video pernikahan anak di bawah umur asal Lombok Tengah, viral di merdia social. (potongan video yang beredar di media sosial)

Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, diberikan sanksi tegas agar menimbulkan efek jera.

“Hasil pengawasan kami, yang memfasilitasi perkawinan anak ini adalah penghulu-penghulu desa ya,” kata Komisioner KPAI Ai Rahmayanti merespons pernikahan anak usia 12 tahun berstatus pelajar SD di Lombok, saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (26/5/2025)

“Karena memang tidak melalui pengadilan, tidak mengajukan dispensasi kawin, tapi menikah di bawah tangan atau nikah siri yang dinikahkan atau difasilitasi oleh penghulu desa,” imbuhnya.

Menurut Rahmayanti, sebagian penghulu desa tersebut merupakan bagian dari perangkat desa karena memiliki Surat Keputusan (SK) pengangkatan dari pemerintah desa.

Karena itu, KPAI mendorong agar pemerintah desa juga diberi peringatan dan turut bertanggung jawab atas terjadinya praktik pernikahan anak tersebut.

“Nah, di beberapa desa, penghulu desa ini ter-SK-kan, artinya masuk kepada unsur perangkat desa. Nah, ketika ini terbukti maka ini juga harus ada teguran juga kepada pemerintah desa untuk melakukan pencegahan perkawinan anak,” kata Rahmayanti.

Rahmayanti menambahkan, sanksi terhadap pihak yang memfasilitasi pernikahan anak harus disesuaikan dengan konteks kasus yang terjadi.

Namun, dia menekankan pentingnya penguatan sistem perlindungan anak yang komprehensif di Lombok.

“Tentunya ini disesuaikan dengan konteks kasusnya dulu ya. Tapi jelas harus ada sistem yang membuat perlindungan anak. Artinya, dari sisi regulasinya harus ada, kemudian dari sisi pencegahannya harus ada,” jelas Rahmayanti.

Sebab, kata Rahmayanti, tingginya angka pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) disebabkan oleh masih lemahnya upaya pencegahan, baik dari sisi edukasi kepada orangtua, masyarakat, pemerintah daerah serta tokoh adat dan agama setempat.

“Kenapa perkawinan anak di NTB masih tinggi? Tentunya ini pencegahannya yang belum masif. Bagaimana orangtua teredukasi, bagaimana masyarakat juga teredukasi. Tentunya ini butuh keterlibatan tokoh adat ya, karena memang di sana faktor yang paling tinggi adalah adat,” kata Rahmayanti.

“Yang kedua adalah tokoh agama dan juga tokoh masyarakat perlu dilibatkan dalam program-program pencegahan,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, video pernikahan anak di bawah umur ini menjadi viral di media sosial karena tingkah pengantin perempuan yang terlihat kekanak-kanakan dan sulit mengontrol emosinya.

Terkait hal ini, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram telah melaporkan kasus viralnya pernikahan anak di Lombok ke Polres Lombok Tengah, termasuk pihak-pihak yang memfasilitasi perkawinan tersebut.

Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur dapat dipidana dengan ancaman hukuman 9 tahun.

Larangan perkawinan usia anak diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Sementara itu, Kepala Dusun Petak Daye I, Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Syarifudin, meminta maaf atas kegaduhan yang muncul terkait viralnya video pernikahan anak di Lombok.

“Saya sebagai Kepala Dusun memohon maaf atas kegaduhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun sudah kita berupaya semaksimal mungkin, namun apalah daya kami,” kata Syarifudin saat ditemui di kediamannya, Sabtu (24/5/2025).

Syarifudin menjelaskan bahwa tiga minggu sebelum video pernikahan tersebut viral, pihaknya bersama Kepala Desa telah berusaha memisahkan kedua pengantin, setelah pengantin pria melarikan pengantin perempuan, yang merupakan bagian dari tradisi merariq.

Pengantin perempuan berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP, sedangkan pengantin pria berusia 17 tahun dan sudah putus sekolah saat kelas 2 SMK.

Namun, setelah dipisahkan, pengantin pria kembali melarikan pengantin perempuan dan membawa kabur ke Pulau Sumbawa selama dua hari dua malam.

“Keduanya kabur ke Sumbawa untuk menghindar supaya tidak dipisahkan lagi,” jelas Syarifudin.

Setelah kembali ke Lombok, Kepala Dusun berusaha memberitahukan pihak perempuan bahwa anaknya akan dipisahkan dan dikembalikan kepada orang tuanya.

Namun, orang tua pengantin perempuan menolak karena anak mereka telah dibawa kabur.

Pernikahan tersebut akhirnya terjadi dengan persetujuan orang tua.

“Kita sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memisahkan, tapi keluarga perempuan tidak menerima karena sudah dibawa ke Sumbawa dua hari dua malam,” ungkap Syarifudin.

Syarifudin juga mengakui bahwa tradisi kawin culik masih kuat di masyarakat pedesaan Lombok.

“Kita di suku Sasak, lebih-lebih di bagian pedesaan, untuk perempuan yang dibawa ke luar, sanksinya memang harus nikah karena ada tradisi memaling atau kawin culik,” katanya.

Ia menegaskan bahwa tradisi ini merupakan warisan turun temurun yang masih melekat di masyarakat.

Meskipun telah berupaya untuk mencegah pernikahan dini dengan memisahkan kedua belah pihak, Syarifudin menyatakan bahwa masyarakat tetap ngotot untuk melanjutkan tradisi tersebut.

“Kita juga sudah mengimbau jauh-jauh hari untuk tidak menggunakan acara kesenian saat melakukan proses adat nyongkolan, tetapi seolah-olah tidak didengar,” keluhnya. (kompas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer