Ilustrasi badminton. (annca/Pixabay)

Jakarta – Seluruh pemain yang bersedia diajak mengatur pertandingan dan menerima uang dari Hendra Tandjaya mendapat hukuman dari BWF. Hukuman untuk delapan atlet badminton Indonesia berupa sanksi seumur hidup dan denda.

Termasuk juga hukuman kepada Agripinna Prima Rahmanto Putra yang tidak melaporkan ajakan HT guna mengatur pertandingan ganda putra dan kalah di Vietnam Open pada 1 Agustus hingga 30 September 2017.

BWF sempat memberitahu PBSI guna mengajukan permintaan wawancara lain kepada ID, SP, FA, dan MM dalam periode 18 September 2017 hingga 12 Maret 2019. Akan tetapi keempatnya tidak pernah menghadiri wawancara.

Badan badminton dunia itu memberi tahu PBSI soal dakwaan pelanggaran peraturan BWF oleh delapan terdakwa itu berupa ‘pemberitahuan hukuman’. PBSI diberikan waktu hingga 10 Oktober 2019 untuk merespons, namun tidak ada respons dari PBSI.

Dalam tiga tahapan sejak 16 hingga 30 Oktober 2019, BWF mengingatkan PBSI terkait respons hukuman delapan terdakwa match fixing. Hanya saja tetap tidak ada tanggapan.

PBSI baru memberikan respons pada 6 November 2019 untuk pemberitahuan hukuman kepada HT, AY, SP, dan AP. Tetapi untuk ID (Ivandi Danang), MM (Mia Mawarti), FA (Fadila Afni), dan AD (Aditya Dwiantoro) tidak bisa dihubungi, termasuk klub lama mereka.

BWF terus mendesak PBSI agar mendapatkan konfirmasi mengenai empat terdakwa lain. Pada 5 Desember 2019 BWF meminta PSBI memenuhi kewajiban tersebut dan memastikan terdakwa mengetahui tuduhan itu serta menuntut mereka.

Ketika permasalahan itu belum selesai, pada Januari 2020 BWF mengetahui PBSI mengizinkan AP mengikuti 4 turnamen yang dilarang BWF.

Puncak dari kasus pengaturan skor dan perjudian ini, BWF mendakwa delapan pemain Indonesia terkait pelanggaran Kode BWF tentang Perjudian, Taruhan, dan, Hasil Pertandingan yang Tidak Teratur pada awal Januari 2021 berdasarkan keputusan Panel Pemeriksa Independen pada 22 Desember 2020.

Tiga dari delapan atlet badminton Indonesia dinilai BWF mengatur orang lain agar terlibat dalam perilaku tersebut dan telah diskors dari semua kegiatan yang berhubungan dengan bulu tangkis seumur hidup.

Sementara itu, lima orang lainnya diskors antara enam sampai 12 tahun dan denda masing-masing antara US$3 ribu dan US$12 ribu atau setara dengan Rp169 juta pada awal 2021.

Usai dakwaan itu PBSI mengutuk keras tindakan match fixing atau pengaturan skor oleh atlet Indonesia. Ketua Bidang Humas dan Media PBSI, Broto Happy, mengatakan tindakan pengaturan skor itu dilakukan oleh atlet yang berada di luar pelatnas pada 2017 lalu. Masalah ini jelas membuat malu nama Indonesia di kancah dunia.

“Mewakili PBSI jelas kami mengutuk keras perbuatan tindakan perjudian dan sejenisnya. Ini dilakukan bukan oleh atlet pelatnas, tapi hal ini tetap mencoreng bulutangkis Indonesia secara keseluruhan,” kata Broto, Jumat (8/1).

Kemudian pada Sabtu (30/3), BWF memperbarui keputusan tersebut dengan tetap memberikan sanksi hukuman seumur hidup kepada Hendra Tandjaya, Ivandi Danang, dan Androw Yunanto.

Kemudian BWF menghukum Sekartaji Putri dengan larangan melakoni kegiatan yang berkaitan dengan bulutangkis selama 12 tahun dan denda US$12 ribu atau setara dengan Rp190,5 juta.

Mia Mawarti dan Fadilla Afni dihukum larangan melakoni kegiatan yang berkaitan dengan bulu tangkis selama 10 tahun dan denda US$10 ribu.

Hukuman larangan berkegiatan di badminton selama 7 tahun dan denda US$7 ribu diberikan BWF kepada Aditya Dwiantoro.

Sedangkan Agripinna Prima Rahmanto dihukum larangan 6 tahun di badminton dengan denda US$3 ribu. Seluruh hukuman tersebut berlaku sejak 18 Januari 2020. (sry/CNNIndonesia.com).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer