Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan hari ini, Selasa (11/7/2023), resmi disahkan dalam Rapat Paripurna ke-29 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa sidang 2022-2023.
Dalam rapat itu, terdapat 2 fraksi yang menolak pengesahan yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi Keadilan Sejahtera. Sedangkan yang mendukung pengesahan adalah fraksi PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP.
“Kami akan menanyakan kepada fraksi lain, apakah RUU Kesehatan dapat disetujui jadi UU? Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN, Fraksi PPP setuju ya?” tanya Ketua DPR Puan Maharani.
“Setuju,” seru para anggota DPR.
Sejumlah pihak menganggap pengesahan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru, mengingat RUU inisiatif DPR RI ini baru saja dibahas pada tahun lalu.
Pemetaan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh kementerian teknis terkait, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), baru terjadi pada Februari hingga April 2023.
Apalagi, produk hukum yang akan disahkan memuat banyak Undang-Undang yang sudah eksis, yakni mencabut 9 UU dan mengubah 4 UU terkait kesehatan.
Dalam perjalanan penyusunannya, RUU Kesehatan menuai pro dan kontra, termasuk dari para organisasi profesi (OP).
Mereka melawan dengan banyak cara, mulai dari aksi di depan gedung DPR RI hingga berencana mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini terjadi lantaran adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dan sejumlah organisasi profesi.
Pemerintah menilai beberapa pekerjaan rumah bisa diselesaikan melalui RUU Kesehatan, termasuk penciptaan dokter spesialis.
Menurut pemerintah, dominasi organisasi kesehatan menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena mahalnya biaya pengurusan izin praktik. Padahal, rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar.
Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, 0,20 per 1.000 penduduk.
Sementara itu, rasio dokter umum 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, lebih rendah dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebesar 1,0 per 1.000 penduduk.
Selain itu, terdapat sejumlah pasal yang dipersoalkan oleh para tenaga kesehatan dan tenaga medis dari UU Kesehatan itu.
1. Persoalan mandatory spending
Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah soal mandatory spending atau alokasi anggaran. DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.
Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.
Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal. Namun, penghilangan pasal itu justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.
2. Kemudahan izin dokter asing
Persoalan yang menjadi sorotan para tenaga kesehatan di dalam UU Kesehatan yang direvisi itu adalah soal kemudahan pemberian izin untuk dokter asing.
Di dalam beleid yang baru disahkan itu disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri buat membuka praktik.
“Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP),” demikian menurut Pasal 233 UU Kesehatan.
Persyaratan yang harus dikantongi mereka buat membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktek.
Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.
Aturan itu dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.
3. Syarat surat keterangan sehat dan rekomendasi
UU Kesehatan juga mengubah persyaratan bagi seorang dokter buat mendapatkan SIP.
Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi,” demikian isi pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan.
Menurut IDI, aturan itu sama saja mencabut peran organisasi profesi terkait persyaratan praktik tenaga kesehatan. Sebab dengan aturan itu maka seorang dokter tidak lagi memerlukan surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi buat mendapatkan SIP.
IDI berpandangan, surat rekomendasi itu akan menunjukkan calon tenaga kesehatan yang bakal memulai praktik sehat dan tidak mempunyai masalah etik dan moral.
4. Pembatasan jumlah organisasi profesi
UU Kesehatan yang direvisi juga dianggap mengatur peran dan pembatasan organisasi profesi.
“Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi,” demikian isi Pasal 314 ayat 2 UU Kesehatan.
Yang dipertanyakan oleh IDI adalah apakah nantinya organisasi profesi tunggal itu diterapkan untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi tenaga kesehatan yang spesifik seperti dokter gigi, dokter mata, dan sebagainya.
5. Konsil kedokteran di bawah menteri
Pasal dalam UU Kesehatan yang dipersoalkan adalah tentang posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
“Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri,” demikian isi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.
Menurut IDI, pasal itu melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya akan diambil alih Kemenkes.
Sebab Konsil Kedokteran sebelumnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.
6. Kekhawatiran kriminalisasi nakes
Para dokter dan tenaga medis juga menyampaikan kekhawatiran atas pasal yang mengatur tentang ancaman pidana penjara bagi mereka yang melakukan kelalaian berat.
“Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun,” demikian isi Pasal 462 ayat 1.
Lantas pada ayat 2 disebutkan, “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.
Siap berdiskusi
Di sisi lain, Kemenkes menyatakan penolakan terhadap UU Kesehatan didasarkan pada desas-desus yang beredar di grup WhatsApp (WA) serta provokasi dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril, RUU Kesehatan justru akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter dan mendapatkan pengobatan dan layanan kesehatan yang murah. Syahril pun menyesalkan penolakan malah terjadi di kalangan guru besar.
“Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan,” kata Syahril dalam keterangan pers pada Selasa (11/7/2023).
Ia lantas mencontohkan salah satu isu tidak benar yang dihembuskan para guru besar, yaitu terminologi dan waktu aborsi.
Padahal lanjut Syahril, masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru. RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan. Masalah lainnya, yaitu terkait dengan genomik.
“Pengobatan presisi secara genomik sudah umum di negara lain. Indonesia sudah jauh ketinggalan. Malaysia dan Thailand sudah memulainya lebih dari lima tahun lalu. Kenapa guru besar ini keberatan dengan ilmu baru ini?” tanya Syahril.
Kemenkes bahkan menyatakan bersedia membuka forum diskusi dengan para guru besar yang melayangkan petisi penilakan terhadap RUU Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani. (kompas)