Foto: Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nunuk Suryani memantau implementasi kebijakan Merdeka Belajar di SDN 03 Kota Bengkulu, di Bengkulu, Jumat (16/8/2024). ANTARA/Boyke Ledy Watra/am.

Jakarta – Dalam sebuah forum diskusi bertema “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” awal bulan ini, mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan kritik terkait kebijakan dan tata kelola pendidikan nasional.

Salah satu kritikan yang menarik untuk disorot adalah kritik terkait kurikulum Merdeka Belajar yang telah dipersiapkan oleh Kemendikbudristek sejak tahun 2020. Kurikulum ini resmi diluncurkan Kemendikbudristek pada 2022.

Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang dikeluarkan pada 25 Maret 2024 menjadi payung hukum diberlakukannya Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional mulai tahun ajaran 2024/2025. Meski demikian, pelaksanaannya tetap memperhatikan kesiapan satuan pendidikan dengan masa transisi hingga maksimal tiga tahun ke depan.

Dalam kritiknya, JK membandingkan sistem Merdeka Belajar dengan sistem pendidikan konservatif dengan cirinya yang sangat serius, ketat dan penuh tekanan. Mantan wakil presiden pada periode 2004-2009 dan 2014-2019 itu juga mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang konservatif dalam hal pendidikan.

Kritik yang dilontarkan JK ini sesuatu hal yang lumrah dalam negara demokrasi. Justru aneh ketika di dalam negara demokrasi tidak ada kritik. Akan tetapi sebagai bentuk dialektika dalam berdemokrasi, ada beberapa hal yang perlu diluruskan.

Perihal Merdeka Belajar

Prinsip Merdeka Belajar adalah menciptakan suasana belajar yang membahagiakan anak didik tanpa terbebani pencapaian nilai atau skor tertentu. Selain itu, sistem pendidikan ini juga mengakomodir karakter sebagai standar penilaian. Dengan model seperti ini Merdeka Belajar didesain sebagai sistem pendidikan yang memberikan ruang kebebasan kepada siswa-siswi untuk berpikir, berkreativitas dan berekspresi, bukannya untuk membuat siswa-siswi tidak perlu belajar lagi.

Meski menggunakan kata “merdeka”, sistem Merdeka Belajar bukan berarti membenarkan siswa untuk belajar semau-maunya, di mana anak didik bebas merdeka apakah mereka mau belajar ataukah tidak.

Merdeka Belajar juga tidak membebaskan anak didik dari ujian. Di dalam Merdeka Belajar juga diterapkan ujian. Ujian Nasional (UN) yang dulu pernah diperdebatkan keras oleh masyarakat sampai sekarang tidak dihapus. Hanya saja nama dan pola pelaksanaannya diubah menjadi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) dan tidak lagi menjadi satu-satunya penentu siswa lulus atau tidak.

Dalam pelaksanaannya, sistem ini tidak dilakukan pada akhir jenjang pendidikan melainkan di kelas 5 (SD), 8 (SMP) dan 11 (SMA). Selain itu, pelaksanaan ujian ini diserahkan pada sekolah masing-masing supaya sekolah bisa memiliki keleluasaan dalam menentukan penilaian seperti portofolio, karya tulis atau bentuk penugasan lainnya.

Ada tiga hal penting yang ditekankan dalam ANBK yaitu asesmen kompetensi minimum berupa literasi dan numerasi, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Berbeda dengan ujian nasional sebelumnya yang hanya menjadikan nilai mata pelajaran sebagai standar kelulusan, ANBK juga mencakup karakter siswa dan habitus belajar sebagai variabel kelulusan.

Supaya bisa mendapatkan hasil maksimal dalam ANBK, siswa jauh-jauh hari diharuskan mempersiapkan diri karena untuk menghadapi ANBK, siswa tidak diperkenankan menggunakan metode “SKS” alias Sistem Kebut Semalam, belajar dikebut hanya di malam sebelum ujian dilaksanakan.

Jadi, tidak perlu kuatir bahwa dengan sistem Merdeka Belajar anak didik akan dibebaskan dari segala bentuk ujian, yang pada akhirnya membuat mereka malas belajar. Dalam Merdeka Belajar ujian nasional itu tetap diadakan oleh pemerintah. Bahkan ujian-ujian lain yang namanya diganti “Penilaian”, seperti Penilaian Tengah Semester, Penilaian Akhir Semester dan sejenisnya juga diadakan.

Kelebihan dan kekurangan

Tidak salah jika JK mengatakan bahwa kurikulum konservatif bisa mendorong –lebih tepatnya memaksa– siswa untuk belajar, karena kurikulum ini menekankan sistem yang sangat ketat. Kelebihan berikutnya, adanya standarisasi nasional sehingga siswa dan sekolah harus progresif demi mencapai standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Karena terstandar secara nasional, kelebihan lainnya, kurikulum konservatif mudah dilakukan evaluasi.

Akan tetapi metode konservatif seperti itu mengandung banyak kekurangan. Di antaranya, metode konservatif dalam pendidikan yang dicirikan dengan ketaatan tinggi lebih banyak memberikan “teror” mental kepada anak didik. Pendidikan dinilai hanya menjadi beban bagi para siswa. Alih-alih menyenangkan, sekolah justru menjadi dunia yang menakutkan dan membosankan bagi anak didik. Masalah ini yang dulu dikritik keras oleh masyarakat.

Kekurangan lainnya, masih berdasarkan kritik masyarakat, pendidikan konvensional-konservatif hanya mengejar nilai di atas kertas dan cenderung mengabaikan karakter. Dampaknya, banyak siswa yang nilainya di atas kertas bagus tetapi karakternya buruk.

Selain itu, juga tak luput dari kritik masyarakat, karena menekankan standarisasi nasional, metode konservatif cenderung menyamakan potensi-potensi anak didik di berbagai daerah, padahal setiap anak didik ini memiliki potensi, kecenderungan dan kemampuan yang berbeda-beda.

Maka, demi mengakomodir kritik masyarakat soal pendidikan konvensional-konservatif itu, diterapkanlah sistem Merdeka Belajar. Jadi, substansi kebijakan Merdeka Belajar itu sebenarnya juga dibangun berdasarkan masukan dan kritik masyarakat, bukan semata-mata keinginan Kemendikbudristek.

Sebagai sebuah terobosan, Kurikulum Merdeka justru mempunyai keunggulan dibandingkan sistem konvensional-konservatif. Diantara keunggulannya, dijelaskan Ahmad Almarisi dalam jurnal pendidikan Mukadimah (2023), adalah Kurikulum menjadi sederhana namun lebih mendalam sehingga memudahkan dalam proses belajar-mengajar.

Selain itu Kurikulum merdeka lebih fokus pada substansi pengetahuan dan pengembangan peserta didik berdasarkan tahapan dan prosesnya dan pembelajaran lebih bermakna. Proses belajar-mengajar tidak bersifat kuantitatif tetapi lebih bersifat kualitatif di mana selain lebih menekankan penguasaan materi proses belajar juga dilakukan secara menyenangkan; peserta didik merdeka menentukan menu pelajaran yang diminati sesuai bakat dan aspirasinya; guru dapat melaksanakan pengajaran sesuai penilaian terhadap jenjang capaian dan perkembangan peserta didik.

Pastinya Kurikulum Merdeka ini juga mengandung kekurangan. Di antaranya, dari segi implementasinya Kurikulum Merdeka masih kurang matang, sistem pendidikan dan pengajaran yang dirancang belum terealisasi dengan baik, dan kurangnya sumber daya manusia. Tapi, kekurangan ini akan diperbaiki, tentu saja secara gradual. Mustahil membangun sistem pendidikan seketika langsung sempurna.

Sekali lagi, prinsip Merdeka Belajar adalah menciptakan suasana belajar yang membahagiakan anak didik tanpa terbebani pencapaian nilai atau skor tertentu. Selain itu, sistem pendidikan ini juga mengakomodir karakter sebagai standar penilaian. Dengan model seperti ini Merdeka Belajar didesain sebagai sistem pendidikan yang memberikan ruang kebebasan kepada siswa-siswi untuk berpikir, berkreativitas dan berekspresi sesuai minat dan bakatnya, bukannya untuk membuat siswa-siswi tidak perlu belajar lagi. (ant).

Penulis: Muhammad Muhibbuddin, pegiat literasi dan staf peneliti di Dawuh Guru Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer