabarkan sebesar Rp 70 miliar mengalir ke Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebesar Rp 40 miliar lagi kepada seseorang perwakilan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Juga mengalir kepada seseorang bernama Dito Ariotedjo, Menteri Pemuda dan Olahraga. Kepada Dito dikabarkan mengalir sebesar Rp 27 miliar (Kompas.com, 27/09/2023).
Di era pemerintahan Jokowi, ada empat menteri lainnya yang terjerat kasus korupsi. Mereka, yakni Idrus Marham (sewaktu menjabat Menteri Sosial), Imam Nahrawi (sewaktu menjabat Menpora), Edhy Prabowo (sewaktu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Juliari Batubara (sewaktu menjabat Menteri Sosial).
Kedua, berita tentang Pulau Rempang. Rencana proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), memicu konflik antara Pemerintah dengan warga sekitar.
Bentrok antara masyarakat sekitar dengan tim gabungan yang terdiri atas TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP, tak terhindarkan.
Permasalahan Pulau Rempang berakar dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco-City. Akibat proyek tersebut, warga yang telah bermukim secara turun-temurun terancam kehilangan tempat tinggal. Mereka menolak keras rencana relokasi bagi warga terdampak.
Topik ketiga tentang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Berita pilres paling menyedot perhatian publik, meski masih belum beranjak dari dinamika koalisi dan perburuan pasangan calon wakil presiden (cawapres).
Bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo (dijagokan PDI-P, PPP, Partai Hanura, dan Partai Pertindo) dan bakal capres Prabowo Subianto (dijagokan Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PBB, Partai Gelora, Partai Demokrat) masih terus melirik kanan-kiri untuk menemukan pasangan cawapres.
Diskusinya masih seputar hitungan elektoral. Baik Ganjar maupun Prabowo sama-sama mencari bakal cawapres yang dinilai bisa menutup kelemahan elektoral mereka di wilayah-wilayah tertentu.
Benang merah substansi
Tiga topik utama pemberitaan nasional itu tak berhubungan satu sama lain. Kebetulan saja terjadi pada kurun waktu yang berurutan, waktu yang hampir sama.
Namun, saya melihat benang merah substansi untuk hajatan Pemilu 2024. Kasus Pulau Rempang dan dugaan korupsi pejabat negara kelas menteri merefleksikan noda hitam tata kelola pemerintahan.
Bukan hanya berurusan dengan kebijakan, tapi juga menyoal moralitas penyelenggara negara.
Kasus Rempang dan dugaan korupsi pejabat negara kelas menteri sungguh menusuk rasa keadilan dan kemanusiaan.
Rasa keadilan dan kemanusiaan yang merupakan hakikat kemerdekaan bangsa Indonesia, yang menjadi nilai dasar Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, sungguh tercederai.
Pemimpin di negara Pancasila mestinya menggunakan Pancasila sebagai paradigma kepemimpinannya. Kebijakan apapun mestinya diarahkan untuk kemakmuran/kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan sosial.
Kebijakan itu mestinya diimplementasikan secara demokratis, musyawarah, dengan pendekatan humanistik. Pendekatan yang “memanusiakan” manusia, yang jauh dari ingar-bingar kekerasan yang membenturkan aparatur keamanan negara dengan rakyat.
Namun, seiring perkembangan zaman yang terus bergerak mengikuti genderang neoliberalisme, pemimpin rupanya mati rasa kemanusiaan, cuek perihal moralitas, dan senang menari di atas ketidakadilan dan dehumanisasi.
Korupsi makin canggih. Yang dicuri dan diselewengkan bukan sekadar recehan, atau korupsi skala kecil-kecilan. Yang dikorupsi sudah skala “giga”.
Caranya pun makin canggih. Dilakukan dengan cara menyandera lembaga-lembaga negara (state-hijacked corruption). Baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dilakukan secara bersekongkol dengan partai politik, lembaga sosial-ekonomi, para pakar, juga media.
Korupsi jenis ini mengejawantah dalam bentuk pembelian dekrit politik, peraturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan, dan kontrak karya oleh kaum kapitalis (korporasi).
Bidangnya pun berkategori “basah” seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, kelautan, perbankan, perdagangan dan bidang-bidang lain.
Singkat kata, negara diperalat demi pelipatgandaan kapital kaum kapitalis tanpa bisa disebut dan dibuktikan sebagai korupsi.
Pujangga besar sastra Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito, telah meramalkannya di dalam Serat Kalatidha. Disebut “zaman edan”, kurun zaman tatkala manusia sibuk menumpuk kekayaan material, bahkan dengan menghalalkan segala cara.
Kekayaan material dipuja-puja mengalahkan keluhuran budi. Di “zaman edan”, bila tidak ikut gila (edan), seseorang tidak akan mendapatkan bagian.
Sementara itu, pemilu merupakan instrumen politik demokrasi, sistem rekrutmen kepemimpinan politik di dalam negara demokrasi. Indonesia memilih demokrasi agar kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat buat rakyat.
Saat berpidato pada Sidang BPUPK (1 Juni 1945), sidang perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Bung Karno berpandangan bahwa demokrasi di negara yang akan dimerdekakan nanti bukan berdimensi politik saja seperti demokrasi Barat, melainkan juga berdimensi ekonomi.
Demokrasi haruslah menyejahterakan rakyat, demokrasi yang berkeadilan sosial. Bung Karno menyebutnya “sosio-demokrasi”.
Bunuh diri kelas
Lalu, apakah pemilu sebagai instrumen demokrasi nanti hanya akan menghasilkan pemimpin politik yang memproduksi berita-berita seperti di atas? Pemimpin politik yang lupa cita-cita kemerdekaan, yang meninggalkan Pancasila sebagai paradigma kepemimpinannya?
Di Serat Kalatidha, pujangga Ronggowarsito mengingatkan, “begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada” (betapapun beruntung orang yang lupa, masih beruntung yang masih sadar dan waspada).
Melalui Pemilu 2024, kita mestinya mendapatkan pemimpin yang “sadar dan waspada”, bukan pemimpin yang “ngedan”, yang lupa diri, yang “aji mumpung”. Melalui Pemilu 2024, Indonesia mencari pemimpin yang mau dan berani “bunuh diri kelas”.
Pemilu memang membuat seseorang naik kelas. Semula rakyat biasa, berkat pemilu menjadi wakil rakyat, anggota DPR/DPRD, menjadi pejabat negara.
Semula gubernur atau menteri, berkat pemilu naik kelas menjadi presiden atau wakil presiden. Mereka ditantang, mau dan beranikah bunuh diri kelas?
Setiap jabatan melekat pula kekuasaan. Setiap kekuasaan melekat pula hak-hak dan fasilitas istimewa (privilage).
Pertanyaannya, untuk apa hak-hak dan fasilitas istimewa (privilage) itu? Pemimpin atau pejabat bisa dikatakan bunuh diri kelas bila sungguh-sungguh menggunakan privilage itu untuk mewujudkan kemakmuran/kesejahteraan rakyat berdasarkan keadilan sosial.
Privilage itu bukan untuk menumpuk kemewahan diri pejabat, keluarga dan kroni-kroninya.
Pemilu memang proses perebutan kekuasaan yang sah. Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kekuasaan itu diperebutkan mestinya untuk pelayanan publik, demi pemuliaan dan kepentingan rakyat.
Berebut kekuasaan berarti berebut menjadi pelayan publik, pengabdi rakyat. Bukan berebut privilage untuk kemewahan.
Pemimpin bunuh diri kelas adalah pemimpin yang tidak mengambil privilagenya untuk kemewahan, melainkan menggunakannya untuk pengabdian dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat, kepada perjuangan perwujudan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Kedengaran aneh pada zaman edan, zaman neoliberalisme dewasa ini. Tapi, sejarah mencatat, tanpa pemimpin yang mau dan berani bunuh diri kelas, bangsa Indonesia tak akan menikmati kemerdekaan.
Para tokoh pergerakan dan pendiri bangsa bukan golongan rakyat yang tak punya privilage pada zamannya. Mereka merupakan golongan sosial yang mendapatkan privilage dari penguasa kolonial, di antaranya akses pendidikan. Mereka berkesempatan menikmati kemewahan pada zamannya.
Namun, privilage itu bukan untuk kemewahan dirinya. Para tokoh pergerakan dan pendiri bangsa meninggalkan kemewahan diri dan menggunakan privilage itu untuk membangun kesadaran baru rakyat jajahan. Kesadaran kolektif rakyat jajahan untuk merdeka sebagai bangsa dan negara.
Meskipun para tokoh pergerakan dan pendiri bangsa harus menjalani penderitaan nyata. Mereka hidup dari penjara ke penjara, dari tempat pembuangan satu ke tempat pembuangan yang lain. Pemimpin sejati harus berani bunuh diri kelas.
Apakah Pemilu 2024 kelak melahirkan pemimpin-pemimpin yang mau dan berani bunuh diri kelas? Yang pasti, bangsa ini rindu pemimpin sejati, yang mau dan berani bunuh diri kelas. (kompas)
Penulis: Andang Subaharianto Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)