Foto: Suasana demo yang digelar Persatuan Perangkat Desa Indonesia di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2023).

Jakarta – Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bakal direvisi. Rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyepakati draf aturan tersebut menjadi rancangan undang-undang (RUU).

Selanjutnya, draf aturan ini akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk dimintakan persetujuan sebagai RUU usulan inisiatif DPR.

Sedianya, revisi UU Desa tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR 2023. Namun, legislator menargetkan revisi UU tersebut rampung sebelum Desember tahun ini.

“Kalau teman-teman ini kan ingin menargetkan sebelum Desember, sebelum padat-padatnya itu sudah selesai. Insya Allah itu bisa tercapai,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat audiensi dengan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (5/7/2023).

Ada 19 poin perubahan dalam revisi UU Desa yang belakangan menuai pro dan kontra.

Misalnya, dalam revisi UU Desa, akan dilakukan penambahan hak kepala desa (kades) untuk menerima penghasilan tetap setiap bulan, serta tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah. Kades juga akan mendapatkan jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, serta mendapatkan tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatan.

Aturan kontroversial lainnya, masa jabatan kepala desa ditambah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, paling banyak dua kali masa jabatan secara berturut turut atau tidak secara berturut turut.

DPR juga berencana menambah dana desa dari Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa, menjadi Rp 2 miliar.

Rancangan aturan ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah pihak, salah satunya pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan. Dia menilai, revisi UU Desa rawan menimbulkan penyalahgunaan dan sarat transaksi politik.

Lampaui Zaman Orde Baru

Djohan menyebut, masa jabatan kepala desa 9 tahun melampaui lama masa jabatan kades pada zaman Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.

“Di zaman Pak Harto itu masa jabatan kepala desa satu periode itu 8 tahun,” kata Djohan, Rabu (5/7/2023).

Pada era Orde Baru, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa mengatur masa jabatan kepala desa 8 tahun dalam satu periode dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Artinya, pada masa itu, kepala desa paling lama menjabat 16 tahun.

“Itu saja pemerintahan sangat otoriter, sangat sentralistik, militeristik, serba terpusat, dan terjadi penyeragaman seluruh desa di Indonesia,” ujar Djohan.

Menurut Djohan, rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.

Seharusnya, sebagai negara demokratis, masa jabatan para pemimpin, termasuk di level daerah, dibatasi agar tak terlalu lama. Apalagi, saat ini Indonesia sudah memasuki era Reformasi.

Namun, faktanya, ketika mayoritas pemimpin seperti presiden dan wakil presiden, bupati, dan wali kota masa jabatannya di kisaran 5 tahun, kepala desa yang lingkup kerjanya lebih sederhana justru dapat menjabat hingga 9 tahun.

“Kita 6 tahun masa jabatan katakan sudah melampaui, sekarang dibuat jadi 9 tahun. Itu lama berkuasa besar, potensi penyimpangannya juga besar,” katanya.

Koruptif

Djohan pun menilai, penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun rawan menimbulkan penyimpangan. Menurut dia, potensi korupsi semakin terbuka lebar jika kepala desa diberi kekuasaan dalam kurun waktu yang panjang.

“Menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsilah,” katanya.

Situasi ini diperumit dengan minimnya kompetensi kepala desa dalam mengelola administrasi daerah. Namun, hal ini sulit dihindari lantaran kepala desa merupakan jabatan politis yang ditentukan oleh rakyat.

Demikian pula dengan perangkat desa, umumnya adalah orang-orang yang sebelumnya turut mensukseskan kepala desa dalam pemilihan, tapi miskin pengetahuan pengelolaan pemerintahan.

“Jadi kompetensi kemampuan administratif boleh dikatakan lemah. Padahal ini menyangkut tata kelola. Jadi kekuasaan yang lama, 9 tahun, miskin kompetensi,” ucap Djohan.

Sejahterakan kades

Menurut Djohan, revisi UU Desa hanya mengutamakan kepentingan kades, bukan warga desa. Sebab, tampak jelas bahwa poin-poin yang direvisi dalam undang-undang ini bakal memperluas sekaligus memperkuat kekuasaan kades.

“Jadi ini adalah betul-betul undang-undang yang saya bilang untuk kepala desa, bukan untuk rakyat desa,” ujarnya.

Salah satu upaya melanggengkan kekuasaan itu dituangkan dalam pasal yang mengatur penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun. Dalam revisi UU Desa diatur pula penghasilan tetap dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun.

Bahkan, pembuat UU mengusulkan untuk menambah besaran dana desa dari Rp 1 miliar per tahun setiap desa, menjadi Rp 2 miliar.

Menurut Djohan, kepentingan kepala desa dalam revisi UU Desa terlihat jelas sejak awal. Kepala desa-lah yang sedari awal menyuarakan penambahan masa jabatan lewat revisi UU ini.

Bahkan, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh kades di berbagai wilayah untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.

Sampai-sampai, kepala desa terang-terangan mengancam akan menggembosi suara rakyat desa pada Pemilu 2024 jika tuntutan mereka tak dikabulkan.

“Kepala desa kok minta masa jabatan diperpanjang itu gimana, mana etikanya?” ujar Djohan.

Transaksi politik

Revisi UU Desa ini pun dinilai kental akan nuansa politik transaksional. Pasalnya, prosesnya dikebut jelang gelaran Pemilu 2024.

“Sangat berkaitan sekali ini dengan Pemilu 2024, ini politik transaksi kalau saya membacanya,” ucap Djohan.

Lewat revisi UU Desa, anggota DPR sebagai pembuat UU seolah tengah bertransaksi, menukar pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk memperluas kekuasaan kades, dengan kepentingan Pemilu 2024.

Djohan mengatakan, kepala desa umumnya punya kekuatan yang besar di wilayahnya. Seorang kades mampu memengaruhi pilihan politik warga desa.

Oleh karenanya, bukan tidak mungkin UU Desa ini dijadikan senjata buat DPR menagih “imbalan” ke kepala desa kaiatannya dengan dukungan politik untuk pemilu.

“Bahwa nanti kami (anggota DPR) sudah kasih nih Anda (kepala desa) masa jabatan, kasih kekuasaan, kasih macam-macam dana, dan juga untuk tambahan penghasilan Anda, pokoknya Anda sejahtera Pak Kades, tapi tolong kami dibantu dengan suara (saat pemilu),” tutur Djohan.

Atas kemungkinan ini, Djohan khawatir transaksi politik lewat revisi UU Desa akan mengganggu jalannya Pemilu 2024.

“Ini akan bikin gaduh pemilu. Bisa jadi nanti di video-video Pak Kades mengarahkan warga untuk memilih partai tertentu, caleg (calon legislatif) tertentu, pasangan capres (calon presiden) tertentu. Itu kan mengurangi kualitas demokrasi kita, kualitas pemilu kita, efeknya bisa panjang kemana-mana,” katanya.

Pengawasan

Menyikapi potensi bahaya tersebut, Djohan menilai, tata kelola pemerintahan desa perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum merealisasikan perpanjangan masa jabatan kades.

Penguatan pengawasan itu misalnya, menempatkan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai sekretaris desa (sekdes).

Biasanya, sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu kepala desa saat pemilihan. Menurut Djohan, hal demikian menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran.

Sekdes umumnya tak kuasa menolak perintah kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Sebab, menolak perintah kades bisa berujung pada pencopotan jabatan sekdes.

“Jadi harus kasih sekdes yang profesional, kompeten, yaitu PNS,” ujar Djohan.

Bersamaan dengan itu, kata Djohan, pengawasan kepala desa oleh lembaga di atasnya harus diperkuat.

Secara struktural, pengelolaan pemerintahan desa mestinya diawasi oleh inspektorat di pemerintah kecamatan dan kabupaten. Namun, fungsi itu kerap tak berjalan maksimal karena beban inspektorat yang begitu besar dalam mengawasi lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.

Sementara, Djohan menyebutkan, Badan Permusyawaratn Desa (BPD) yang sedianya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri.

“Perkuat itu dulu, bikin inspektorat itu punya perangkat sampai ke kecamatan, taruh pengawas keuangan desa di kecamatan. Setiap kecamatan ada pengawas keuangan desa yang mengerjakan tugas, termasuk memeriksa keuangan kepala desa,” katanya.

Djohan pun mendorong Presiden Joko Widodo untuk menunda persetujuan pengesahan revisi UU Desa. Menurutnya, ada banyak hal yang harus lebih dulu dibenahi sebelum menambah masa jabatan kepala desa.

“Pemerintah sebaiknya bilang ke DPR bahwa kami belum bisa membahas (revisi UU Desa), kami mau melakukan evaluasi dulu terhadap RUU ini secara menyeluruh,” tutur mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu. (kompas)

Penulis: Fitria Chusna Farisa

Editor: Fitria Chusna Farisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer