Ilustrasi DPR. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA )

Jakarta – Permohonan uji materi terkait syarat minimal pendidikan calon anggota DPR-RI kembali bergulir setelah sebelumnya tidak diterima Mahkamah Konstitusi (MK) pada putusan 133/PUU-XXIII/2025.

Dalam gugatan dengan nomor perkara 162/PUU-XXIII/2025, kali ini para pemohon meminta kembali kepada MK agar calon DPR-RI harus berpendidikan paling rendah sarjana atau S-1.

Para pemohon menilai, syarat pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA) bagi calon DPR-RI tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Padahal para penafsir undang-undang seperti hakim, jaksa, dan advokat justru harus memiliki gelar S1, bahkan spesifik di bidang hukum.

“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” kata pemohon 1 Nanda Yuniza dalam sidang yang digelar, Senin (22/9/2025).

Menurut pemohon, syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai.

Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.

Sebab itu, para pemohon merasa resah karena banyak produk legislasi DPR yang bermasalah dan berulang kali dibatalkan oleh MK.

Kondisi ini dinilai bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan bukti nyata bahwa rakyat dipaksa hidup di bawah bayang-bayang undang-undang yang rapuh, tidak konsisten, dan gagal memberikan perlindungan.

Untuk itu, para pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai Pasal 240 huruf e “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.

Pemohon dinasihati

Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai tentang dalil pemohon terkait lembaga legislatif. Saldi mengatakan, cara kerja parlemen di seluruh dunia bukan pada kemampuan, tetapi pada dukungan publik.

Ia juga menyoroti soal kerugian yang spesifik dialami oleh para pemohon sehingga meminta pasal tersebut diubah.

“Jika diperhatikan cara bekerjanya parlemen di dunia, karena ini jabatan bergantung pada dukungan publik, jadi tidak pada kemampuan. Ini soal kepercayaan orang. Jadi (untuk) kerugian potensi dan spesifik itu apa dan belum kelihatan di permohonan ini. Lalu mengapa pasal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, belum ada penjelasannya,” terang Wakil Ketua MK Saldi.

Sebelum menutup sidang, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan para pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan.

Sidang perkara hasil pemungutan suara ulang (PSU) Kota Palopo, Sulawesi Selatan, digugat di Mahkamah Konstitusi. Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang yang berlangsung Kamis (26/6/2025) tersebut menyampaikan bahwa agenda selanjutnya adalah mendengarkan keterangan saksi atau ahli, serta pembuktian lanjutan dari para pihak yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu (2/7/2025).

Sidang perkara hasil pemungutan suara ulang (PSU) Kota Palopo, Sulawesi Selatan, digugat di Mahkamah Konstitusi. Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang yang berlangsung Kamis (26/6/2025) tersebut menyampaikan bahwa agenda selanjutnya adalah mendengarkan keterangan saksi atau ahli, serta pembuktian lanjutan dari para pihak yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu (2/7/2025).(MUH. AMRAN AMIR)

Gugatan serupa pernah diputus MK

Adapun perkara terkait syarat anggota DPR minimal pendidikan S-1 pernah diputus MK pada Rabu (17/9/2025) lalu.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, para pemohon telah menguraikan kualifikasi pihaknya sebagai perseorangan warga negara, yaitu sebagai advokat dan mahasiswa serta telah menjelaskan adanya hak konstitusional yang dijamin UUD NRI Tahun 1945.

Namun para pemohon tidak memiliki anggapan kerugian akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan.

Dengan demikian, MK menyebut tidak ada keraguan untuk menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo.

“Meskipun Mahkamah berwenang dalam mengadili permohonan, namun karena para pemohon perkara tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para pemohon lebih lanjut,” tutur Enny. (kompas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer