Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 apabila mengubah batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal itu disampaikan Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril melalui keterangan tertulis, Kamis (12/10).
Oce merespons perkara uji materiil yang intinya ingin menurunkan batas usia minimal yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun atau menambahkan syarat ‘berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah’.
Oce menjelaskan MK telah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pada berbagai putusan MK terdahulu.
Menurut Oce, itu artinya penentuan syarat usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, bukan kewenangan MK.
“UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang. Khususnya berkaitan dengan pemilihan presiden, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang,” ujar Oce.
Oce mengatakan UU Pemilu telah mengatur persyaratan capres-cawapres pada Pasal 169. Salah satu syaratnya adalah berusia paling rendah 40 tahun. Menurut Oce, syarat usia yang ditentukan oleh UU Pemilu sebagai peraturan delegasi dari Pasal 6 UUD 1945.
Apabila kemudian MK mengubah syarat usia minimal capres/cawapres atau menambahkan syarat baru, seperti ‘berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah’, tentu menurut Oce hal tersebut melanggar prinsip open legal policy yang ditegaskan dalam berbagai putusan MK.
“Bahkan lebih jauh, hal tersebut dapat dikatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang telah memerintahkan agar syarat capres/cawapres diatur dalam UU Pemilu,” jelas Oce.
Oce kemudian menyinggung Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 soal syarat usia Pimpinan KPK. Oce menyebut dalam putusan itu, MK tidak mengubah syarat usia minimal, melainkan menambahkan syarat berpengalaman sebagai pimpinan KPK.
Artinya, seseorang yang belum memenuhi batas usia minimal 50 tahun dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK asalkan telah memiliki pengalaman.
Oleh karena itu, jelas Oce, hingga saat ini MK masih konsisten dengan pendiriannya mengenai syarat usia merupakan open legal policy yang ditentukan oleh undang-undang, bukan oleh putusan MK.
“Apabila nanti MK mengubah pendiriannya dalam putusan berkaitan dengan usia minimal capres/cawapres, maka tentunya MK dapat dianggap larut dalam dinamika politik Pilpres yang akhir-akhir ini disaksikan oleh publik secara luas,” kata Oce.
“Inkonsistensi sikap MK ini dapat menurunkan kredibilitas MK sebagai the guardian of constitution,” tambahnya.
MK bakal menggelar sidang pengucapan putusan dari sejumlah perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres, Senin (16/10). Perkara batas usia ini mendapat sorotan dari publik.
Salah satunya lantaran anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang digadang-gadang menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto.
Kendati demikian, langkah Gibran terhalang oleh syarat batas usia minimal. Kini, Gibran baru berusia 36 tahun.
Mendekati waktu pengucapan putusan, berbagai pihak telah menyampaikan kritiknya kepada MK. Kritikan datang dari Menko Polhukam sekaligus Mantan Ketua MK Mahfud MD, para pakar hukum tata negara, hingga partai politik.
Untuk diketahui, Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) melayangkan somasi kepada seluruh hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka minta seluruh hakim MK mundur dari pengujian materiel Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia minimal capres-cawapres.
“Mengapa somasi ini disampaikan, karena rupanya mulai sejak perkara ini didaftarkan dan disidangkan, sampai besok ini dikatakan mau diputus, sembilan hakim konstitusi ini tidak menyadari bahwa ada rambu-rambu dari undang-undang tentang pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang sudah dilanggar,” ujar Koordinator Perekat Nusantara, Petrus Selestinus saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/10).
Petrus mengatakan pihaknya telah mencatat dua penting yang dilanggar. Menurut dia, hakim MK berkepentingan dalam perkara ini karena kelak akan mengubah batas usia minimum dan/atau maksimum dan usia pensiun hakim MK melalui uji materiel di MK.
“Kita melihat hakim konstitusi berkepentingannya itu bahwa kalau besok dikabulkan, maka tidak tertutup kemungkinan dalam beberapa hari kemudian ada yang mengajukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang MK tentang batas usia minimum dan maksimum hakim konstitusi. Mereka bisa mengubah melalui proses yang sederhana atau pragmatis di sini, mungkin lebih mudah lagi, dan mungkin usia pensiunnya diperpanjang bisa saja sampai 80 tahun. Karena lebih sederhana di sini. Karena itu mereka masuk dalam konflik kepentingan yang seharusnya sembilan orang itu mundur dari perkara ini,” jelas Petrus.
Petrus turut menyinggung hubungan keluarga antara Ketua MK Anwar Usman dengan Kaesang Pangarep yang sekarang duduk sebagai Ketua Umum PSI. Diketahui, salah satu permohonan, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang akan dibacakan putusannya pada Senin (16/10) itu diajukan oleh PSI.
Oleh karena itu, alasan somasi lainnya adalah Anwar dinilai tidak bisa netral dalam pengujian perkara ini lantaran memiliki hubungan keluarga.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subbagian Humas MK Mutia Fria Darsini langsung menerima surat somasi tersebut. Ia mengatakan surat tersebut akan disampaikan kepada para hakim konstitusi dan para pimpinan.
Mutia belum dapat memastikan apakah somasi tersebut dapat merubah jadwal pengucapan putusan pada Senin (16/10) mendatang atau tidak.
“Untuk persidangan MK, dengan agenda apapun itu, akan dilaksanakan sesuai dengan jadwal. Namun terkait somasi ini akan merubah jadwal sidang atau tidak, kami belum dapat menyampaikan jawaban ini. Saat ini, kami akan menyampaikan somasi yang tadi kami terima,” kata Mutia.
Adapun Mutia menjelaskan selama ini jadwal pengucapan putusan di MK belum pernah mengalami perubahan setelah dipublikasikan. (cnnindonesia)