SALAH satu pesta demokrasi terbesar di dunia sudah selesai digelar kemarin (14/2/2024). Indonesia, negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia, sukses menyelenggarakan pemilu dengan damai.
Hasilnya pun sudah mulai terbaca. Berdasarkan hasil hitung cepat semua lembaga survei, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming meraih suara di atas 50 persen. Itu berarti mereka menang mutlak dan pemilu hanya berlangsung satu putaran.
Menurut saya, apa pun hasil Pemilu itu, kita harus menerima itu sebagai kehendak rakyat. Begitulah adanya, mungkin terasa pahit bagi sebagian warga Negara, tetapi begitulah cara merawat demokrasi.
Saya tak mengesampingkan kritik terhadap penyelenggaraan Pemilu yang dianggap kurang sehat, seperti dugaan pengerahan aparat (ASN hingga kades) di masa kampanye, guyuran bansos, proses teknis hari-H yang membuat banyak warga Negara tak bisa menggunakan hak pilihnya dengan baik dan bebas, hingga perbedaan data unggah Sirekap dengan formulir C-1 yang sedang ramai di medsos, itu jadi catatan untuk dipersoalkan lewat proses pembuktian.
Kemenangan Prabowo-Gibran menegaskan kehendak mayoritas rakyat yang ingin keberlanjutan ketimbang perubahan. Tentu saja, ini memunggungi harapan sebagian orang, terutama kelas menengah dan kaum pro-demokrasi, yang menghendaki perubahan.
Bagaimana menjelaskan kemenangan Prabowo-Gibram? Mengapa arus politik perubahan belum cukup kuat untuk meraih kemenangan elektoral?
Faktor Jokowi
Saya kira, faktor terbesar yang menyumbang kemenangan Prabowo-Gibran adalah Jokowi. Mayoritas rakyat kita masih menghendaki jalan pembangunan ala Jokowi: infrastruktur fisik, pengendalian inflasi, dan bansos.
Proyek pembangunan infrastruktur Jokowi menjadi “success story” yang memikat banyak pemilih. Begitu juga pengendalian inflasi: Inflasi tahunan Indonesia turun dari 8,36 persen pada 2014 menjadi hanya rata 3 persen sepanjang 2015-2021.
Angka terendah dalam sejarah. Dan jika terjadi sedikit gejolak ekonomi, bansos menjadi jaring penyelamatnya.
Dan jika ada waktu menengok riset, ada banyak yang menunjukkan kaitan situasi ekonomi dengan approval rating (Henry c. Kenski, 1977; Kristen R. Monroe, 1978, George Edwards, 1985).
Bagi mayoritas rakyat, itu lebih penting bagi kehidupan mereka ketimbang isu HAM dan demokrasi.
Di sisi lain, janji perubahan masih abstrak. Ada banyak hal bagus yang ditawarkan perubahan: pembangunan bottom-up, penguatan demokrasi, perlindungan bagi perempuan, penghormatan terhadap lingkungan, perbaikan kualitas layanan publik, dll.
Namun, janji itu hanya menarik bagi sebagian besar kelas menengah yang memang dikategorikan oleh ekonom Chatib Basri sebagai “pengeluh profesional” (professional complainer).
Pengeluh profesional ini sudah selesai dengan persoalan kebutuhan dasar, sehingga tuntutan mereka sudah melompat pada kualitas: pemerintahan bersih, demokrasi partisipatif, pelayanan publik inklusif, kesetaraan upah berdasarkan gender, dan lain-lain.
Faktor kedua yang menyumbang pada kemenangan Prabowo-Gibran adalah absennya oposisi selama satu dekade pemerintahan Jokowi.
Saya pernah menulis di Kompas.com, bahwa salah satu faktor penyumbang approval rating pemerintahan Jokowi sangat tinggi adalah absennya check and balance di parlemen dan lemahnya oposisi masyarakat sipil.
Absennya oposisi di parlemen membuat hampir semua kebijakan Jokowi lolos tanpa perlawanan, mulai dari revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, revisi KUHP, UU IKN, dan lain-lain. Walhasil, tak ada narasi pembanding atas kebijakan-kebijakan tersebut.
Ada riuh di media sosial dan protes jalanan, tetapi tak cukup kuat mengimbangi narasi dominan yang disampaikan penguasa, koalisi pendukungnya, dan dukungan media massa.
Polirasasi politik dari dua kali Pilpres (2014 dan 2019) juga menebalkan fanatisme. Fanatisme yang berujung pada pengultusan sosok politisi telah membutakan mata pikiran untuk berpikir cerdas dan kritis.
Di Pilpres ini, banyak pendukung Jokowi yang berada di barisan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sekarang mereka merasakan kenyataan politik yang pahit ketika melihat pemilu yang penuh intervensi penguasa, dugaan pelibatan aparat, dan guyuran bansos.
Namun, di masa lampau, mereka punya andil menihilkan suara-suara kritis terhadap kebijakan Jokowi.
Namun, pemilu 2024 bukan hanya kisah tentang kekalahan, tetapi juga sebuah investasi politik yang memperkaya perjuangan demokrasi di masa mendatang.
Investasi politik terpenting dari pemilu kemarin adalah bangkitnya panggung-panggung demokrasi deliberatif, seperti Desak Anies, Slepet Imin, dan Tabrak Prof.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik elektoral Indonesia, panggung politik telah menarik partisipasi warga, terutama anak muda, secara sukarela dan bersemangat.
Mereka yang selama ini terabaikan oleh politik, dari anak muda, aktivis gerakan, hingga kelompok subaltern, akhirnya punya ruang untuk berkeluh-kesah dan menyampaikan aspirasi politiknya di hadapan Capres-Cawapres.
Gaya kampanye politik baru dan kekinian ini perlu diteruskan dan diperluas. Selain untuk sarana edukasi politik, panggung itu bisa menjadi ruang bagi berbagai ekspresi politik warga dan berpotensi memunculkan wacana politik tandingan. Inilah esensi Republikanisme.
Selain itu, merujuk pada hasil quick count Litbang Kompas per 15 Februari 2024, dari 60,90 persen sampel yang masuk, peluang bagi partai-partai pengusung paslon 1 (PKB, Nasdem, dan PKS) dan 3 (PDIP dan PPP) cukup besar untuk mewarnai dinamika politik parlemen.
Saya harap, parpol-parpol itu bisa menjadi oposisi yang tangguh, sehingga ada check and balance dan sekaligus menyuguhkan wacana politik tandingan.
Selanjutnya, saya berharap masyarakat sipil yang kritis bisa menjadi oposisi yang signifikan, baik lewat protes jalanan maupun ruang-ruang diskusi publik.
Kita berharap kelas menengah kritis (professional complainer) tak hanya berhenti dengan menumpahkan keresahan dan kemarahan di media sosial. Sudah saatnya keresahan dan kemarahan itu punya artikulasi politik.
Sebab, jika keresahan dan kemarahan itu hanya menjadi kemarahan personal dan tertumpah di media sosial, maka itu gampang menguap.
Orang-orang yang marah harus berhimpun dan berorganisasi, dan segala ekspresi kemarahannya berbuah menjadi manifesto dan program-program politik.
Energi kreatif anak-anak muda, seperti yang ditunjukkan fenomena “AniesBubble” dan “fandom Humanies”, yang telah mewarnai kampanye pemilu dengan kampanye menarik seperti videotron dan fansite keren (Haveaniesday.com), bisa berlanjut dan beriringan jalan dengan penguatan kekuatan politik alternatif anak-anak muda.
Pemilu 2024 kemarin, hanya satu pertempuran. Ada banyak pertempuran lain di masa depan dalam perjuangan mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan demokratis. We may have lost the battle, but not the war. (kompas)
Penulis: Rudi Hartono, Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute