Jakarta – Sebanyak 11 kepala daerah meminta judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat karena menilai Pilkada serentak 2024 bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
UU Pilkada yang digugat yakni ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) UU. Pasal tersebut berkaitan dengan desain keserentakan pilkada nasional tahun 2024 karena telah merugikan sejumlah 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan Para Kepala Daerah secara signifikan.
“Secara persentase, jumlah Kepala Daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 Kepala Daerah di Seluruh Indonesia (49,5% dari 546 Kepala Daerah),” tulis keterangan pers dari Visi Law Office selaku kuasa hukum dari 11 kepala daerah tersebut, Minggu (28/1/2024).
11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon terdiri dari Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi.
“Para Kepala Daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 Kepala Daerah yang terdampak dan mengungkapkan setidaknya terdapat 7 persoalan dari desain keserentakan,” ujarnya.
Berikut isi pasal-pasal di UU Pilkada 2024 yang diuji oleh Para Pemohon. Adapun ketentuan dari pasal-pasal yang diuji berbunyi sebagai berikut:
Pasal 201 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016
Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024
Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016
Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Pasal tersebut sebelumnya pernah diuji di MK. Namun, para pemohon kali ini disebut memiliki argumentasi yang berbeda dari sebelumnya.
“Sekalipun pasal yang diuji oleh Para Kepala Daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi, para pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya,” ucapnya.
Visi Law Office menilai pembentuk UU tidak memperhitungkan secara cermat seluruh implikasi teknisnya. Sehingga dirasa berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.
“Dalam pandangan pemohon bersama Visi Law Office sebagai kuasa hukum, pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas,” ucapnya.
Visi Law Office mengemukakan 7 argumentasi hukum pokok, yaitu:
- Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal pilkada serentak nasional tahun 2024.
- Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis
- Tujuan keserentakan pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana
- Penentuan jadwal pilkada serentak nasional 2024 merugikan sebanyak 270 Kepala Daerah hasil Pilkada 2020
- Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi
- Keserentakan Pilpres, Pileg dan Pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar
- Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi
Para pemohon meminta agar pelaksanaan Pilkada serentak 2024 dibagi menjadi dua gelombang. Pelaksanaan dua gelombang dinilai jadi solusi atas problem teknis pelaksanaan Pilkada serentak 2024 mulai dari keamanan hingga masa jabatan kepala daerah.
“Atas seluruh argumentasi yang dijelaskan secara detail dalam permohonan, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada nasional pada 546 daerah
otonomi menjadi dua gelombang. Pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025,” ujarnya.
“Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut,” imbuhnya. (dek/azh/detik)