Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin (5/2/2024). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.)

HARGA beras yang terus mencatatkan rekor tertinggi dalam beberapa hari terakhir, belum tentu menguntungkan semua petani padi.

Dalam proporsi cukup besar, sebagian petani padi merupakan konsumen neto beras (net consumers) yang masih harus membeli beras dengan harga pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Produksi padi yang dihasilkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras mereka.

Hasil perhitungan Basri & Patunru (2009) menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa pada 2004 sekitar 6,2 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi sekaligus konsumen neto beras.

Sementara itu, pada saat sama sekitar 24,6 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi. Itu artinya, sekitar seperempat rumah tangga petani padi di Indonesia juga merupakan konsumen neto beras.

Dengan mencermati perkembangan yang dipotret melalui hasil Sensus Pertanian dalam dua dekade terakhir, besar kemungkinan proporsi petani padi yang juga konsumen neto beras lebih besar lagi untuk kondisi saat ini.

Mudah diduga, petani padi yang merupakan konsumen neto beras adalah petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan sawah relatif sempit.

Kondisi ini mengakibatkan budidaya tanaman padi yang dijalankan cenderung subsisten, tidak efisien, dan tidak memenuhi skala ekonomi menguntungkan.

Sensus Pertanian 2013 mencatat, rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga pertanian pengguna lahan sawah hanya sebesar 0,39 hektare per rumah tangga.

Dengan lahan sawah seluas itu, rata-rata luas tanaman padi yang dibudidayakan setiap rumah tangga hanya sekitar 0,67 hektare per tahun.

Lonjakan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari setengah hektare dalam sepuluh tahun terakhir, sebesar 2,64 juta rumah tangga (18,54 persen), memberi indikasi kuat bahwa rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai petani padi saat ini semakin menyusut, atau lebih rendah dari kondisi sepuluh tahun lalu.

Beban pengeluaran meningkat

Bagi petani padi sekaligus konsumen neto beras, harga beras yang tinggi dipastikan akan menambah beban pengeluran untuk konsumsi makanan.

Jika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, baik dari kegiatan budidaya pertanian maupun aktivitas di luar pertanian, daya beli mereka akan tergerus.

Selain itu, pendapatan yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan juga berkurang sehingga menyebabkan penurunan kesejahteraan.

Sayangnya, skala budidaya relatif kecil menjadikan pendapatan yang diperoleh dari budidaya tanaman padi juga relatif kecil.

Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata keuntungan per bulan yang diperoleh dari memproduksi padi pada satu hektare lahan sawah hanya sekitar Rp 1,24 juta pada 2017.

Bisa dibayangkan rata-rata keuntungan yang bakal diperoleh jika lahan sawah yang digarap kurang dari satu hektare.

Situasi seperti ini borpotensi menjadikan petani padi miskin menjadi semakin miskin dan yang hampir miskin jatuh miskin.

Pasalnya, berdasarkan catatan BPS, kontribusi pengeluaran untuk beras terhadap garis kemiskinan relatif besar, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, yakni masing-masing mencapai 19,35 persen dan 23,73 persen.

Itu artinya, kenaikan harga beras yang tinggi sangat besar pengaruhnya dalam mendorong kenaikan beban pengeluaran penduduk miskin dan hampir miskin, yang boleh jadi di antaranya merupakan petani padi.

Data BPS juga memperlihatkan bahwa sekitar 48,86 persen rumah tangga miskin pada 2023 menggantungkan hidup pada sektor pertanian atau rumah tangga pertanian.

Sementara itu, hasil Sensus Pertanian 2023 mencatat bahwa jumlah rumah tangga pertanian yang mengusahakan tanaman padi mencapai 15,55 juta rumah tangga atau mencakup sekitar 55 persen dari total 28,42 juta rumah tangga pertanian.

Itu artinya, sebagian rumah tangga miskin di sektor pertanian dapat dipastikan merupakan rumah tangga petani padi.

Hanya menguntungkan petani besar

Sejalan dengan kenaikan harga beras, data BPS memperlihatkan bahwa harga gabah di tingkat petani juga mengalami kenaikan.

Pada Januari 2024, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani tercatat mengalami kenaikan, baik secara tahunan (18,64 persen) maupun bulanan (2,97 persen).

Kenaikan tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan petani padi dari nilai produksi gabah yang dihasilkan.

Hal ini tecermin dari peningkatan Nilai Tukar Usaha Pertanian tanaman pangan sebesar 0,28 persen pada Januari 2024 dibandingkan Desember 2023. Peningkatan tersebut utamanya disumbang kenaikan harga gabah.

Namun demikian, kenaikan yang terjadi merupakan gambaran agregat. Jika dilihat lebih dalam, pada kelompok petani padi skala kecil dan konsumen neto beras yang terjadi bisa sebaliknya.

Bagi petani kecil dengan produksi terbatas, peningkatan beban pengeluaran sebagai imbas dari kenaikan harga beras bisa jadi tidak dapat dikompensasi kenaikan pendapatan dari peningkatan harga gabah.

Dengan kata lain, keuntungan dari kenaikan harga beras sebetulnya lebih banyak dinikmati oleh petani padi skala besar atau petani padi yang merupakan produsen neto (net-producers).

Selain itu, margin yang cukup besar antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen akan menguntungkan petani yang memiliki mesin penggilingan padi dan/atau merangkap sebagai pedagang beras.

Karena itu, narasi bahwa harga beras yang tinggi akan menguntungkan petani harus disikapi secara hati-hati, bahkan dihindari.

Harga beras yang mahal bisa jadi hanya menguntungkan petani besar dan pada saat yang sama justru meningkatkan kejadian dan keparahan kemiskinan pada kelompok petani kecil akibat meningkatnya beban pengeluaran tanpa dibarengi dengan peningkatan pendapatan sepadan. (kompas)

Penulis: Kadir Ruslan Analis Data di BPS, Pengajar di Politeknik Statistika STIS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer