Foto: rapat paripurna DPR

Jakarta – Undang-Undang (UU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR kemarin. Meski begitu, Jakarta masih berstatus ibu kota negara hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keppres perpindahan IKN ke Nusantara.

Adapun pengaturan soal itu termuat dalam Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Dalam UU DKJ, ketentuan itu termaktub pada Pasal 63.

Pasal 63 UU DKJ berbunyi:

Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan penetapan Keputusan Presiden mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anggota Baleg DPR Herman Khaeron membenarkan bahwa Jakarta masih berstatus sebagai DKI hingga Keppres perpindahan ibu kota diterbitkan Jokowi.

“Ya betul,” kata Herman kepada wartawan, Jumat (29/3/2024).

Herman mengatakan UU DKJ yang baru disahkan itu baru berlaku usai diundangkan oleh Istana.

“Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan,” katanya.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian menegaskan status ibu kota di Jakarta akan hilang seiring diterbitkannya keppres tersebut. Dengan demikian, status ibu kota di Nusantara juga diakui secara de jure dan de facto.

“Jadi, ketika keppres diterbitkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN, saat itulah ibu kota telah berpindah de jure dan de facto di IKN,” kata Tito di ruang rapat Baleg, gedung Nusantara I MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3).

Tolak RUU DKJ, PKS Usul Jakarta Jadi Ibu Kota Legislatif

PKS menolak RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna hari ini. Anggota DPR Fraksi PKS Hermanto menginterupsi rapat menyatakan pihaknya mengusulkan Jakarta menjadi ibu kota legislatif.

Rapat paripurna digelar di gedung Nusantara II kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2024). Hermanto menyampaikan proses yang diikutinya selama pembahasan RUU DKJ di Baleg DPR bersama pemerintah.

“Kami memahami ada pembahasan-pembahasan di Panja (Panitia Kerja) dan pleno Baleg, tapi dalam pleno pembahasan itu ada usulan bahwa ada predikat yang harus diberikan terhadap Jakarta ini sebagai daerah khusus predikat itu. Kami mengusulkan supaya Jakarta ini diberi nama ibu kota legislatif,” kata Hermanto.

Hermanto menjabarkan alasannya. Menurut dia, Jakarta memiliki nilai historis yang kuat. Dia mengatakan mobilitas masyarakat di Jakarta juga tinggi.

“Kenapa kami mengusulkan itu? Karena ada berapa hal yang mendukung itu, pertama Jakarta adalah ibu kota yang memiliki histori yang sangat kuat. Yang kedua, akses transportasi ke Jakarta ini sangat kaya dan sangat lengkap, laut, udara, darat, bisa dicapai ke Jakarta ini,” katanya.

Selain itu, kata Hermanto, kompleks DPR dapat menjadi situs tempat masyarakat menyampaikan aspirasinya kepada wakil rakyat.

“Kemudian, ketiga, mobilitas masyarakatnya sangat tinggi, suatu saat bila ada aspirasi tiba di kompleks Senayan ini menyampaikan pendapatnya secara baik. Keempat, kompleks DPR ini adalah lebih efisien, lebih efektif kalau kita melakukan proses pembuatan atau sebagai kota yang kita sebut kota legislatif yang memproduksi UU sehingga di sinilah kita ingin nanti bahwa DKI masih punya label yang khusus,” lanjut Hermanto.

Seperti diketahui, DPR mengesahkan RUU DKJ menjadi UU dalam rapat paripurna di gedung Nusantara II kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3). Rapat dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Tampak hadir Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk F Paulus, dan Rachmat Gobel.

Dari 9 fraksi, 8 di antaranya menyepakati RUU DKJ untuk dibawa ke rapat paripurna, sedangkan PKS menolak. PKS menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang menyatakan menolak RUU DKJ saat rapat pleno Baleg DPR bersama pemerintah. (fca/rfs/dhn/detik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer