ilustrasi

Jakarta – Penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector atau penagih hutang beberapa kali terjadi. Umumnya, penarikan ini dilakukan karena kredit kendaraan tersebut macet. Tak jarang, prosesnya dilakukan dengan paksa, menggunakan kekerasan fisik, dan ancaman.

Debt collector adalah pihak ketiga yang bertugas menagih pembayaran utang yang belum dilunasi oleh debitur. Mereka biasanya bekerja sama dengan kreditur untuk melakukan tugasnya.

Namun, ada pula oknum yang memanfaatkan pekerjaan ini dengan menjadi debt collector palsu, sehingga bisa dengan mudah merampas paksa kendaraan.

Lantas, apakah debt collector yang merampas motor karena kredit macet bisa dipidana?

Penjelasan ahli

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, debt collector yang mengambil kendaraan secara paksa dengan alasan pembayaran menunggak, bisa dipidana.

“Ya, mengambil barang orang lain secara paksa, termasuk merampas motor adalah tindak pidana perampasan dengan kekerasan,” kata Fickar, Kamis (10/4/2025).

Menurutnya, siapa pun termasuk debt collector yang melakukan perampasan paksa terhadap kredit kendaraan macet merupakan sebuah tindak kejahatan, meski mereka memiliki surat kuasa.

Sebab, kendaraan milik korban bukan merupakan barang yang dibeli karena kejahatan.

Adapun tindak perampasan kendaraan secara paksa itu bisa dikenai pasal berlapis, yaitu Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Perampasan, Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Kekerasan, dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Ancaman hukumannya mulai dari 12 tahun kurungan penjara hingga hukuman mati, tergantung dengan tindak kejahatan yang dilakukan.

“Pelaku bisa dihukum maksimal 12 tahun jika dilakukan pada malam hari oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan luka berat,” terang Fickar.

Namun, hukuman pidana tersebut bisa lebih berat, yakni menjadi 15 tahun kurungan penjara apabila debt collector melakukan tindak kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa.

Pelaku juga dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup jika perampasan motor terbukti dilakukan oleh 2 orang atau lebih dan berakibat kematian.

Bukan wewenang debt collector

Fickar memastikan, debt collector bukan pihak yang berhak menarik motor kredit secara paksa.

“Yang berhak mengambil hanya pengadilan, jadi harus ada putusan pengadilan dulu baru boleh diambil, dilelang, dan uang hasil lelang dikembalikan kepada perusahaan sebagai pembayaran tunggakan,” kata dia.

Dalam ranah hukum Indonesia, tidak ada pihak yang berwenang melakukan pemaksaan atau upaya paksa, baik untuk penangkapan, penggeledahan, penyitaan, maupun perampasan selain penegak hukum.

Adapun penegak hukum yang dimaksud adalah polisi, jaksa, dan hakim pengadilan.

“Jika dilakukan oleh bukan penegak hukum itu namanya perampasan paksa dan itu tindak pidana atau kejahatan yang dapat dihukum,” tegas Fickar.

Prosedur penarikan kredit motor macet

Prosedur penarikan motor yang mengalami penunggakan kredit telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dikutip dari laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), UU tersebut mengatur bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dalam Pasal 15, disebutkan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Bersama Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sertifikat Jaminan Fidusia juga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Apabila debitor mengingkari janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat perbedaan penafsiran terkait dengan proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kreditnya bermasalah.

Sebagian menafsirkan, proses penarikan kendaraan bermotor harus lewat pengadilan. Namun, sebagian menganggap bahwa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU, maka dapat melakukan penarikan sendiri atau sepihak.

Penafsiran kedua itulah yang membuat adanya tindak penarikan sepeda motor secara sepihak dengan menggunakan jasa debt collector.

Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa perusahaan pemberi kredit atau kreditur (leasing) tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan atau rumah secara sepihak.

Mengacu putusan itu, perusahaan pembiayaan harus meminta permohonan eksekusi terlebih dulu ke pengadilan negeri untuk menarik obyek jaminan fidusia. (kompas).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer