IBARAT mengobati pasien, apakah menunggu komplikasi akut baru ditangani dengan operasi, atau memilih menjaga kesehatan sebagai tindak preventif.
Dalam pernyataanya yang begitu menyedot perhatian publik, dalam rapat koordinasi inspektorat daerah seluruh indonesia, Rabu (25/1/2023), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal (Purn) Tito Karnavian meminta agar aparat penegak hukum (APH) tidak langsung menyelidiki kepala daerah, tapi cukup diberi pendampingan saja.
Tito menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana penegakan hukum adalah upaya terakhir.
“Mohon betul agar kepala-kepala daerah, para pimpinan daerah ini mereka diberikan pendampingan. Ini arahan Bapak Presiden, mengedepankan pendampingan, penegakan hukum sebagai upaya terakhir,” imbuh Tito.
Alasannya sangat tidak masuk akal, karena kekhawatiran para kepala daerah jadi takut dengan kehadiran aparat penegak hukum ketika akan mengeksekusi suatu program. Apalagi jika pemanggilannya untuk penyidikan bisa menjatuhkan moril para pejabat.
Menurut Mendagri, akan berdampak pada rakyat, karena Anggaran APBD akan mandek, pembangunan tidak jalan, program tidak berani dieksekusi karena takut terlihat kesalahan atau kejahatannya, dan kemudian ditangkap.
Apalagi seperti kita ketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang kerap mengusut kasus-kasus korupsi proyek yang biasanya melibatkan kepala daerah. Setelah sebelumnya peran KPK digembosi dan makin terlihat konyol dengan kasus Gubernur Papua Lukas Enembe, lalu muncul pernyataan bahwa negara yang “beradab” adalah negara tanpa Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan besar, seolah ada masalah dengan para kepala daerah sehingga pemerintah dalam hal ini Mendagri memberi peringatan itu. Atau memang ada masalah yang sedang berusaha ditutupi.
Apakah paradigmanya justru tidak terbalik? Jika memang kepala daerahnya tidak bermasalah, bersih, dan transparan mengurus program, justru kunjungan APH akan menaikan kredibilitasnya sebagai pejabat pemerintahan yang bersih.
Peran para APH membuktikan bahwa pemerintah berusaha untuk menjalankan skema Good Governance dan Good Government sebagai bentuk tindak pengawasan agar segala sesuatu berjalan di rel kebijakan.
Semakin cepat ditemukan adanya indikasi melencengnya kebijakan, akan semakin mudah diluruskan. Ibarat orang sakit, jangan menunggu jadi akut baru dioperasi. Jika tindakan kuratif masih bisa dijalankan, maka kenapa tidak dilakukan sebagai tindakan preventif.
Tahun politik
Di laman media sosial, pascamunculnya pernyataan Mendagri pada 23 Januari 2023, terus mendapat respons negatif. Mengapa? Banyak pihak mengaitkannya dengan tahun politik terutama soal dukung-mendukung peserta kontestasi dan kaitan dengan pendanaan pemilu 2024.
Lantas bagaimana dengan pelaksanaan tupoksi masing-masing instansi. Bukankah pendampingan itu menjadi wewenang pengacara, sedangkan penyelidikan sudah menjadi tugas penyidik.
Lalu apa gunanya keberadaan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian jika tak difungsikan secara optimal untuk menjaga kemungkinan timbulnya masalah di daerah? Pendampingan kepala daerah dapat dilakukan untuk mencegah korupsi akibat ketidakpahaman kepala daerah saat membuat dan mengeksekusi kebijakan.
Namun, jika korupsi atau tindak kejahatan sudah diniatkan dengan tujuan tertentu, tidak cukup hanya dengan pendampingan. Penyidikan itu sebenarnya menjadi sinyal bagi para kepala daerah agar bekerja lebih keras, dan jika memang melakukan kesalahan karena faktor moral hazard, mau tidak mau harus dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh pejabat lain yang lebih berkompeten.
Mendagri semestinya mengedepankan pengawasan internal kepala daerah guna mencegah praktik korupsi. Pengawasan internal itu dapat dikoneksikan dengan pengawasan internal di Kemendagri.
Dan ditindaklanjuti dengan koordinasi, konsolidasi dan sinergisasi dengan BPK, BPKB, KPK, Polri, sampai Kejaksaan untuk mengamankan uang pembangunan.
Apalagi seperti disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana soal fenomena korupsi politik di Indonesia. Sejak 2004 hingga 2022, setidaknya ada 178 kepala daerah diproses hukum oleh KPK.
Kepala daerah tak perlu merasa berkecil hati dan takut jika memang bekerja dengan jujur dan amanah. Apalagi sampai mengorbankan tersendatnya eksekusi program dan membuat penyerapan anggaran daerah hanya sampai 60 persen.
Jika benar hal itu terjadi, kita patut mempertanyakan kapasitas kepala daerahnya.
Penulis: Hanif Sofyan/Wiraswasta