Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kedua kiri) dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pemilu 2024 di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat
Jakarta – Di tengah ketidakpastian siapa bakal mendampingi Prabowo sebagai bakal calon Wakil Presiden, Cak Imin sesumbar, “Siapapun Bersama PKB Akan Menjadi Pemenang Pilpres 2024”. Sebagaimana dikutip berbagai media nasional, pernyataan (melampaui) optimisitik itu dikemukakan Muhaimin Iskandar saat memimpin rapat koordinasi nasional Pemilu 2024 di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat (28/8).
Pernyataan yang kurang lebih sama juga sudah pernah diungkapkan Cak Imin beberapa bulan silam. Kala itu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) baru selang beberapa bulan dideklarasikan bersama Gerindra, dan baru dua partai ini di dalamnya. Saat ini koalisi besutan Prabowo dan Cak Imin sudah bertambah tambun dengan masuknya Golkar dan PAN, ditambah dengan dua partai non parlemen PBB dan Gelora. KKIR ini bahkan sudah bertransformasi namanya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Serba Abu-Abu
Jika melihat dinamika pembentukan koalisi pencapresan yang masih serba abu-abu hasil akhirnya, pernyataan Cak Imin ini bisa dibaca dengan dua cara. Pertama, sesumbar ini mungkin didorong oleh kerisauan PKB perihal siapa yang akhirnya bakal dipilih Prabowo sebagai pendampingnya. Kerisauan ini tentu saja beralasan mengingat fakta bahwa di dalam tubuh KIM, selain bersama Gerindra, PKB tidak sendirian lagi.
Ada Golkar yang masih berkeinginan memajukan Airlangga, atau bisa saja mendorong Kang Emil yang elektabilitasnya sebagai bakal Cawapres lebih tinggi dari Cak Imin, dan ada PAN yang malah tampak lebih ngotot memajukan Erick Tohir sebagai bakal pendamping Prabowo. Keduanya bisa jadi batu sandungan bagi PKB-Cak Imin.
Selain itu masih ada faktor lain, yakni Gibran Wali Kota Solo yang posisi elektoralnya sebagai figur bakal Cawapres menurut versi survei juga lumayan tinggi. Kuncinya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK mengabulkan permohonan judicial review perihal penurunan batas minimal syarat usia menjadi Capres-Cawapres menjadi 35 tahun, maka Gibran berpeluang besar, dan kans Cak Imin bisa semakin tipis untuk menjadi pendamping Prabowo.
Bacaan kedua, pernyataan itu bisa jadi juga dimaksudkan sebagai “pesan politik” yang menggoda (atau mewanti-wanti) Prabowo. Dengan mengungkit lagi bahwa sejak reformasi, semua koalisi yang melibatkan PKB di dalamnya selalu memenangi Pilpres (2004 dan 2009 koalisi SBY memenangi Pilpres yang di dalamnya ada PKB, kemudian 2014 dan 2019 Jokowi memenangi Piplres yang di dalamnya juga ada PKB), Cak Imin tampaknya mau mengingatkan Prabowo dan KIM agar hati-hati, jangan sampai “nekat” menghempaskan PKB dari peluang posisi bakal Cawapres.
Bisa juga, bacaan kedua ini dimaksudkan sebagai “pesan politik” ke kubu lain, dalam hal ini yang paling mungkin adalah kubu PDIP-Ganjar untuk menjaga kemungkinan Cak Imin gagal menjadi pendamping Prabowo, lalu benar-benar terpental dari KIM. Jika ini terjadi, tampaknya PKB-Cak Imin memang bakal all out merapat ke PDIP dan berusaha keras mengambil slot yang selama ini diincar oleh PPP-Sandiaga.
Potensi Elektoral PKB
Masalahnya kemudian, seberapa kuat potensi elektoral PKB dalam Pemilu 2024 mendatang sehingga dengan yakin Cak Imin berani sesumbar dan menjamin kemenangan bagi Bacapres yang berkoalisi dengannya?
Jika rujukannya hasil survei paling mutakhir, misalanya Litbang Kompas, PKB berada di urutan ketiga di bawah PDIP dan Partai Gerindra dengan besaran 7.6%. Sementara hasil survei Populi Center PKB berada di urutan keempat di bawah PDIP, Partai Gerindra dan Golkar dengan besaran 6.8%. Lumayan tinggi, dan selisihnya tidak jauh memang. Tetapi prosentase di kisaran 6-7 % dari dua hasil survei ini tentu masih rentan mengingat parta-partai yang berada di bawahnya (Demokrat, PKS, Nasdem) juga prosentasenya tidak terpaut jauh, hanya 1-2%. Artinya, dengan hasil survei ini PKB terlampau optimistik sampai berani menjamin kemenangan segala.
Demikian juga jika rujukannya adalah dinamika kualitatif preferensi pemilih untuk Pemilu 2024 yang belakangan ini dipengaruhi oleh ragam faktor yang sudah bergeser cukup jauh dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Misalnya adalah faktor Jokowi. Meski memiliki hubungan yang harmonis dengan Jokowi, PKB-Cak Imin bukanlah pihak terdekat dengan Jokowi. Padahal kita tahu, faktor Jokowi belakangan ini relatif sangat determinatif.
Terakhir modalitas sejarah PKB yang lahir dari rahim NU, yang selama ini menjadi andalan Cak Imin dan elite-elite PKB dalam membangun komunikasi elektoral dengan partai-partai lain. Sampai batas tertentu pastinya memang tidak bisa dipungkiri, PKB akan mendapatkan “berkah elektoral” dari relasi kesejarahannya dengan NU yang memiliki jutaan anggota di seluruh Tanah Air.
Tapi jangan lupa, salah satu bagian paling penting dari tubuh nahdliyin, yakni keluarga Gus Dur dan Gusdurian (tentu saja) belakangan ini justru cenderung tidak menyukai Cak Imin. Isyarat ini misalnya diungkapkan langsung oleh Yenny Wahid dalam sebuah kesempatan dengan menegaskan bahwa keluarga Gus Dur tidak akan mendukung Prabowo jika Capresnya Cak Imin (Kompas.com, 12/8). Kemudian dalam sebuah acara bersama Rosi di Kompas TV, Yenny juga sempat mengatakan, “Gus Dur yang pendiri partai disebut oleh Cak Imin guru politiknya malah dikudeta, apalagi rakyat, susah kan mau milih pemimpin seperti itu nanti.”
Ringkasnya, saya kira Cak Imin dan PKB tidak akan mudah melalui perhelatan Pemilu 2024 dengan capaian akhir seperti yang dibayangkan ketua umumnya, yakni mempersembahkan kemenangan bagi Capres koalisinya. (mmu/mmu/detik)
Penulis: Agus Sutisna dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)