Rumah lansia yang ditemukan tewas di Jalan Singgalang, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. (KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL)

Jakarta – Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan banyaknya lansia yang tewas dalam sunyi merupakan bukti negara yang belum punya peran terhadap mereka.

“Negara dalam hal ini adalah pemerintah, itu belum punya peran atau hadir untuk terlibat melakukan intervensi terhadap kelompok lansia,” kata Rakhmat saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/1/2024).

Pemerintah dianggap tidak mempunyai political will atau komitmen untuk menempatkan atau memberdayakan para lansia demi mengangkat sosial dan ekonomi mereka.

“Jadi, selama ini, negara tidak mengurusi soal itu. Misalnya hanya, ya fakir miskin dan anak-anak telantar kemudian dipelihara sama negara. Tapi, lansia enggak,” ucap Rakhmat.

“Itu yang menyebabkan, kasus-kasus yang muncul di beberapa lokasi, mereka sebenarnya korban dari stuktur sosial politik yang tidak instan, tapi dari proses yang sangat panjang,” lanjutnya.

Rakhmat kemudian mengambil contoh kebijakan Pemerintah Taiwan dalam memberdayakan lansia yang sudah berusia 70 tahun hingga 90 tahun.

“Dengan cara menyediakan kesempatan ruang-ruang seperti taman kota agar mereka bisa menghirup udara segar, bisa berinteraksi, bisa bercakap dengan sesama komunitasnya, ada forum pertemuan kelompok lansia. Jadi, mereka tidak terpinggirkan,” kata Rakhmat.

Secara sosiologis, lansia merupakan kelompok yang tidak lagi produktif dan terpinggirkan secara sosial dan ekonomi di masyarakat.

Hal tersebut menyebabkan mereka tidak mempunyai kesempatan atau ruang untuk berosialiasi dengan lingkungan sekitar.

“Kalau pun ada ruang-ruang perjumpaan untuk berinteraksi, itu terbatas. Mereka terpinggirkan, kelompok yang tidak lagi produktif, yang lemah,” kata Rakhmat.

Selain menjadi korban struktur sosial negara dan terkucilkan secara sosial, banyak lansia tewas dalam kondisi sebatang kara adalah korban masyarakat yang tidak peduli.

“Enggak menjaga dan melindunginya. Karena tadi, ya sudah, itu sudah urusan masing-masing, mereka sudah kehilangan empati dan sosial,” pungkasnya.

Rentetan peristiswa para sebatang kara yang mati dalam sunyi patut jadi alarm bagi kehidupan sosial.

Sepanjang 2023 saja, setidaknya ada empat kasus kematian diam-diam di Jakarta dan sekitarnya yang terekspos publik. Tahun ini sudah ada dua kasus serupa dalam waktu berdekatan. (kompas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer