Jakarta – Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi, dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee, menggugat pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK mengubah pasal tersebut agar ada batasan waktu yang jelas soal perhitungan usia calon kepala daerah.
Dilihat dari situs resmi MK, Rabu (19/6/2024), gugatan itu diterima MK pada 11 Juni 2024. Permohonan terdaftar dengan nomor 69/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024.
Berikut isi pasal yang digugat:
Pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016
e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
Dalam berkas permohonannya, pemohon menilai pasal itu harus dimaknai bahwa perhitungan syarat minimal usia calon kepala daerah harus dilakukan saat penetapan pasangan calon. Pemohon juga menilai PKPU nomor 9 tahun 2020 yang mengatur hal tersebut sudah tepat.
Diketahui, isi PKPU tersebut diubah Mahkamah Agung (MA) sehingga perhitungan syarat usia calon kepala daerah baru dilakukan saat pelantikan calon terpilih. Pemohon pun mengungkit soal putusan MA itu dalam permohonannya.
Berikut petitum pemohon:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). (haf/dhndetik).