majalahbuser.com, Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, tiba-tiba menjadi sorotan setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya berulah. Peristiwa itu berawal dari informasi yang dikeluarkan oleh pihak manajemen Susi Air, milik Susi Pudjiastuti pada Selasa (7/2/2023) pagi.
Saat itu, perusahaan tersebut mengeluarkan informasi bahwa pesawat Pilatus dengan nomor registrasi PK-BVY yang dipiloti Philips Marthen (37), diduga dibakar setelah berhasil mendarat dengan selamat di Lapangan Terbang Paro pada pukul 06.17 WIT.
Siapa itu KKB?
Dikutip dari Kompas.com, KKB adalah singkatan dari Kelompok Kriminal Bersenjata, yang merupakan sebuah kelompok yang kerap menebar teror baik kepada warga sipil maupun TNI serta Polri di wilayah Papua. Tujuan KKB Papua adalah melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh karena itu, KKB Papua dapat disebut sebagai gerakan separatis, yang gerakannya kerap memakan korban jiwa.
Asal-usul KKB Papua Sebelum lahir dengan sebutan KKB, kelompok ini dulunya dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM).
OPM didirikan pada 1965 untuk mengakhiri pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat, yang sebelumnya disebut Irian Jaya. Mereka berniat untuk melepaskan diri dari Indonesia. OPM pun kerap menyuarakan tentang referendum supaya bisa merdeka dari NKRI.
Dalam memperjuangkan keinginan kelompok, mereka beberapa kali melakukan gerakan kriminal yang memakan korban jiwa. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian berinisiatif untuk membentuk Otonomi Khusus bagi Papua dengan anggaran yang besar. Sayangnya, anggaran tersebut hanya digunakan oleh golongan elite saja, tidak sampai ke masyarakat luas.
Hal itu kemudian memicu terjadinya gerakan perlawanan masif dari OPM dengan melakukan berbagai tindakan kejahatan.
Aksi kejahatan KKB
Salah satu aksi kriminal yang pernah dilakukan OPM adalah pada 1996, saat mereka menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia yang terdiri dari grup peneliti dan kamp hutan. Dua sandera dari grup peneliti dibunuh, sementara yang lainnya dibebaskan.
Karena aksinya, OPM kerap dicap sebagai organisasi kriminal. Oleh karena itu, istilah OPM kemudian diganti menjadi KKB atau Kelompok Kriminal Bersenjata. Apabila ada salah satu kelompok KKB Papua yang tertangkap, mereka akan langsung ditahan karena alasan kriminalitas.
Karena tujuan KKB adalah ingin melepaskan Papua dari NKRI, maka kelompok ini dianggap sebagai gerakan separatis, yang dapat mengancam keutuhan negara.
Menurut catatan, KKB kerap beraksi di wilayah pegunungan di Papua. Beberapa kabupaten yang sampai saat ini dianggap rawan dari aksi mereka seperti Puncak, Yahukimo, Nduga dan Intan Jaya.
Sementara itu, ada lima kelompok yang sudah dipetakan dengan para pemimpinnya, yakni Lekagak Telenggen, Egianus Kogoya, Jhony Botak, Demianus Magai Yogi dan Sabinus Waker. Dari lima kelompok itu, Lekagak Telenggen dan Egianus Kogoya dianggap sebagai yang paling berbahaya.
Sampai saat ini, KKB Papua sulit diberantas karena mereka berbekal persenjataan lengkap dan mutakhir. Beberapa aksi kejahatan yang pernah dilakukan KKB Papua adalah melakukan penyerangan terhadap pekerja, pembacokan, penembakan, serta pembakaran rumah dan sekolah di beberapa wilayah di Papua.
Mengapa KKB sulit diatasi?
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kehadiran KKB di Papua bukan tanpa alasan. Menurutnya, adanya KKB merupakan dampak dari persoalan di Papua yang tidak pernah terselesaikan.
“Saya kira bukan urusan TNI saja, harus diselesaikan secara komprehensif oleh pemerintah,” kata Fahmi, Senin (28/3/2022).
“Karena bukan soal gangguan keamanan saja, tapi juga persoalan lain yang memicu terjadinya ketidakpuasan dan gangguan keamanan di tengah masyarakat,” sambungnya.
Oleh sebab itu, gangguan keamanan, teror, dan serangan bisa terjadi kapan pun untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Krisis kepercayaan
Fahmi menjelaskan, ada krisis kepercayaan dari masing-masing pihak. Di satu sisi, KKB cenderung pesimis terhadap agenda-agenda yang ditawarkan pemerintah dan curiga terhadap apa yang dikerjakan untuk masyarakat Papua.
“Mereka juga melihat apa pun yang dianggap terbaik untuk Papua, itu kan versi Jakarta. Jadi lebih menunjukkan kepentingan Jakarta daripada aspirasi masyatakat Papua. Ini kan artinya mereka memiliki ketidakpercayaan,” jelas dia.
Di sisi lain, pemerintah sendiri tidak menunjukkan posisi yang lebih positif terhadap persoalan Papua. Akhirnya, dialog pun sulit tercapai karena tidak adanya kepercayaan yang terbangun dengan baik.
Kekerasan di Papua
Fahmi menuturkan, permasalahan ini kemudian dipersulit dengan masalah kekerasan di Papua, baik dari KKB maupun TNI dan Polri. Meski TNI mulai mengubah pendekatan dari senjata menjadi dialog, ia menyebut masih sulit dilakukan karena dimotori oleh militer.
“Masalahnya bagaimana mungkin tindakan merangkul ini dilakukan oleh perangkat yang sebelumnya diberi mandat untuk memukul,” ujarnya.
“Maksud saya, seharusnya TNI dan Polri diposisikan untuk antisipasi kemungkinan terburuk, sementara perangkat pemerintah yang lain harus menjalankan dengan baik kebijakan merangkul itu dalam berbagai bentuk program,” jelasnya.
Oleh karena itu menurutnya perubahan pendekatan itu juga harus disertai dengan pergantian leading sector. (Ahmad Naufal Dzulfaroh/kompas)