MAJALAHBUSER.com – Patung Bung Karno bersama Bung Hatta bertebaran di mana-mana, termasuk di Surabaya berdiri di Tugu Pahlawan. Patung tersebut sebagai penanda peran beliau berdua dalam perundingan menjelang peristiwa ‘intifadhah’ 10 November 1945. Patung Bung Karno dan Bung Hatta di Surabaya masuk kategori diorama sebagai pengingat sekaligus penanda sejarah.
Diorama sejenis benda miniatur tiga dimensi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suatu adegan. Asal usul diorama adalah dekorasi teater di Eropa dan Amerika pada abad ke-19. Pencinta miniatur sering membuat diorama untuk memamerkan model kendaraan militer dan miniatur public figure.
Diorama pada masa modern digunakan untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya dari landskap keadaan sejarah, kejadian alam, dan keadaan kota untuk kebutuhan pendidikan atau pertunjukan.
Di Jakarta patung Bung Karno dan Bung Hatta berdiri di Tugu Proklamasi. Keberadaan patung tersebut sangat jelas tujuannya sebagai penanda sejarah shahih peristiwa 17 Agustus 1945 di Jakarta dengan tokoh sentral Sukarno-Hatta, bukan Soekarno saja.
“Di era pemerintahan Jokowi patung Bung Karno semakin banyak didirikan, salah satunya di Kementerian Pertahanan.”
Patung Bung Karno dengan posisi duduk memegang buku berdiri di area makam beliau, Blitar Jawa Timur sangat bagus untuk memotivasi dan mengingatkan pada generasi muda akan kegemaran beliau membaca.
Di era pemerintahan Jokowi patung Bung Karno semakin banyak didirikan, salah satunya di Kementerian Pertahanan. Hal demikian masih wajar sebab Bung Karno sebagai Presiden juga otomatis sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang di masa Perang Kemerdekaan 1945-1949, dengan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar.
Jenderal Soedirman termasuk tokoh bangsa yang banyak dibuatkan patungnya mengingat jasa-jasa besarnya, sampai detik ini belum ada yang menandingi. Patung-patung Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Soedirman, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya merupakan diorama penting bagi sebuah bangsa.
Rencana Pembangunan Patung Rp 10 Triliun
Mengutip Kompas.com figur Bung Karno hendak diabadikan dengan wujud patung raksasa di kawasan Perkebunan Walini, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Patung dengan tinggi 100 meter berdiri di atas lahan 1.270 hektare. Lokasi ini tepat di eks proyek Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang pembangunannya sudah dipastikan batal.
Patung akan dibangun oleh konsorsium Ciputra, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, dan seniman Nyoman Nuarta. Desain yang beredar menggambarkan patung Bung Karno akan dibuat dalam posisi duduk dengan kepala yang dilengkapi peci menengok ke arah kanan dan di bagian bawah terdapat bangunan dan tumbuhan hijau.
Patung Bung Karno rencananya dilengkapi agrowisa dan sebagainya, panitia pembangunan tengah mengurus beberapa perizinan untuk proyek pembangunan tersebut.
Mengkaji asas manfaat dan mudharat patung raksasa Bung Karno di tempat tersebut lebih mirip serta berfungsi sebagai ‘berhala’ daripada diorama. Berhala adalah patung-patung yang disembah oleh kaum jahiliah kafir Quraisy. Berhala-berhala diberi nama Hubal, Lata, Uza, dan sebagainya diyakini mampu membawa ‘keberkahan’ bagi kaum jahiliah.
“Bung Karno dengan kekuasaannya lebih memilih membangun proyek-proyek mercusuar untuk menjadikan rakyat Indonesia bangga dan Indonesia dihargai bangsa-bangsa lain.”
Apa yang hendak di ingat dengan patung Bung Karno di Ciwalini? Pernah tinggal di sana, pendiri perkebunan atau kerja di sanakah pemimpin kita tersebut.?
Tentang anggaran sebesar Rp 10 triliun ‘cuma’ demi patung Bung Karno, seandainya beliau gila hormat tentu akan membangun sendiri patung dirinya. Siapa yang tidak mengenal Bung Karno dengan ‘kebesarannya’ bergelar Pemimpin Besar Revolusi, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia dan sebagainya.
Bung Karno dengan kekuasaannya lebih memilih membangun proyek-proyek mercusuar untuk menjadikan rakyat Indonesia bangga dan Indonesia dihargai bangsa-bangsa lain. Sebut saja Istora Senayan untuk menyambut Asian Games 1962, Masjid Istiqlal yang megah, Monumen Nasional dan lain-lain.
Membangun patung-patung raksasa ‘rasa’ berhala demi mengagumi pemimpin atau raja sebagai peradaban kuno atau ‘primitif’ sekelas raja-raja Mesir kuno membangun Piramid untuk makamnya dan patung Sphinx menggambarkan para raja. Bangunan-bangunan megah Piramid dan Sphinx warisan sejarah Mesir kuno menjadi objek wisata menarik, bahkan masuk sebagai salah satu keajaiban dunia.
Sementara raja-raja Nusantara pendiri kerajaan besar Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, Mataram, dan sebagainya tidak pernah ditemukan patung raksasa mereka. Nama-nama mereka dan rekaan wajahnya hanya bisa dilihat, dibaca dari prasasti-prasasti yang ditemukan. Dengan demikian peradaban raja-raja Nusantara sudah sangat maju dengan membuat tulisan-tulisan berupa prasasti, bukan patung-patung diri para raja serta permaisuri.
Lestarikan Warisan Intelektual
Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya mewariskan banyak tulisan-tulisan untuk dirawat di dalam ingatan generasi penerus bangsa. Di Surabaya Sukarno remaja telah belajar menulis di koran Oeteoesan Hindia milik Sarekat Islam yang dipimpin Cokroaminoto.
Saat kuliah di Bandung Bung menerbitkan koran “Fikiran Ra’jat” dibantu Ahmad Hasan tokoh Persatuan Islam. Bung Karno antara lain menulis Indonesia Menggugat berisi pleidoi beliau bersama tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dituduh makar oleh pemerintah kolonial.
Buku lainnya yang terkenal yaitu Di Bawah Bendera Revolusi untuk membangkitkan semangat revolusi sebagai bangsa yang baru merdeka dari penjajahan ratusan tahun.
“Memasuki usia ke-78 kemerdekaan Republik Indonesia haruskah bangsa Indonesia menjadi bangsa primitif? Yang mengagumi dan menghargai tokoh-tokoh pahlawan hanya dengan patung ‘raksasa’ menyerupai berhala?”
Bung Hatta tidak kalah produktif dalam menulis, artikel dan buku-buku beliau yang terkenal antara lain Indonesie Vrij ditulis sejak 1923 bersama Perhimpunan Indonesia di Belanda. Buku Alam Pikiran Yunani menjadi kado pernikahan bahkan ‘maskawin’ Bung Hatta kepada Ibu Rachmi.
Buku-buku tentang Sukarno dan Mohammad Hatta juga banyak ditulis orang lain seperti Cindy Adams menulis Penyambung Lidah Rakyat dan Deliar Noer menulis Biografi Politik Mohammad Hatta.
Memasuki usia ke-78 kemerdekaan Republik Indonesia haruskah bangsa Indonesia menjadi bangsa primitif? Yang mengagumi dan menghargai tokoh-tokoh pahlawan hanya dengan patung ‘raksasa’ menyerupai berhala. Penting merawat akal sehat menuju bangsa berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sesuai cita-cita Tri Sakti. Wallahualambishawab. (Prima Mari Kristanto/PWMU)
*Editor Mohammad Nurfatoni