Jakarta – Ombudsman Republik Indonesia menyebut aparat gabungan TNI/Polri mendatangi rumah warga Kampung Pasir Panjang, Rempang, Batam agar mereka menyetujui relokasi demi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro mengatakan berdasarkan keterangan warga Kampung Pasir Panjang, mereka tidak mendapatkan penjelasan yang utuh dari pemerintah terkait Rempang Eco City.
Warga Kampung Pasir Panjang menilai pembangunan begitu tergesa-gesa. Informasi yang mereka dapatkan pun cenderung berubah-ubah dan tidak pasti.
“Kemudian yang paling menggelisahkan hari ini adalah mereka didatangi oleh petugas, tim gabungan dari Pemerintah Kota Batam, BP Batam, TNI/Polri yang istilahnya door to door untuk bergerilya meminta persetujuan warga,” kata Widi dalam konferensi pers, Rabu (27/9).
Widi mengatakan warga Kampung Pasir Panjang menolak untuk direlokasi. Menurutnya, mereka hanya mendukung penataan kampung dan berharap pemerintah melakukan pembinaan dan penataan Kampung Pasir Panjang.
“Jadi bukan relokasi. Bukan juga pergeseran dalam istilahnya BP Batam terkini,” tandasnya.
Widi menyebut hal yang sama turut dirasakan oleh warga Kampung Sembulang. Mereka merasa tertekan karena TNI/Polri turun ke rumah-rumah warga.
“Mereka merasa dalam tekanan hari-hari ini karena mereka bahkan ketika tidak ada di rumah formnya itu dimasukkan di pintu. Kalau tidak ada orang tuanya, anaknya dipaksa mewakili orang tuanya untuk mengisi form dan tanda tangan,” ucap Widi.
Widi menyampaikan warga Kampung Sembulang yang menolak relokasi tak diberi kesempatan untuk berdialog dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia saat melakukan kunjungan ke Rempang beberapa waktu lalu.
Dia berujar terdapat upaya-upaya yang mengarah pada penekanan agar warga menyetujui relokasi, khususnya pada pegawai pemerintah.
“Warga takut melaut karena takut kalau lama di laut pulang sudah digusur. Itu tentu mempengaruhi pendapatan mereka,” katanya.
Widi mengatakan warga Kampung Sembulang berharap keluarga mereka yang ditahan kepolisian segera dibebaskan.
Sementara itu, berdasarkan keterangan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, terang Widi, telah terjadi perubahan lokasi relokasi bagi warga Pulau Rempang.
“Tadinya relokasi ke Kampung di Dapur Tiga di Pulau Galang sudah bergeser tetap di Rempang khususnya di Tanjung Banun,” jelasnya.
Menurutnya, BP Batam dan Pemerintah Kota Batam menjamin hak warga terdampak dengan menyediakan tanah kavling 500 m², rumah pengganti tipe 45 senilai 120 juta, tambahan kompensasi nilai tanam tumbuh dan bangunan sarana usaha, serta kompensasi bagi warga yang nilai tanah atau rumahnya melebihi nilai tanah dan rumah pengganti.
Selain itu, BP Batam dan Pemerintah Kota Batam juga memberikan bantuan relokasi sementara berupa biaya hidup senilai Rp1,2 juta per orang setiap bulan, uang sewa rumah senilai Rp1,2 juta per hunian setiap bulan, dan pemberian paket bahan pangan per KK satu kali saat relokasi.
Ribuan warga Rempang saat ini terancam harus meninggalkan tempat tinggalnya karena akan ada pembangunan PSN Eco-city.
Proyek yang dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luasan Pulau Rempang 16.500 hektare untuk proyek tersebut.
Ribuan warga itu tak terima harus angkat kaki dari tanah yang sudah ditinggalinya jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Mereka gigih mempertahankan tempat tinggalnya, meski aparat TNI-Polri dikerahkan agar warga Rempang setuju direlokasi.
Bentrok tak terelakkan. Pada 7 dan 11 September 2023, bentrokan sempat pecah. Polisi menyemprotkan gas air mata hingga anak-anak dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, 43 orang yang menolak relokasi ditangkap dengan dituduh provokator. (lna/pmg/CNN Indonesia)