Mataram – Kasus perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih tinggi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mencatat sebanyak 1.870 anak mengajukan dispensasi nikah sepanjang 2021-2022. Data itu dihimpun dari sepuluh kabupaten/kota di provinsi itu.
“Ini yang di luar dispensasi (pernikahan) kami kesulitan mencari di mana,” tutur Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Wismaningsih Drajadiah kepada wartawan, Selasa (7/2/2023).
Drajadiah menyebut data pernikahan anak di NTB terus meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2017, angka pernikahan anak mencapai 16,02 persen atau berada di urutan ke-10 secara nasional.
Setahun kemudian angka perkawinan anak sempat turun menjadi 15,48 persen dan membuat NTB menempati urutan ketujuh secara nasional. Pada 2019, angka pernikahan anak di NTB mencapai 16,016 persen. “Nah, 2020 itu ada di angka 16,61 naik menjadi peringkat keempat nasional,” ungkap Drajadiah.
Tingginya angka perkawinan anak di NTB juga diperkuat oleh data Save the Children Indonesia. Organisasi itu mencatat 311 pengajuan dispensasi nikah pada 2019 di NTB. Angka dispensasi itu meningkat menjadi 803 permohonan setahun kemudian.
“Data di atas menunjukkan rata-rata, ada tambahan satu atau dua anak yang dinikahkan setiap hari,” kata Chief Advocacy Campaign Communication Media Save the Children Indonesia Troy Pantouw saat acara Diseminasi Laporan Penelitian Kualitatif tentang Perkawinan Anak, Pernikahan Dini, dan Kawin Paksa di Nusa Tenggara Barat, Jumat (27/1/2023).
Troy menjelaskan data yang dihimpun dalam kurun waktu satu tahun tersebut bisa saja belum menunjukkan keseluruhan kasus. Sebab, praktik pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu di kampung-kampung atau nikah di bawah tangan belum terdata dengan baik.
Penyebab Tingginya Pernikahan Anak di NTB
Tak mudah bagi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencegah perkawinan anak. Sebab, pernikahan anak di daerah tersebut disebabkan banyak faktor.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Wismaningsih Drajadiah membeberkan biang kerok perkawinan anak mulai dari pandemi Covid-19 hingga salahnya pola asuh anak.
Pandemi COVID-19
Kepala DP3AP2KB NTB Wismaningsih Drajadiah mengatakan saat pandemi COVID-19 hampir semua anak-anak di NTB tidak belajar di sekolah. Belajar secara online justru membuat bocah-bocah itu berkeluyuran.
“Banyak anak bilangnya belajar, tapi tidak tahu belajar atau tidak. Chatting dengan pacarnya kan tidak tahu, tahu-tahu sudah menikah,” kata Drajadiah, Selasa (7/2/2023).
Drajadiah mengungkapkan angka pernikahan anak di sepuluh kabupaten/kota di NTB mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir. Pada 2019, perkawinan anak mencapai 16,01 persen dan setahun kemudian angkanya naik menjadi 16,59 persen.
Pegiat anti perkawinan anak Minhatul Aulaq menyampaikan hal senada. Wabah COVID-19 menjadi salah satu penyebab tingginya pernikahan anak di NTB. Sebab, saat itu bocah-bocah lebih banyak di rumah dan bermain dengan ponselnya. Namun, tak sedikit juga yang malah keluyuran.
Minha mengungkapkan kasus pernikahan anak di Desa Jenggik Utara, Lombok Timur, cukup tinggi. Sejak 2019-2021 terdapat 10-14 perkawinan anak. Bahkan, sejak awal tahun ini sudah ada dua pernikahan anak di desa tempat tinggalnya itu.
Ekonomi dan Pendidikan Rendah
Minha mengatakan kondisi ekonomi orang tua yang rendah juga menyebabkan maraknya perkawinan anak di Desa Jenggik Utara. Apalagi, sebagian orang tua di desa itu bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). “Jadi kurang mendapatkan perhatian karena ekonomi mereka rendah,” tuturnya.
Terus terjadinya perkawinan anak juga disebabkan orang tua anak tersebut juga menikah saat belum dewasa. Walhasil, tanpa sadar banyak orang tua yang menelantarkan anaknya karena belum siap memiliki anak.
Pendidikan orang tua yang rendah juga membentuk cara pandang masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai hal lumrah. Banyak orang tua yang merestui anaknya menikah muda. Tak jarang, perkawinan anak ini menjadi seperti ajang perlombaan.
Minha sering menemui hal tersebut saat melakukan advokasi. “Masyarakat menganggap ini (menikah muda) hal biasa, daripada zina lebih baik menikah,” ungkap mahasiswi jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Hamzanwadi itu.
Pola Asuh Orang Tua
Sosiolog Universitas Negeri Mataram (Unram) Nila Kusuma mengungkapkan penyebab lain tingginya kasus pernikahan anak di NTB adalah pola asuh dalam keluarga. Orang tua yang sibuk bekerja jadi kurang mengawasi pergaulan dan keseharian anaknya.
“Jadi proses pengawasan ke anak tidak maksimal, sehingga menyebabkan anak melakukan perbuatan tidak benar,” kata Nila.
Langkah yang bisa diambil untuk menekan kasus pernikahan anak, Nila melanjutkan, adalah dengan memperbaiki pengetahuan tentang dampak pernikahan dini. Orang Tua diberikan pemahaman mengenai akibat menikahkan anaknya di usia muda.
Nila juga menyarankan kepada orang tua untuk melakukan pengawasan dan mengecek ponsel anak secara berkala. Tujuannya, mencegah anak menyimpan maupun menonton konten porno.
Pola asuh anak juga harus diperbaiki sejak usia 0-14 tahun. “Pada usia tersebut kita harus memberi pemahaman soal bahaya mengenal seks dan lawan jenis, termasuk bahaya menikah muda,” tutur Nila. (detik)