Jakarta – Ada momen menarik di balik sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran saling lempar sindiran dengan Mahfud Md selaku cawapres nomor urut 3 sekaligus pihak pemohon di MK.
Mahfud awalnya menyebut Yusril dengan sebutan Maha Guru. Hal itu disampaikan Mahfud saat menyampaikan dalil gugatannya sebagai pemohon gugatan sengketa pilpres di MK pada Rabu (27/3/2024).
Cawapres dari Ganjar Pranowo ini mengutip pernyataan Yusril terkait wewenang MK. Yusril, kata Mahfud, pernah mengatakan MK untuk tidak menjadi mahkamah kalkulator. Mahfud lalu menjelaskan kembali pernyataan tersebut dengan menyematkan kata Maha Guru untuk Yusril.
“Mahaguru Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra saat ikut menjadi Ahli pada sengketa hasil Pemilu 2014 dan bersaksi di MK seperti tersiar luas pada 15 Juli 2014 mengatakan bahwa penilaian atas proses Pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan MK. Pandangan ini bukan pandangan lama melainkan pandangan yang selalu baru yang justru terus berkembang. Menjadikan MK hanya sekedar Mahkamah Kalkulator itulah yag justru merupakan pandangan lama yang sudah diperbarui,” ujar Mahfud.
“Di berbagai negara, judicial activism banyak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung atas terjadinya kesalahan dan kecurangan oleh penyelenggara pemilu. Beberapa negara yang hasil pemilunya pernah dibatalkan oleh Mahkamah, misalnya, Austria, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, dan Thailand. MK Belarusia dinilai sebagai “a sham institution” atau institusi pengadilan palsu karena diintervensi oleh Pemerintah,” sambung Mahfud.
Yusril Sebut Pernyataan Mahfud Tidak Relevan
Yusril lalu membalas pernyataan dari Mahfud tersebut saat memberikan jawaban selaku kuasa hukum Prabowo-Gibran, pihak terkait dari gugatan sengketa pilpres di MK pada Kamis (28/3/2024). Yusril awalnya menjelaskan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Mengenai satu statement yang disampaikan oleh Pak Mahfud kami ingin menyatakan perlu kami ingatkan kembali bahwa UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dengan segala perubahannya telah mengatur secara rinci berkenaan dengan eksistensi dan kewenangan badan-badan lembaga menyelesaikan perselisihan berkaitan dengan pemilu. Lembaga-lembaga itu ada yang merupakan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Gakumdu, Pengadilan Tata Usaha Negara, Bawaslu dan ujungnya adalah Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan pemilu,” kata Yusril di MK.
Yusril mengatakan pernyataan Mahfud yang mengutipnya sebagai Maha Guru karena merujuk kepada salah satu pernyataannya yang pernah mengatakan MK untuk tidak menjadi mahkamah kalkulator. Dia menjelaskan pernyataan itu diucapkannya pada tahun 2014 di mana UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu belum lahir.
“Dengan adanya pengaturan tentang pembagian kewenangan untuk menangani sengketa pemilu melalui Bawaslu, PTUN, dan Mahkamah Agung dalam sengketa administratif dan sengketa hasil oleh Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2017 maka tidak relevan Profesor Mahfud mengutip pendapat “Maha Guru HTN Profesor Yusril Ihza Mahendra’ yang pernah mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi seyogyanya tidak menjadi mahkamah kalkulator, tapi mahkamah seharusnya berperan memeriksa pelaksana pemilu secara substantif sejak dari proses pelaksanaan,” katanya.
Menurut Yusril, pendapat itu benar dalam konteks waktu di tahun 2014. Namun, pernyataannya itu tidak lagi menjadi relevan untuk dikutip dalam konteks waktu saat ini.
“Pendapat itu ada benarnya karena diucapkan pada tahun 2014, 3 tahun sebelum berlakunya Uu nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang membagi kewenangan kasus-kasus yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu sebab itu pendapat tersebut dapat dikategorikan seperti dikenal dalam Ilmu fiqih qaul qadim atau pendapat yang dibatalkan dengan pendapat baru karena norma-norma hukum mendasarinya juga telah berubah,” terang Yusril.
“Jadi tidak relevan mengutip pendapat tahun 2014 untuk keadaan sekarang karena norma hukum positif telah berubah,” sambungnya. (ygs/whn/detik).