Ketua Bappilu DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sandiaga Salahuddin Uno, turun gunung ke Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (8/2/2024). (KOMPAS.COM/MOH. SYAFIÍ)

TAK ada yang lebih mengkhawatirkan melihat hitung cepat Litbang Kompas per Jumat (16/2/2024) pukul 11.45 WIB mengenai pergeseran suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berada di bawah 4 persen, batas bawah parliamentary threshold (PT) dalam Pemilu Legislatif 2024.

Sementara suara yang telah masuk dalam data Litbang Kompas sudah mencapai 98,25 persen, sulit untuk tidak mengatakan bahwa bayang-bayang jalan terjal menunggu nasib partai yang dikenal dengan sebutan Partai Kabah itu.

PPP merupakan salah satu dari tiga partai (PDI-P dan Golkar) yang menjadi partai tertua dalam percaturan kontestasi politik tahun ini.

PPP lahir pada 5 Januari 1973 dari fusi partai-partai Islam masa Orde Baru, yakni Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

PPP bersamaan dengan PDI-P pada masa Orde Baru menjadi corong perlawanan terhadap pemerintah, sementara Golkar duduk nyaman di kursi pemerintahan Soeharto.

Ketika hitung cepat menempatkan PPP berada di angka 3,9 persen, pada saat yang sama, hitung cepat Litbang Kompas menempatkan PDI-P sebagai partai teratas dengan suara 16,25 persen, Golkar di posisi kedua dengan persentase 14,62 persen.

Para elite PPP sepertinya tak belajar dari kawan lamanya, PDI-P dan Golkar, dalam mempertahankan elektoral partai.

Pada 2022, Litbang Kompas telah menerbitkan serangkaian laporan mengenai tren penurunan suara PPP dalam 10 kali pemilihan umum.

Pada Pemilu 2019 saja, PPP hanya meraih suara 4,25 persen, terpaut 0,52 persen dari batas bawah parliamentary threshold. Suara ini mengakibatkan PPP kehilangan 20 kursi, hanya menyisakan 19 kursi di DPR-RI serta membuat partai terpuruk menjadi papan kelas bawah.

Segregasi internal dan kualitas kepemimpinan

Masa depan suram Partai Kabah dipicu banyaknya residu masalah internal di tubuh partai, yang sering kali tidak diseriusi oleh elite-elite partai.

Saat penentuan capres dan cawapres, elite-elite PPP masih terlihat gamang dalam membangun koalisi. Masuknya Sandiaga Uno dari partai lain ke PPP tampaknya hanya menjadi solusi jangka pendek untuk mencari akses logistik kepartaian dan peningkatan bargaining position kepada sekutu terdekatnya PDI-P.

Pun, ketika Sandiaga Uno menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP, suara partai dalam hitung cepat tidak mencerminkan hasil yang baik. Bahkan, cenderung tidak memberikan efek apapun.

Segregasi lain yang menjadi residu juga disumbang dua klaster besar. Klaster elite yang tidak dewasa. Dimulai dari dualisme kepemimpinan di masa Suryadharma Ali hingga perpecahan teras partai di masa Suharso Monoarfa.

Hal ini kemudian diperparah dengan ditangkapnya Suryadharma Ali oleh KPK dalam kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji pada 2014, disusul OTT KPK kepada Ketua PPP Romahurmuzy di Surabaya karena kasus suap jual beli jabatan di Kementerian Agama pada 2019.

Klaster selanjutnya adalah suara akar rumput yang sering kali tidak sejalan dengan pimpinan pusat.

Gesekan simpatisan PPP di Yogyakarta-Jateng yang biasa dikenal Gerakan Pemuda Kabah (GPK) dengan simpatisan PDI-P di Jalan Magelang pada Oktober 2023 menjadi pertanyaan banyak pihak. Bukannya PPP dan PDI-P berada dalam satu gerbong koalisi?

Sederetan kasus di atas membuat Partai Kabah acak-acakan dan tak ubahnya menjadi rumah tanpa tuan.

Partai dengan napas Islami ini sering kali terjerat eker-ekeran antar-elitenya, dimulai dari Suryadharma Ali melawan Romahurmuzy.

Periode selanjutnya terjadi perpecahan antara Djan Faridz melawan Romahurmuzy, dan disusul dengan gontok-gontokan antara Suharso Monoarfa dan Mardiono.

Mardiono sekarang menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP.

Sayangnya, tak ada usaha partai dalam melakukan recovery cepat pascaperseteruan internal. PPP tak ada upaya dalam merapatkan kembali pihak-pihak yang berseteru, lebih terlihat memelihara kubu-kubuan yang ada sambil menjalankan organisasi partai.

Partai yang dulunya dikenal dengan partai ulama di masa Orde Baru ini juga jarang sekali mem-branding dirinya sebagai partai Islam.

PPP terlihat semakin jauh dari jaringan ulama pesantren di perdesaan dan dai-dai muda perkotaan. PPP terjebak dalam ambiguitas branding partai tengah atau partai kanan dan tidak memiliki desain strategi kepartaian yang spesifik.

Bahkan, di saat partai-partai Islam lain seperti PKB dan PKS membuka keran menjaring anak-anak muda, terutama generasi milenial dan generasi Z, dengan kampanye masif di media sosial dan pelatihan daring, PPP masih nyaman dengan kampanye model konvensional. Kalaupun ada model milenial, hanya sekadar formalitas belaka.

Kini, PKB dan PKS menikmati investasinya dengan hasil hitung cepat yang sama dari Litbang Kompas. Kedua partai lolos dari parliamentary threshold (PT), di mana masing-masing (data sementara) 10,75 persen untuk PKB dan 8,4 persen untuk PKS.

Hari penentuan

Hitung cepat bukan hasil resmi dalam pemilihan umum, tetapi bisa menjadi penanda elite-elite partai, terutama Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu), untuk mengukur hasil suara partai.

Hasil resmi akan dilakukan berjenjang oleh KPU dari kelurahan, kabupaten/kota, provinsi, dan nantinya dalam rekapitulasi nasional Pemilihan Umum Legislatif 2024 di Jakarta.

PPP masih punya cukup waktu untuk mengamankan suara yang masuk ke kotak-kotak suara dalam beberapa hari ke depan. Memastikan para saksi terus bekerja mengawal dan mengawasi suara untuk partai.

Meminimalkan celah kecerobohan penyelenggara pemilu serta mengawasi jika ada tindak pidana kecurangan pemiilu.

Saksi-saksi PPP perlu diperkuat agar tidak ada suara partai yang dicurangi. Sebenarnya langkah-langkah ini sudah terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak.

Jika kemudian nasib tidak berpihak pada PPP untuk lolos ke Senayan maka ucapan sayonara akan menjadi salam perpisahan yang menyakitkan bagi partai yang lahir di era Orde Baru dan kemudian mengembuskan napas di masa reformasi. (kompas)

Penulis: Subandi Rianto. Sejarawan, Pekerja Media, Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer