Ilustrasi  tahun baru. (Freepik/rawpixel)

TAHUN Baru merupakan peristiwa bersejarah dalam kehidupan manusia. Baik sebagai umat beragama, suku bangsa atau sebagai warga negara.

Dalam kehidupan beragama kita mengenal Tahun Baru Hijriyah, yang oleh orang Jawa disebut dengan Tahun Baru Satu Syura. Demikian pula umat Kristiani mengenal Tahun Baru Masehi, 1 Januari.

Bagi umat Hindhu merayakan Tahun Baru Saka, Tahun Baru Waisya bagi umat Budha, serta Tahun Baru Imlek bagi warga keturunan Tionghoa.

Pada waktu pergantian tahun, setiap penganut agama, suku bangsa atau sebagai warga negara mempunyai cara-cara yang berbeda untuk merayakan Tahun Baru itu.

Pada dasarnya, Tahun Baru adalah pergantian tahun sebelumnya menjadi tahun yang sekarang kita lalui. Dengan ditandai penanggalan awal dan bulan pertama.

Sehingga bila melihat hakikat perjalanan hidup manusia dari waktu ke waktu menuju pada arah kesempurnaan, baik dari cara berpikir maupun dalam hal bertambahnya usia.

Dengan pergantian tahun, kehidupan manusia mengalami siklus dari kehidupan seorang bayi menjadi anak-anak, dari anak-anak menjadi remaja, dari remaja menjadi dewasa dan dari orang dewasa menjadi tua sehingga dari orang tua bersiap-siaplah untuk memasuki “Alam Barzah”.

Sungguh, hidup dan mati manusia sudah ditentukan kadarnya. Kita bisa saja meninggal dalam keadaan usia lanjut. Kita juga bisa meninggal dunia pada usia sangat muda yang masih produktif. Atau bahkan masih usia anak-anak.

Apalagi kondisi zaman di mana manusia tidak bisa memprediksikan batas kehidupannya. Hal ini karena faktor alam, bencana alam, musibah, wabah suatu penyakit, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain sehingga bisa saja manusia menemui ajalnya.

Demikian pula dengan bergantinya tahun tentu terjadi perubahan pada sikap, mental, spiritual dan kepribadian manusia semakin matang, sehingga problematika semakin rumit, tugas dan tanggung jawab semakin banyak dan berat.

Maka, kehidupan manusia mengarah pada “ahsani taqwim”, bukan sebaliknya menuju pada “asfala safilin” atau bahkan mengarah kepada akhlaq hayawani, “ula ika kal‘an’ami balhum adhallun”. (Qs. Al A’raf: 178)

Sebagaimana umat Islam dan masyarakat Jawa benar-benar berupaya untuk memanfaatkan momentum penting datangnya Tahun Baru. Bagi umat Islam yang menandai awal kebangkitan Agama Islam yang selama 13 tahun diperkenalkan dan diajarkan pada penduduk Mekkah belum diterima sebagai agama yang benar.

Bahkan selama kurun tersebut, Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya hidup dalam tekanan orang-orang kafir. Sehingga kemudian Rasulullah diperintahkan Allah untuk hijrah dari Mekkah ke Yasrib/Madinah dan ternyata di kota itu Muhammad beserta pengikutnya diterima dengan baik dan Islam-pun segera tersebar, dengan mengajarkan konsep-konsep kehidupan bermasyarakat, ekonomi, sosial politik, dan budaya.

Awal kebangkitan ini diabadikan oleh khalifah Umar bin Khattab sebagai kalender Hijriyah dan menetapkan 1 Muharram sebagai awal tahun.

Walaupun pada zaman rasul tidak diadakan peringatan secara spesifik, namun jelas pada bulan itu adalah momentum bersejarah bagi perkembangan agama Islam. Akhirnya bulan ini ditetapkan sebagi salah satu hari besar Islam.

Demikian pula tanggal 1 Syura yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram, orang Jawa banyak yang melakukan perenungan untuk mencari jati dirinya.

Sekalipun proses Islamisasi telah dilakukan oleh para wali, namun masyarakat Jawa yang masih kental dengan tradisi dan budaya Hindu dan Budha.

Di Indonesia masih banyak kelompok “Islam Kejawen” yang terus melestarikan warisan leluhurnya, sehingga walaupun beragama Islam, mereka melakukan sinkritisme agama dan budaya.

Lain halnya dengan peringatan Tahun Baru Miladiyah/Masehi, dari waktu ke waktu dilakukan dengan kegiatan yang bernuansa berhura-hura dan berfoya-foya.

Karena peringatan Tahun Baru ini nyaris telah menjadi milik bersama, dari semua kalangan, bahkan di antara mereka tidak mengetahui hakikat memasuki Tahun Baru Masehi 1 Januari.

Kebanyakan di antara mereka hanya ikut-ikutan, menghabiskan waktu malam dengan berkeliling kota sambil meniup terompet.

Keramaian yang terjadi setiap tahun banyak meninggalkan permasalahan, dengan memunculkan beraneka macam kerawanan sosial dan perbuatan asusila.

Demikian pula dampak lingkungan, adanya sampah berceceran di mana-mana, bahkan terjadi kecelakaan lalu lintas. Maka harus dilakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi seperti peristiwa di atas.

Hakikat Tahun Baru

Setiap pergantian tahun, setiap manusia dapat merenungkan arti dari suatu kehidupan. Apakah sudah berupaya memaksimalkan diri dalam tiga hal yang saling berkaitan, yaitu hidup, sehat, dan kematian.

Kalau ditanyakan apa bedanya antara hidup dengan mati. Pada hakikatnya hidup adalah masih menyatunya antara jasad dengan ruh.

Walaupun kadang hidup yang demikian bukan kehidupan yang paripurna, banyak orang yang masih diberikan kehidupan, namun sudah tidak merasakan nikmatnya hidup.

Semua sudah serba terbatas dan dibatasi oleh keadaan, seperti orang yang hidup namun menderita penyakit kronis, seperti jantung, paru-paru, liver, ginjal, diabetes, penyakit pembuluh darah, kanker dan sebagainya.

Orang yang sakit sering kali membayangkan ketika masih muda dan dalam kondisi sehat, mereka dapat melakukan aktifitas apapun yang diinginkan.

Namun ketika sakit, mereka hanya mengeluh dan putus asa. Kondisi ini tentu akan menambah beban sakit sehingga menjadi komplikasi, karena hati dan rasa belum siap menerima keadaan.

Karena itu, walaupun hidup ini pada awalnya sesuatu yang tidak diminta, sebagaimana menurut Muh. Immaduddin Abdurrahim, pertama, hidup diberikan dengan cuma-cuma (gratis) tanpa diminta bahkan tanpa usaha.

Kedua, hidup diberikan kepada makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan dan ketiga, dengan hidup manusia diberikan alat-alat kelengkapan demi kelangsungan hidupnya.

Namun setelah manusia diberikan “kehidupan”, mereka tidak bisa menolak kehidupan dan berharap segera “dimatikan” lagi. Karena ketika hidup dan diberikan kesehatan, manusia dapat merasakan nikmatnya hidup di dunia, maka banyak orang yang enggan mati.

Walaupun dengan amal shalih yang telah dilakukan akan dilipatgandakan balasannya, sehingga menjadi lebih baik dari yang dilakukan.

Niscaya kebanyakan manusia menginginkan kehidupan yang indah di dunia ini, dunia nyata yang dapat dilihat dengan panca indra.

Demikian pula kesempatan yang ada pada diri kita adalah yang berkaitan dengan waktu. Dia “waktu” tidak akan pernah terulang lagi, maka orang yang menyia-nyiakan waktu adalah orang yang merugi.

Menyia-nyiakan waktu bisa jadi karena berupaya untuk mengulur-ulur waktu, memanfaatkan waktu dengan kegiatan yang kurang bermanfaat atau bahkan merugikan, bisa jadi tidak pernah menghiraukan waktu.

Baginya sesuatu mengalir apa adanya, tanpa usaha maksimal. Kelompok ini sama sekali tidak diharapkan bagi setiap Muslim, karena itu tiada pilihan lagi.

Bila ingin menjadi orang yang beruntung, hargailah waktu dan gunakan setiap kesempatan yang ada, kesempatan digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dengan meningkatkan amaliahnya.

Rasul pernah mengatakan bahwa “barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka termasuk orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia termasuk orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka termasuk orang yang dilaknat”.

Perayaan ulang tahun menjadi tradisi dari tahun yang lalu diulang-ulang lagi pada tahun sekarang dan yang akan datang, akankah menjadi orang yang rugi atau dilaknat oleh Allah. Karena sebagai Muslim hendaknya lebih korektif, dalam menghadapi kondisi zaman.

Janganlah upaya kesalihan yang telah dilakukan selama bertahun-tahun menjadi hancur lebur dalam satu malam, karena dampak dari perilaku yang tidak berdasar.

“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka”.(Qs.Asy-Syuara : 205, 206)

Karena itu dengan bergantinya tahun, hendaknya menjadi media muhasabah, menghitung-hitung betapa besarnya nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan secara gratis.

Setiap detak jantung, tarikan nafas dan gerak langkah yang dilakukan dengan reflek menjadi irama kehidupan yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Tahun Baru hendaknya menjadi momen introspeksi diri yang mempertinggi nilai-nilai keluhuran budi, menata masa depan yang cerah dan mempertajam mata hati.

Tahun Baru bukan dilihat dari kemeriahannya, banyak orang berlalu-lalang sedang mencari kepuasan diri.

Namun bagaimanakah menutup lembaran-lembaran hidup yang telah dilakukan, kemudian membukanya kembali, yang baik untuk ditingkatkan lagi dan yang buruk dikubur dalam-dalam.

Sesungguhnya Tahun Baru bisa terjadi kapan saja, pergantian waktu dari siang ke malam, dari tidur sampai bangun kembali, keadaan dari sakit kemudian menjadi sehat. Ini semua peristiwa baru yang tidak dapat dilupakan begitu saja tanpa makna yang berarti. (kompas)

Penulis: Imam Basori Dosen Associate Professor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer