Meski begitu formulasi pengupahan tersebut menuai pro dan kontra dari kalangan pengusaha dan buruh. Terdapat tiga kementerian yang merumuskan kebijakan dari sistem pengupahan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Tenaga KerjaHanif Dhakiri dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Rencananya peraturan pengupahan akan langsung diterapkan pada 2015, dan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 sudah dapat menggunakan formula baru tersebut.
Menteri Perindustrian Saleh Husin menegaskan dengan ditetapkannya formulasi pengupahan akan memberi kepastian adanya kenaikan upah pekerja dan kepastian mengenai besaran kenaikan upah setiap tahun. Dengan demikian, besaran kenaikan upah setiap tahun terukur dan pengusaha bisa membuat perencanaan keuangan perusahaan selama lima tahun ke depan.
Saleh menilai formulasi tersebut sudah ideal dikarenakan pengusaha bisa memprediksi pengeluaran dan menghitung kenaikan upah setiap tahunnya. Pengusaha pun dapat mengambil kebijakan yang tepat dalam rangka mensejahterakan karyawannya.
"Memang sejak awal kami ingin ada suatu kepastian, misalnya dari investor untuk berusaha, mereka bisa memprediksi dalam skala sekian tahun, baik di pengusaha atau pendapatan dari pada pekerja," ujar Saleh di Jakarta, Senin 19 Oktober 2015.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri menjelaskan UMP dihitung dari upah tahun berjalan, ditambah dengan inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, dengan begitu pengusaha dan buruh sudah memprediksi berapa upah yang akan naik setiap tahunnya. Dia mencontohkan UMP DKI Jakarta, misalnya, Rp2,7 juta dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi lima persen.
"Jadi Rp2,7 juta x 10 = Rp270,000. Maka upah 2016 sama dengan Rp2,7 juta ditambah Rp270,000," jelas Hanif. Dia juga menegaskan penentuan UMP berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) di masing-masing daerah, dan angka tersebut akan dievaluasi setiap lima tahun.
Hanif mengatakan, selain dua parameter, yakni inflasi dan pertumbuhan ekonomi, pengupahan buruh juga harus mempertimbangkan masa kerja, pendidikan, prestasi, dan kinerja buruh.
Pengusaha sambut baik, buruh menolak
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun mengapresiasi paket kebijakan ekonomi jilid IV, terutama terkait formula pengupahan ini. Dengan demikian para pengusaha tak lagi dihadapkan dengan penetapan upah yang tak pasti.
"Dalam paket ini, diperhatikan daya saing usaha, tentang format penghitungan upah dan berlaku lima tahun. Ini positif," kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional, Chris Kanter, Jakarta, Senin 19 Oktober 2015.
Chris mengatakan dunia usaha tak lagi pusing dengan penetapan upah yang tak menentu. Dia menceritakan, dulunya, dunia usaha dihadapkan dengan kenaikan upah hingga puluhan persen. "Kemarin kami dihadapkan dengan kenaikan puluhan persen dan unpredictable (tak terduga)," kata dia.
Sementara, serikat buruh tetap menolak formulasi pengupahan dalam paket ekonomi jilid IV. Ada beberapa hal yang membuat mereka menolak formula perhitungan upah dari pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, mengatakan ada empat hal yang membuat buruh menolaknya.
Pertama, dengan adanya formula baru, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serikat buruh tak lagi dilibatkan dalam penentuan upah minimum. Sebab, faktor kebutuhan hidup layak tak dimasukkan ke dalam perhitungan pengupahan.
"Negara merampas hak berunding upah minimum untuk serikat buruh," kata dia.
Kedua, basis upah minimum di Indonesia masih relatif rendah. Misalnya Jakarta, kata Said, UMP Jakarta, sebesar Rp2,7 juta. Upah ini kalah dengan upah minimum di Manila (Filipina) yang sebesar Rp3,6 juta, Bangkok (Thailand) Rp3,4 juta, Kuala Lumpur (Malaysia) Rp3,2 juta, bahkan Singapura Rp10 juta.
"Kalau tiap tahun naiknya dihitung dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi, itu tidak lebih dari 10 persen," kata dia.
Ketiga, Said menilai paket kebijakan ekonomi IV menekan buruh dengan memberikan upah murah. "Upah dimurahin. Kami tidak mau. Pengusaha itu rakus, mau semuanya. Giliran (kebijakan untuk buruh), kami ditekan lagi," kata dia.
Keempat, paket kebijakan IV melanggar termin konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam dua undang-udang itu, disebutkan bahwa instrumen yang menyatakan hidup layak, yaitu harga-harga kebutuhan yang riil yang disurvei di pasar, lalu harganya dirundingkan dengan Dewan Pengupahan untuk menetapkan nilai upah minimum.
"Sekarang KHL dihapus. Formulasinya menggunakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," kata dia.
Oleh karena itu serikat buruh meminta pemerintah untuk menghentikan pembahasan RPP tentang pengupahan. Mereka pun akan menggelar aksi mogok nasional untuk menolak pembahasan aturan itu pada awal November nanti.
"Kami juga ingin berunding tripartit, yaitu pemerintah, serikat buruh, dan pengusaha. Formula mana yang ingin digunakan supaya pengusaha dan pekerja diuntungkan," kata dia.
Said menginginkan agar komponen 84 item KHL dimasukkan dalam formula pengupahan tahun depan. Komponen KHL terdiri dari makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.
Libatkan BPS
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai formulasi pengupahan yang digunakan oleh pemerintah sudah ideal. Menurutnya, inflasi akan menjamin upah riil, sementara pertumbuhan ekonomi sudah memperhitungkan kontribusi pertumbuhan tenaga kerja.
"Formulasi upah setiap tahunnya itu sudah betul dan akan menjadi acuan buat pengusaha," katanya ketika dihubungi VIVA.co.id di Jakarta, Senin 19 Oktober 2015.
Enny mengatakan bahwa formulasi pengupahan yang dihitung dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi sudah bisa menjawab kebutuhan pengusaha dalam penetapan kenaikan upah.
Tapi, persoalannya adalah landasan perhitungan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan hidup layak belum diterima buruh. "KHL belum diterima oleh buruh. Buruh menuntut standardisasi KHL sesuai hidup layak," kata dia.
Enny mengatakan bahwa hal ini tak menjamin buruh tak lagi turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah. "Kalau tuntutan buruh tidak diakomodasi, tidak ada jaminan buruh tidak melakukan demonstrasi," kata dia.
Untuk itu, pihaknya menyarankan agar penghitungan KHL diambil alih pemerintah dan penghitungan dilakukan oleh lembaga independen, misalnya Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini bertujuan agar penghitungan KHL bisa dilakukan secara objektif dan transparan.
"Penghitungan upah harus dilaksanakan oleh lembaga independen. Dewan Pengupahan dinilai tidak objektif karena hasilnya selalu ditolak buruh," kata dia.
Nantinya, BPS inilah yang mensurvei KHL. Tentunya perhitungan ini mempertimbangkan beberapa hal, yaitu tingkat produktivitas daerah, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan biaya hidup.
"Kalau hasilnya objektif, nanti hasilnya diterima oleh buruh," kata dia.
Senada dengan Enny, Pengamat Ekonom Purbaya Yudhi Sadewa mengharapkan survei KHL dilakukan oleh lembaga independen yang tidak memihak baik buruh maupun pengusaha.
"Formula Itu kan udah lama dijalankan dari zaman pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mungkin belum dilaksanakan dengan baik di seluruh provinsi dan sekarang sudah mau dikuatkan implementasinya," ujarnya.
Purbaya juga setuju lembaga yang melakukan survei mengenai kelayakan hidup layak adalah BPS.
"Selama itu disetujui kedua pihak dengan baik tidak ada masalah. Seharusnya survei dilakukan oleh lembaga independen buruh atau pengusaha, seperti BPS. Selama itu dilakukan BPS secara konsisten tidak masalah," katanya.
Dia mengatakan, kebijakan ini harus diimplementasikan dengan konsisten dan transparan agar tidak menimbulkan kembali gejolak di kalangan buruh. (viva)