Sejumlah bendera partai terpasang di sepanjang flyover Jalan Gatot Subroto dari arah Senayan menuju Slipi, Jakarta Pusat. (foto: KOMPAS.com/BAHARUDIN AL FARISI)

Dunia tidak diubah oleh orang-orang yang menciptakan peristiwa-peristiwa besar seperti revolusi dan reformasi, namun dunia diubah oleh mereka yang menciptakan niali-nilai baru secara diam-diam. (Fredreich Neizche)

MENJELANG pencoblosan 14 Februari 2024, pertarungan para calon semakin seru saja. Partai, calon presiden, legislatif dari semua level berdenggung kencang seperti sarang lebah yang dilempar; keluar dari kepengapan dan endapan ide-ide yang telah disusun sebelum kampanye digelar.

Banyak gelagat yang muncul sebagai pertanda genderang pertarungan dalam penguasaan (penjajahan?) opini masyarakat.

Banyak uang yang akan atau telah dihamburkan sebagai bagian dari suatu kemestian dari setiap pesta dan karnaval pemilu. Telah banyak stretegi jujur (hipokrisi?) disusun yang mengerangkeng kepala rakyat untuk memilih apa kemauan kandidat.

Gemuruh kesemuanya akan memecah keheningan dan kedamaian masyarakat yang masih dikhusukkan dengan keterjepitan hidup.

Mereka “dipaksa” untuk ikut bagian dari setiap peristiwa dan karnaval yang kadang-kadang menyuguhkan dagelan-dagelan dan arak-arakan politik.

Mata mereka dipusingkan dengan kepadatan visual, gambar, baliho, umbul-umbul, iklan, bendera, baik di media, di dinding toko atau di sepanjang jalan, bahkan sampai merusak lingkungan (batang kayu).

Mereka digiring dalam batas-batas kewarasannya untuk memilih dan mengikuti irama pertarungan yang warna-warni.

Tidak salah, mengutip Baudrillard, masyarakat dipenjara dalam bentuk keheningan dan kediaman (silent majority).

Mereka acapkali diposisikan sebagai bagian dari sasaran tanpa sepantasnya mereka merespons secara sadar dan kritis atas apa yang mereka mamah dari ide-ide yang kadang kala tidak mereka mengerti.

Masyarakat disuguhkan dengan berbagai macam jargon, istilah, idiom, makna, penafsiran, terminologi dan kemestian yang senyatanya tidak ada dalam kamus keseharian mereka.

Kecenderungan ke arah itu sudah menampakan tubuhnya. Betapa kontradiksinya, dalam level kebahasaan (kampanye) membawa dampak yang menyedihkan pada sudut pandang pengetahuan masyarakat.

Mereka terbenam dalam gelegar kata-kata, celotehan para kandidat. Tak ayal lagi mereka tetap berada pada posisi diam.

Dengan permainan bahasa (languange game) dan sedikit dibumbuhi dengan tanda-tanda, partai atau para kandidat selalu memproduksi, mereproduksi gagasan, program dan segala tetek bengeknya sehingga gaya-gaya terus berputar secara kaleidoskopis dan terus diteriakan dengan lantang.

Partai dan kandidat tidak hanya mencoba mengorganisasi pikirannya, tapi memobilisasi massa diam dalam kampanyenya. Mereka tidak hanya memberikan pendidikan, tetapi juga pembodohan.

Mereka tidak hanya menampilkan ‘kebenaran’, tetapi juga penipuan di sana-sini. Mereka tidak hanya membacakan ‘program-program’, tetapi juga menyampaikan khayalan-khayalan.

Mereka tidak hanya menyuarakan kepentingan bersama, tetapi juga kepentingan dirinya. Mereka tidak hanya ‘menyadarkan’ masyarakat, tetapi juga membutakannya.

Mereka tidak hanya bermain dengan kata-kata, tetapi juga memanipulasinya. Mereka tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga mendistorsinya. Inilah ketidakwarasan.

Dalam praktiknya, kandidat dan partai yang mengusung justru mencela dan membenci kandidat lain dan menggantungakan secara berlebihan harapan, mimpi, dan imaji untuk masa yang akan datang.

Mereka memanfaatkan momen untuk menumbuhkan dalam benak masyarakat citra dan image betapa tidak jelasnya seseorang atau orde sekarang.

Bagi incumbent/orang lama dengan gembira dan percaya diri, yang kadang berlebihan, merinci segala prestasi dan pencapaian sebagai bagian pembumian karakter diri.

Kedua bentuk kandidat tersebut meringsut untuk mengubur masyarakat dalam mimpi-mimpi yang tidak waras perihal orde masa depan.

Banyak kosa kata yang keluar sebagai bagian dari pengukuhan citra ini. Kosa kata yang dipopuler, salah satunya, adalah ‘membangun masyarakat yang lebih baik dan sejahtera, membangun bersama masyarakat, konsisten membangun aqidah, bangkit untuk perubahan, konsisten memperbaiki kesejahteraan guru, generasi baru dengan harapan baru, pengentasan kemiskinan, pintar memilih dan memilih yang pintar, bersama kita kuat, saiyo sakato membangun nagari, terbukti membawa perubahan dan entah apalagi’.

Kata-kata tersebut diluncurkan dengan mulus melalui uraian-uraian indah dan syahdu serta mencampakan penderitaan yang sedang dialami, kepedihan hidup yang dirasakan, kerisauan dan kegagalauan tentang kondisi sekarang, kelaparan, busung lapar dan banyak lagi.

Dengan kata-kata yang manis bahwa kandidat tertentu dengan santun (sombong?) akan segera menuntaskan agenda yang masih terbengkalai/tidak tercapai.

Dengan citra yang disuguhkan masyarakat tidak hanya berpikir dan memahami masyarakat masa depan, tetapi juga seolah-olah dipaksa “membentuk” realitas masa depan sesuai dengan mimpi-mimpi para kandidat.

Mereka dibanjiri citra, makna, simbol, sosok dan jargon akhirnya mereka jatuh dalam medan simbolik karena penguasaan citra oleh partai atau kandidat.

Manipulasi bahasa terjadi di mana-mana, kedistorsian ide berserakan di mana-mana, pemerkosaan citra terpampang, penyimpangan tafsiran, makna dan ungkapan terjadi di mana-mana di setiap sudut kota demi penaklukan pikiran-pikaran masyarakat (silent majority).

Tidak disangkal lagi calon presiden, partai dan para kandidat bergaya seolah-olah mereka adalah rezim kebenaran penafsiran atas realitas, masalah dan sebagainya. Inilah kegilaan.

Wacana normaliasasi juga akan senantiasa muncul dari setiap calon yang bermasalah. Sehingga dengan normalisasi kandidat yang bermasalah, kelompok atau masyarakat tertentu yang dinggap potensial dalam menggoyang stabilitas kandidat tidak lagi mendapatkan tempat sebagai subyek politik.

Mereka dikelompokkan dalam sudut ruang massa mengambang yang dianggap kurang kompeten untuk terlibat aktif dalam politik.

Jargon ‘mereka masih tertinggal, rakyat menjerit, bodoh dan sebagainya’ adalah bagian yang juga ikut meramaikan arakan-arakan ini.

Di sinilah, dengan mengikuti iramanya, tepat apa yang dilantunkan oleh Yasraf. Dalam kampanye akan lahir mesin bahasa (languge machine) yang menjadikan bahasa sebagai satu cara penipuan.

Lahir mesin simbol (symbolic machine) yang digunkan untuk memanipulasi tanda-tanda. Lahir mesin informasi (information machine) yang digunakan untuk melencengkan atau mendistorsikan informasi.

Lahir mesin citra (image machine) yang digunakan untuk menciptakan dunia yang serba semu. Inilah ketidakwajaran.

Hasrat untuk membakukan suatu jargon merupakan bagian dari manipulasi bahasa kampanye, strategi untuk membumikan kultur suatu partai.

Di balik itu akan muncul pemahaman biner dalam memandang kandidat; berpengalaman dan tidak berpengalaman, memperjuangkan syariat Islam atau sekuler dan sebagainya, partai peduli rakyat atau partai yang hanya peduli kepentingan sendiri.

Hal ini mengakibatkan pemerkosaan dan alienasi suatu bahasa dari komunitas kepemilikan bahasa secara luas (masyarakat).

Partai atau kandidat menampilkan pesona, padahal di belakangnnya bersemayam shadow. Di hadapan massa mereka melantunkan kebenaran (truth), namun sebenarnya yang mereka menyembunyikan kepalsuan (pseudo).

Mereka, dengan lantang akan menyelesaikan masalah (problem solver), senyatanya mereka adalah pencipta masalah (problem maker).

Akhirnya suatu bahasa seolah-olah milik otoritas tertinggi suatu kandidat tertentu. Dengan cara dialogis, musyawarah, cara kebersahajaan, lembut dan hati-hati mereka melakukan tafsiran dan pemaknaan atas realitas, namun di dalamnya tersimpan mesin kepura-puraan, kebohongan, penipuan dan bahkan penyesatan.

Artinya, di sini, ditilik adanya ruang yang menyempal atas ruang yang lebih besar (kemaslahatan). Inilah ruang yang membuat masyarakat merasa pengap dan hidup dalam simpang siur pembicaraan.

Walhasil masyarakat tetap dalam lubang ketidakmenentuan dan ketidakpastian, ketidakmengertian, kebingungan; kejahatan dianggap kebenaran, pemborosan dianggap kemaslahatan bersama, kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran, rumor lebih shahih daripada informasi.

Muaranya, yang tercipta bukan kesadaran politik, namun yang dituai adalah false politic consciousness, yang terbangun bukan melekpolitik, namun yang terjadi adalah penjahilan politik dan yang terjadi bukanlah demokrasi, namun yang timbul adalah pemasungan ide.

Berharap bahwa masyarakat mulai cerdas dan tidak mudah tertipu dengan pencitraan kandidat yang kadang tidak rasional.

Masyarakat mesti paham dengan pengalaman pemilu sebelumnya, bagaimana cara “memanfaatkan”, “cara meng-counter tipuan” atau menemukan serum sebagai penawar atau antitoksin dari virus para kandidat.

Kalau pemilu sebelumnya masyarakat merasa ditipu oleh kandidat atau tim sukses, maka sekarang saatnya bagi mereka negosiasi secara langsung.

Atmosfer politik uang atau perilaku politisi sebelumnya bagi masyarakat hari ini adalah senjata untuk menekan para kandidat.

Ini kultur masyarakat yang sering ditipu yang akan selalu mencari counter sebagai tipuan-tipuan ala mereka.

Berdasarkan pengalaman, mereka bukan datang lagi dengan kekosangan, tapi datang dengan taktik sendiri yang didiamkan dalam akal pikiran mereka. Inilah senjata bagi kandidat yang pendusta dan tidak amanah. (kompas).

Penulis: Muhammad Taufik. Dosen dan Ketua Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang. Direktur Eksekutif Mata Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer