Ilustrasi: Eksploitasi pasir laut (iStock/seroma72)

Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.

Izin tersebut ia tuangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam beleid itu, Jokowi juga mengizinkan pelaku usaha untuk memanfaatkan pasir laut untuk beberapa keperluan, termasuk ekspor.

Namun, ekspor pasir laut hanya boleh dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait ekspor dan penjualan pasir laut, dalam Pasal 10 Jokowi mengatur bahwa pelaku usaha harus mendapatkan izin usaha pertambangan menteri ESDM atau gubernur.

Selanjutnya, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan.

“Pelaku usaha yang memiliki izin pemanfaatan pasir laut wajib membayar PNBP (penerimaan negara bukan pajak),” katanya Jokowi seperti dikutip dari beleid tersebut, Senin (29/5).

Melalui PP nomor 26 tahun 2023 itu, Jokowi juga mencabut aturan pengelolaan pasir laut yang diterbitkan oleh Presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri.

Aturan itu adalah Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang berisi beberapa ketentuan, antara lain;

(1) Ekspor pasir laut ditetapkan menjadi komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya.

(2) Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan pengawas Pengusahaan Pasir Laut.

Setelah keppres itu terbit, pemerintahan Megawati pun pernah melarang ekspor pasir laut. Larangan ekspor tersebut diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Megawati, Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.

Dalam beleid itu, Rini mengatur ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau kecil. Penghentian akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.

Pembukaan kembali keran ekspor pasir laut oleh Jokowi lewat PP Nomor 26 Tahun 2023 tadi pun menuai banyak kritik. Salah satu pihak yang berkomentar adalah Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Ia berharap Jokowi membatalkan keputusannya mengizinkan ekspor pasir laut. Menurut Susi, hal tersebut bakal memberikan kerugian besar pada lingkungan.

“Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” tulis Susi dalam akun resmi Twitternya.

Kekhawatiran Susi ini bukan omong kosong. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengakui pengambilan pasir laut pada masa lalu memang merusak lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan ekspor dilarang pada 2003.

Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP Wahyu Muryadi mengatakan pengambilan pasir pada masa itu tidak teratur dan menggunakan alat yang tak ramah lingkungan.

Berkaca pada pengalaman buruk tersebut, Wahyu mengklaim saat ini pengambilan pasir laut akan dilakukan secara tertata tanpa merusak lingkungan.

Menurutnya, untuk detail pengaturan bakal dimuat dalam Peraturan Menteri (Permen) KKP yang diharapkan bisa segera dirilis. Saat ini, aturan teknis turunan PP 26 Tahun 2023 tersebut masih dalam pembahasan.

“Hal-hal yang lebih detail dan teknis akan diatur dalam Peraturan Menteri KP. Saat ini masih sedang dibahas secara internal di KKP,” jelas Wahyu.

Ia pun memastikan ekspor pasir laut bukan tujuan utama dibuatnya beleid tersebut. Selain itu, berbagai pertimbangan sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam laut.

Meski begitu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai PP Nomor 26 tahun 2023 tadi sangat jelas dilatarbelakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan berorientasi bisnis.

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Menurut Abdi, kegiatan penambangan pasir selama ini sudah berlangsung untuk kepentingan dalam negeri.

“Patut diduga PP ini untuk melegalisasi ekspor pasir laut. Ini bertolak belakang dengan komitmen MKP (menteri kelautan dan perikanan) untuk menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima,” ucapnya.

Ia juga mengatakan ada semacam ‘kamuflase’ dalam PP tersebut yang mengedepankan pengelolaan sedimentasi laut. Padahal ada indikasi-indikasi yang akan ditambang justru pasir laut.

Abdi menjelaskan pengendalian hasil sedimentasi di laut merupakan upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi itu sendiri.

Adapun pengendalian yang ia maksud dilakukan agar proses sedimentasi di laut tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.

Alam, kata dia, pada dasarnya sudah mengatur siklus secara berimbang. Manusialah yang menyebabkan perubahan dan berdampak negatif.

Oleh karena itu, ia menilai justru yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan sedimentasi tersebut.

“Yakni aktivitas dari hulu terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan,” tegas Abdi.

Ia juga menambahkan saat ini isu yang terbesar terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil adalah justru abrasi buntut perubahan iklim. Abrasi telah berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat maupun kerusakan sarana dan prasarana.

Abidi menyebut biaya untuk menanggulangi hal tersebut saja tidak mampu ditutupi oleh pemerintah daerah dan negara.

“Dengan regulasi ini (PP Nomor 26 tahun 2023) maka dapat dipastikan abrasi akan semakin besar dan masif terjadi,” katanya.

Ekspor Pasir Laut Bisa Rusak Lingkungan

Segendang sepenarian, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda berpendapat sebaiknya PP 26 tahun 2023 dibatalkan saja.

Ia melihat pengerukan dan ekspor pasir laut perlu dikritisi karena bisa berdampak ke lingkungan. Di sisi lain, ia tak menampik kalau kebijakan itu memang bisa menguntungkan secara ekonomi.

Namun, keuntungan ekonomi tersebut hanya dalam jangka pendek saja.

“Tapi dalam jangka panjang bisa merugikan dan jadi bumerang bagi ekonomi kita,” imbuh Nailul.

Dengan kata lain, keuntungan ekonomi yang tak seberapa itu tidak bisa menutupi kerusakan yang ditimbulkan. Apalagi, kata Nailul, keuntungan jangka pendek hanya menguntungkan pemerintahan sekarang.

“Tapi ke depan akan merugi karena biaya lingkungannya cukup besar,” tandasnya. (mrh/sfr/cnn).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer