Apalagi, setelah keluar dari Partai Demokrat, Anas sering melemparkan sentilan dan tudingan ke parpol bentukan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Terbaru, Anas mengungkapkan data dana kampanye Demokrat di Pemilu 2009. Dalam pemilu itu, Demokrat mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai calon presiden dan wakilnya.
Usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat 21 Maret lalu, Anas mengaku sudah menyerahkan data awal soal daftar penyumbang Demokrat yang perlu didalami penyidik. Data itu tentang hasil audit akuntan independen tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pilpres 2009. "Ada korporasi dan perseorangan. Total sumbangan Rp232 miliar," kata Anas. Nah, menurut tersangka kasus proyek Hambalang itu, ada beberapa nama di daftar itu sebenarnya tidak menyumbang. Nama mereka hanya dicatut saja. Artinya, demikian Anas menganalisis, ada sumber dana kampanye Partai Demokrat yang lain. "Itu perlu diselidiki, termasuk tugas KPK kalau mau menyelidiki, apakah ada kaitannya dengan kasus Bank Century atau tidak," ucapnya.
Kasus Bank Century yang dimaksud Anas adalah skandal penggelontoran sejumlah dana ke bank milik Robert Tantular itu tahun 2008. Kala itu, Bank Century dinilai sebagai bank berdampak sistemik. Bank Indonesia yang dikomandani Boediono menggelontorkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sebesar 689 miliar. Bank tak kunjung membaik, Lembaga Penjamin Simpanan kemudian juga menggelontorkan dana Rp6,7 triliun.
KPK mengendus indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam proses tersebut. Sejauh ini, seorang pejabat BI, yakni Budi Mulya, sudah duduk di kursi terdakwa. Saat kasus ini bergulir di DPR, Anas juga mengaku mendapat tugas khusus dari SBY untuk mengawalnya. Hal ini diungkapkan pengacara Anas, Handika Honggowongso. Selaku Ketua Ketua Fraksi Demokrat di DPR, kata Handika, Anas mengaku diminta mencegah agar Panitia Khusus (Pansus) Bank Century di DPR tidak mengarah ke SBY, baik secara hukum maupun politik.
Sementara itu, juru bicara KPK Johan Budi SP membenarkan bahwa Anas memberikan informasi soal dana kampanye Pilpres 2009. "Namun dia hanya menyampaikan informasi itu saja, tidak menyertakan data," kata Johan, Selasa 25 Maret 2014. Apabila informasi tersebut masih terkait kasus yang tengah disidik KPK, kata Johan, penyidik akan langsung menindaklanjutinya. Kalau tidak, informasi tersebut bisa disampaikan pada bagian pengaduan masyarakat. Sehingga informasi tersebut bisa divalidasi dan telaah terlebih dahulu, apakah didukung oleh bukti dan fakta.
Pengacara Anas lainnya, Firman Wijaya, mengungkap tudingan lain. Menurut Firman, Anas pernah menerima uang Rp250 juta dari Ketua Dewan Pembina Demokrat SBY untuk membayar uang muka Toyota Harrier. Namun, Anas hanya memakai Rp200 juta. "Sesuai fakta pemberian, sebagai hadiah terima kasih setelah berjuang dalam pemilu legislatif. Dan uang muka itu tunai," ucap Firman. Mobil ini kemudian bermasalah di mata KPK.
Soal uang ini, juru bicara Presiden, Julian Pasha sudah membantah. "Saya yakin Presiden SBY tidak pernah memberikan uang, kemudian uang itu untuk memberi mobil yang mahal. Itu tidak pernah. SBY bukan tipe seperti itu," kata Julian ketika dihubungi, Senin 24 Maret 2014. SBY, kata Julian tidak pernah memberikan apresiasi kepada seseorng dengan cara memberikan uang. "Kami sendiri selama 5 tahun sebagai staf presiden tidak pernah menerima hal seperti yang disebutkan," kata dia.
Selain itu, kata Julian, tidak ada alasan SBY memberikan uang kepada Anas. Apalagi dengan alasan Anas telah menghantarkan Partai Demokrat menjadi partai pemenang di tahun 2009. "Pertanyaannya, apakah Anas saat itu memang sebagai ketum Partai Demokrat atau dia mengklaim kalau kemenangan pileg dan pilpres atas keberhasilannya bukan karena konstituen atau pendukung Pak SBY?" kata dia.
Johan Budi pun menilai, informasi soal uang muka mobil Harrier ini pun masih perlu divalidasi lebih dulu. Namun terkait Harrier itu, Johan mengakui bahwa ada perbedaan data dan informasi antara yang dimiliki penyidik dengan yang dimiliki Anas. "Ada beberapa keterangan saksi dan data di KPK yang berbeda dengan pengakuan Anas terkait Harrier," tuturnya. Johan sendiri mengaku tidak mengetahui detail perbedaan tersebut karena penyidik yang memegang datanya. Namun yang pasti, menurut Johan, Harrier itu berkaitan dengan kasus yang tengah disidik KPK. "Terkait dengan kasus yang disidik KPK, kan ada Hambalang dan proyek lainnya," paparnya.
Bantahan kubu SBY
Sejumlah menteri dan politisi Demokrat ramai-ramai bantah tudingan Anas dan pengacaranya. Mulai dari soal uang hingga dana kampanye Demokrat. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengaku tahu betul soal dana yang digunakan untuk memenangkan SBY-Boediono pada Pilpres 2009. Sebab, saat itu, Djoko adalah wakil ketua tim sukses pemenangan SBY-Boediono.
Menurut dia, tim sukses hanya ada satu dan memiliki tugas khusus yaitu memenangkan SBY-Boediono. Sementara, tak ada tim khusus lainnya, yang ada hanya tim logistik, komunikasi media dan lainnya. "Kalau ada pernyataan tugas khusus pada seseorang, tidak ada. Karena timnya hanya satu," kata Djoko di Jakarta, Rabu 26 Maret 2014. Hal ini untuk menanggapi pernyataan Anas yang mengatakan bahwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini diberi tugas khusus untuk mengamankan isu kasus bailout Bank Century agar tidak menghambat jalan SBY-Boediono ke istana.
Sementara, soal dana pilpres yang dikaitkan dengan Century, Djoko mengatakan bahwa dana pemenangan SBY-Boediono sudah sesuai dengan undang-undang dan telah diaudit oleh Bawaslu. "Tidak ada masalah dalam penggunaan dana pilpres," ujar dia. Anas, kata Djoko, tidak ada dalam tim itu. Djoko ingat betul hal ini karena dia tidak pernah bertemu dengan Anas pada saat kampanye SBY-Boediono. "Tidak pernah tatap muka, tapi dalam forum besar itu mungkin karena dia salah satu kader," kata dia. Bahkan, Djoko mengatakan saat itu Anas belum menjadi anggota legislatif. Padahal, pada bulan Oktober 2009, SBY menunjuk Anas sebagai Ketua Fraksi Demokrat di DPR. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai ketua tim pemenangan SBY-Boediono. "Laporan keuangan disiapkan bendahara, transparan, terbuka dan diaudit bawaslu dan KPU, jelas ini sudah selesai," kata Hatta.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin pun ikut membantah tudingan Firman Wijaya. "Apa yang dia (Anas) sampaikan dalam upaya untuk mencoba membela dirinya dan meringankan dirinya tentu saja. Namanya juga ingin hukumannya ringan," kata Amir. Amir meyakini KPK tidak akan terkecoh dengan pernyataan kuasa hukum ketua ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) ini. "Namun, informasi ini juga tidak akan dibiarkan oleh KPK. Mereka mungkin akan mendalaminya. Kita serahkan semua ke KPK," ujarnya. (viva)