Jakarta – Anggota badan ad hoc/petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia sudah mencapai sedikitnya 125 orang, baik dari sisi petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terhitung sejak pemungutan suara 14 Februari 2024.
Bawaslu mencatat penambahan pengawas yang meninggal pada pekan ini.
“Sampai pekan ini ada penambahan sekitar 2 atau 3 (pengawas yang meninggal). Berarti sekitar 30 orang (pengawas yang meninggal),” kata Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, kepada wartawan pada Senin (26/2/2024).
Bagja menjelaskan, sekitar 30 petugas yang tutup usia itu merupakan pengawas TPS, Panitia Pengawas Kelurahan/Desa (PKD), dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam).
Ia menyebutkan bahwa mereka gugur karena faktor kelelahan dalam menjalani tugas. Ia mengamini perlunya evaluasi beban kerja petugas untuk penyelenggaraan pemilu selanjutnya.
Sementara itu, dari sisi KPU, petugas pemilu yang wafat jauh lebih banyak.
Per Jumat (23/2/2024), KPU RI menyebut 60 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan 30 petugas ketertiban TPS tutup usia.
Sebelumnya, KPU RI juga sudah mengumumkan 4 Panitia Pemungutan Suara (PPS/tingkat kelurahan) dan 1 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) meninggal dunia.
Pemerintah menyiapkan santunan untuk para petugas pemilu yang tutup usia sebesar Rp 36 juta dan Rp 10 juta untuk biaya pemakaman.
Namun, santunan itu baru dapat dicairkan setelah proses administrasi kematian yang bersangkutan beres dan terverifikasi.
Banyak Petugas Pemilu Meninggal, Kontras Ungkap Durasi Kerja yang Tidak Manusiawi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkap penyebab banyak petugas pemilihan umum (Pemilu) meninggal dunia yang disebabkan oleh kelelahan.
Wakil Koordinator Kontras Andi Rezaldi mengatakan, beban kerja yang berat mulai dari pembuatan Tempat Pemungutan Suara dan rekapitulasi juga menjadi bagian faktor kelelahan para petugas pemilu.
“Secara umum pun, petugas KPPS rata-rata bekerja selama 24-36 jam nonstop. Hal ini jelas tidak manusiawi, mengingat honor yang diterima pun hanya sebesar Rp 1.100.000,” kata Andi dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).
Andi juga menilai, kerja tak manusiawi itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Faktor kelelahan ini juga terkonfirmasi dari sejumlah kasus kematian yang korbannya berusia masih muda.
“Salah satu contoh kasusnya yakni petugas KPPS di Sulawesi Selatan, berinisial WTP (24) dan MF (26). Kedua petugas tersebut masih tergolong sangat muda,” imbuh Andi.
Data kematian yang diterima Kontras, korban meninggal berusia 15-20 tahun 1 orang, 20-30 tahun 6 orang, 40-50 tahun 5 orang dan usia 50-60 tahun 8 orang. Sisanya korban meninggal usianya belum diketahui.
“Hal ini menguatkan bahwa persoalan utamanya bukan pada umur anggota KPPS, melainkan pada beban kerja yang sangat besar dan waktu kerja yang berlebihan,” tutur Andi.
Agar korban jiwa tak bertambah, Kontras meminta KPU mengambil langkah cepat tanggap terhadap kurang lebih 13.000 petugas pemilu yang sakit.
“KPU (juga) harus segera memberikan kompensasi kepada keluarga KPPS atau ahli waris,” tandasnya. (kompas)