
Memang menyakitkan ketika pondok pesantren itu dilecehkan. Apalagi yang melakukannya sebuah media besar. Mari kita lindas, eh salah, kupas kemarahan santri yang menyerukan tagar #BoikotTrans7 sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Hari itu, 12 Oktober 2025, sejarah absurd dunia pertelevisian Indonesia tercipta. Sebuah tayangan Xpose di Trans7, yang mungkin diniatkan “edukatif,” justru berubah menjadi drama epik penghinaan berjamaah.
Dalam salah satu narasinya, seorang narator dengan suara yang penuh percaya diri menyebut, “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” dan sejak detik itu, Indonesia meledak.
Bayangkan, wak! Jutaan santri dari Sabang sampai Merauke, yang biasa tenang menyalin kitab kuning dan menghafal Alfiyah, tiba-tiba berubah menjadi pasukan digital dengan jempol secepat doa istighfar.
Tagar #BoikotTrans7 langsung melesat ke trending topic, melibas gosip selebritas dan politikus dalam waktu kurang dari tiga jam. Dunia maya berubah jadi lautan santri. Dari alumni Tebuireng, Gontor, Lirboyo, sampai pesantren kecil di Kalimantan, semuanya satu suara, “Trans7, tobatlah sebelum diserbu!”
Tentu saja, ini bukan sekadar tentang susu. Ini soal martabat. Di pesantren, tradisi seperti minum sambil jongkok adalah simbol adab dan kesopanan, bukan kelucuan untuk ditertawakan.
Tapi redaksi Xpose mungkin lupa, di negeri ini, yang tampak sederhana bisa meledak jadi revolusi digital kalau menyentuh sesuatu yang sakral. Pesantren, bagi Indonesia, adalah benteng moral terakhir yang masih berdiri di tengah banjir sinetron dan podcast galau.
Reaksi publik luar biasa. Akun @SantriMelawan di Instagram mengunggah video yang menegaskan, “Boikot Trans7 yang telah menghina kiai dan santri!”
Dalam waktu satu jam, unggahan itu diserbu lebih dari seratus ribu komentar. Grup WhatsApp alumni pesantren meledak, Telegram penuh dengan poster digital bertuliskan “Santri Tidak Akan Diam.” Bahkan beberapa anggota DPR ikut nimbrung, mungkin sambil berpikir, “Akhirnya kita punya isu yang bisa disepakati bersama selain bansos.”
Tokoh-tokoh besar pun angkat bicara. Gus Miftah, KH. Cholil Nafis, dan lembaga Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU menuntut Trans7 meminta maaf secara terbuka. Mereka menyebut tayangan itu bukan sekadar salah ucap, tapi bentuk pelecehan simbolik terhadap lembaga pendidikan Islam. Bahkan, ada yang menyebut, ini sama parahnya dengan menghina ibu kandung di depan umum, bedanya, yang tersinggung kali ini seluruh keluarga pesantren.
Namun, hingga kini, Trans7 masih bungkam. Diamnya lebih sunyi dari malam Jumat tanpa pengajian. Mungkin sedang rapat darurat, atau mungkin masih sibuk menghitung berapa banyak pengiklan yang mulai ragu.
Di sisi lain, gerakan #BoikotTrans7 berubah menjadi simbol kesadaran baru. Publik kini bisa menegur media tanpa perlu surat pembaca. Santri yang dulu dianggap hanya sibuk mengaji, kini menjelma jadi kekuatan digital yang mampu mengguncang korporasi besar. Ini bukan sekadar protes, tapi renaissance moral versi Indonesia.
Inilah ironi terbesar, stasiun TV yang dulu mengaku “menghibur dan mencerdaskan bangsa” kini justru diajari makna adab oleh mereka yang sering diremehkan sebagai “kaum sarung.” Kalau saja redaksi Xpose mau datang langsung ke pesantren, mereka akan belajar satu hal penting, bahwa jongkok bukan tanda kebodohan, tapi cara agar tak sombong pada bumi.
So, wahai Trans7, dengarlah suara ribuan santri yang bergema di jagat maya. Cukup minta maaf dengan tulus, dan mungkin, minumlah segelas susu sambil jongkok, sebagai simbol kerendahan hati di hadapan umat yang telah kalian sakiti.
Karena di negeri ini, susu boleh tumpah, tapi harga diri santri tidak. (Rosadi Jamani)
(Penulis: Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar)