Jakarta – Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau menolak direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City.
Perlawanan pun tak terelakkan karena warga memilih bertahan di kawasan yang diklaim sebagai kampung-kampung Melayu tua di Rempang.
Bentrokan antara aparat dan warga pecah pada 7 September lalu. Polisi menembakkan gas air mata ke arah massa. Anak-anak di sekolah ikut terkena dampaknya hingga dilarikan ke rumah sakit. Berselang lima hari, kericuhan kembali terjadi di kantor BP Batam. Sebanyak 43 orang yang menolak relokasi ditangkap polisi lantaran dituduh provokator. Mereka dijadikan tersangka.
Aksi represif aparat di Rempang memicu kegeraman masyarakat Indonesia, terutama warga Melayu. Sedikitnya 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh hingga Papua mendesak pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proyek Rempang Eco City.
Pada Jumat (15/9) ini aksi solidaritas pun digelar di sejumlah titik. Dari mulai solidaritas Melayu di Medan (Sumatera Utara) dan Jambi, hingga doa bersama solidaritas Rempang yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta pada Jumat malam ini.
Aliansi Melayu Sumut minta setop proyek Rempang Eco City
Massa Aliansi Melayu Sumatera Utara (Sumut) melakukan aksi di Makam Pahlawan Medan Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan. Mereka mendesak pemerintah agar menghentikan proyek strategis nasional Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau.
“Kami desak pemerintah segera hentikan proyek strategis nasional Rempang Eco City di Kepulauan Riau,” kata koordinator aksi, Datok Irwan Supadli, Jumat siang.
Massa juga meminta agar pemerintah mengembalikan hak masyarakat Melayu terhadap lahan mereka serta menjamin agar budaya Melayu tidak hilang.
“Aksi ini merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat Islam maupun non Islam. Kami desak agar pemerintah memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh gak dasar masyarakat adat kampung Tua Melayu di Pulau Rempang dan Galang,” tegasnya.
Dengan aksi itu, tambahnya, pihaknya mendukung perjuangan warga Melayu di Pulau Rempang dan Galang. Pihaknya juga meminta agar warga Melayu tidak diintimidasi dan ditindas.
“Kami tak ingin warga Melayu tidak diintimidasi dan tidak ditindas. Berikan hak hak warga Melayu Rempang dan Galang.
Berdasarkan pantauan, massa datang dengan membawa berbagai atribut aksi. Aksi itu pun mendapatkan pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Masyarakat Melayu Jambi minta tinjau ancaman ruang hidup di Rempang
Sejumlah Masyarakat adat Melayu di Jambi menggelar aksi solidaritas untuk masyarakat Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau pada Jumat sore ini.
Massa aksi ini menolak rencana relokasi terkait proyek strategis nasional (PSN) Eco City.
Massa aksi ini membentangkan sepanduk di Tugu Keris Siginjai, Kota Jambi, Jumat (15/9) sore. Mereka pun silih berganti berorasi menyuarakan solidaritas untuk warga di Riau itu.
Koordinator aksi masyarakat adat Melayu Jambi, Afis Alatas, mengatakan PSN Eco City dapat mengancam ruang hidup masyarakat di Pulau Rempang dan Galang. Oleh karena itu, kelompok masyarakat Melayu Jambi meminta pemerintah untuk meninjau kembali proyek tersebut.
“Kita meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia agar meninjau atau mengkaji kembali keputusan yang akan diambil. Agar keputusan yang diambil bisa adil untuk masyarakat,” katanya.
Ia mendapatkan kabar bahwa sejumlah tokoh masyarakat di Pulau Rempang dan Galang sudah ditangkap dan sedang diperiksa.
“Tokoh-tokoh masyarakat di sana diamankan dan lagi diperiksa. Ini kita meminta secara kemanusiaan agar diambil keputusan yang terbaik,” katanya.
Aksi solidaritas ini selain didorong rasa kemanusiaan, juga diperkuat dengan sentimen kesukuan. Masyarakat Melayu di Jambi mempunyai hubungan dengan masyarakat Melayu Pulau Rempang secara historis.
Afis mengatakan pihaknya akan terus memantau persoalan proyek nasional dan rencana relokasi warga tersebut. Bila keputusan yang diambil tetap merugikan masyarakat di Pulau Rempang dan Galang, masyarakat Melayu Jambi akan kembali menggelar aksi.
Masyarakat Melayu Jambi pada dasarnya mendukung semua kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan pemerintah selama sejalan dengan hak asasi manusia.
Sejumlah Masyarakat adat Melayu di Jambi menggelar aksi solidaritas untuk masyarakat Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau. Massa aksi ini menolak rencana relokasi terkait proyek strategis nasional (PSN) Eco City. CNN Indonesia/M Sobar AlfahriSejumlah Masyarakat adat Melayu di Jambi menggelar aksi solidaritas untuk masyarakat Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau di Tugu Keris Siginjai, Kota Jambi. (CNN Indonesia/Sobar)
Aksi Solo Peduli Melayu
Massa yang menamakan dirinya Solo Peduli Melayu menuntut Pemerintah membatalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City di Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Mereka menggelar aksi demonstrasi di Bundaran Gladag, Solo, Jumat siang.
Peserta aksi dari berbagai daerah di Soloraya mulai berkumpul di Bundaran Gladak sejak 13.30 WIB. Mereka membawa spanduk memprotes PSN Rempang Eco City, di antaranya bertuliskan ‘Pak Jokowi segera selamatkan Rempang untuk rakyat’,’Penguasa Dzalim Itu Sekutunya Setan’,’Batalkan Proyek Rempang Eco City!’.
“Kita meminta kepada Pak Jokowi lewat Kementerian Perekonomian untuk membatalkan proyek rempang Eco City di mana saat ini masih ada penolakan dari masyarakat,” kata Koordinator Aksi, Endro Sudarsono di sela aksi.
Endro menyebut Pemerintah telah pilih kasih antara investor dan warganya. Hingga saat ini Pemerintah belum memberikan sertifikat kepada warga setempat. Padahal di situ ada masyarakat adat yang sudah tinggal turun-temurun selama ratusan tahun.
Di lain pihak, investor yang akan membangun Rempang Eco City bisa mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tanpa sepengetahuan penduduk setempat.
“Ini artinya ada diskriminasi terhadap warga dan ada privilege untuk investor,” katanya.
Ia juga menyoroti proyek Rempang Eco City yang bakal digarap PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan milik Tommy Winata. Proyek tersebut ditargetkan menarik investasi Rp 381 triliun hingga tahun 2080.
Pihaknya juga menyoroti proses pengosongan lahan yang dilakukan aparat kepolisian yang diduga menggunakan kekerasan. Pengosongan lahan mendapat penolakan warga hingga menimbulkan korban anak-anak sekolah.
“Termasuk meminta kepada Kapolri untuk melakukan pendekatan kepada warga secara lebih humanis dan menjunjung tinggi HAM,” katanya.
Insiden di Pulau Rempang beberapa waktu lalu memicu banyak pihak angkat bicara. Di antaranya Muhammadiyah, NU, hingga Walhi. Endro meminta Pemerintah mendengarkan masukan dari organisasi tersebut.
“Pemerintah tidak perlu mundur isin (malu mencabut keputusan) dalam menerima masukan-masukan dari masyarakat,” katanya.
Doa bersama di kantor Muhammadiyah
Sementara itu di Jakarta pada Jumat (15/9) malam ini rencananya digelar doa bersama oleh Solidaritas Nasional untuk Rempang di Lembaga dakwah Komunitas PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat. Doa bersama itu akan dimulai pukul 18.30 WIB sampai dengan selesai.
“Hingga saat ini situasi masih penuh dengan ancaman dan intimidasi yang memicu gelombang protes dari Warga. Tragedi kemanusiaan karena pembangunan PSN terjadi lagi,” demikian pengantar undangan untuk acara malam ini di kantor PP Muhammadiyah tersebut.
Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mengeluarkan pernyataan sikap atau maklumat terkait polemik relokasi warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang dilakukan pemerintah demi proyek strategis nasional (PSN) Eco City.
Mengutip dari situs resminya, lamriau.id, Maklumat nomor M-441/LAMR/IX/2023 itu diputuskan dalam rapat yang digelar Minggu (10/9) dipimpin Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Datuk Seri H Marjohan Yusuf dan Ketua Dewan Pimpinan Harian Datuk Seri Taufik Ikram Jamil.
“LAM Riau berkesimpulan kejadian ini harus segera dihentikan, karena akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat terutama masyarakat yang perlu dilindungi hak-hak mereka,” demikian dikutip dari laman tersebut, Kamis (14/9).
Ada empat poin penting Maklumat yang disampaikan LAM Riau terkait konflik agraria di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Batam tersebut.
Pertama adalah, “LAM Riau menyesalkan terjadinya bentrokan antara tim gabungan keamanan dengan kelompok masyarakat Melayu di Pulau Rempang dan Pulau Galang yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan baik fisik maupun psikologi.”
Kedua, “Meminta kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk tidak menggunakan cara-cara represif, intimidatif, dan kriminalisasi terhadap masyarakat Melayu yang mempertahankan hak mereka dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan masyarakat Melayu Pulau Rempang dan Pulau Galang.”
Ketiga, LAM Riau meminta kepada para pihak untuk menahan diri dalam proses penyelesaian yang dilakukan mengedepankan azas musyawarah dan mufakat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kemanusiaan.”
“Meminta pemerintah dan pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah bijak dan berkeadilan serta kepastian dalam menyelesaikan masalah dan melindungi hak-hak masyarakat Melayu Pulau Rempang dan Pulau Galang,” demikian poin keempat maklumat atau sikap LAM Riau.
Disebutkan bahwa hasil pertemuan tersebut LAM Riau juga akan mengutus beberapa pengurus ke Kepri untuk memberi dukungan moril agar persoalan segera berlalu.
“Pernyataan sikap LAM ini mewakili seluruh masyarakat Melayu dan masyarakat adat agar tragedi semacam ini tidak terjadi lagi. Semoga negeri kita aman dan damai,” demikian penutup pernyataan LAM Riau.
Sikap Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau
Sementara itu mengutip dari detik, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau berencana mengundang masyarakat Galang Rempang, aparat, dan pihak pemerintah, terutama BP Batam, untuk duduk bersama dalam rangka mencari solusi agar penyelesaian masalah di kawasan Galang Rempang tidak berkepanjangan.
“Penyelesaian kawasan Galang Rempang ini tidak berlarut larut panjang dan LAM Kepri akan nantinya mengajak duduk bersama dengan masyarakat Galang Rempang, Aparat dan pihak Pemerintah khususnya BP Batam,” ucap Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Datok Al Razak Al Hafis dalam keterangan tertulis, Jumat (15/9).
Ia mengimbau masyarakat Kepri untuk tenang dan tidak terprovokasi selama proses relokasi kawasan Rempang. Apalagi kawasan ekonomi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan.
“Jangan terpancing saudara-saudara Melayu termakan isu-isu yang membuat kita menjadi penghalang dalam pembangunan kawasan ekonomi di Galang Rempang,” katanya.
Hal itu Razak ungkapkan pada Rabu (13/9), ia juga mengajak masyarakat Galang Rempang menahan emosi dan menghindari tindakan yang dapat membawa kesulitan bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Pihaknya pun menyayangkan peristiwa yang terjadi Senin lalu (11/9), di Gedung BP Batam, di mana terjadi insiden yang mengakibatkan banyak korban dari pihak polisi, Satpol PP, dan Ditpam Batam dalam aksi yang berakhir ricuh.
“Peristiwa yang terjadi Senin kemarin di Gedung BP Batam yang mana banyak korban yang berjatuhan dari Polisi, Satpol PP, dan Ditpam Batam dalam aksi anarkis yang dilakukan jangan terulang lagi kita berharap,” katanya.
Majelis Melayu Babel kecam aksi represif aparat
Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Bangka Belitung mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap warga Rempang saat bentrok hingga berakhir ricuh.
“(MABMI Babel) mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat di daerah Rempang-Galang, Kepri pada 7-8 September lalu,” tegas Ketua MABMI Babel Dato Marwan Alja’fari DPMP, Rabu (13/9) dikutip dari detikSumbagsel.
Tak hanya mengecam, pihak MABMI Babel juga sudah melayangkan pernyataan sikap ke pimpinan pusat. Hal itu sebagai bentuk solidaritas dari MABMI Babel terhadap saudara-saudara Melayu yang ada di Tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Dato Marwan mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan saudara melayu di Pulau Rempang merupakan langkah untuk mempertahankan tanah leluhurnya sendiri. Termasuk demi menjaga kebudayaan yang sudah turun temurun.
“Mereka adalah rakyat kecil dan penduduk asli yang ingin menikmati hidup di tanah leluhurnya sendiri. Di situ budayanya telah lama terbentuk secara turun temurun. Jika mereka harus dipindahkan ketempat lain yang, kulturnya berbeda,” jelasnya.
“Bagaimana mungkin mereka akan menikmati kehidupannya? Oleh karena itu hak-hak mereka untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman secara batiniah harus dijaga dan diberikan oleh pemerintah setempat,” sambungnya.
Sebelumnya, terjadi konflik antara sejumlah kelompok masyarakat di Pulau Rempang dan aparat kepolisian pada Kamis (7/9). Masyarakat menentang pengukuran lahan yang dilakukan BP Batam untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City.
Diketahui, Pulau Rempang memiliki luas kurang lebih 17.000 hektar, direncanakan untuk menjadi kawasan terintegrasi yang menghubungkan sektor-sektor seperti industri, jasa, perdagangan, perumahan, agro-pariwisata, serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Berkaitan dengan insiden tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD telah meminta agar kepolisian dapat mengatasi aksi massa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, dengan mengutamakan kemanusiaan.
“Kami tetap secara hukum minta aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan,” kata Mahfud MD.
Sementara itu, Kepala BP Batam Muhammad Rudi curhat bolak-balik menghadap ke Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia membahas ganti rugi warga Rempang.
Rudi mengatakan hanya akan merelokasi 3 kampung seluas 2.000 hektare untuk kepentingan PT Makmur Elok Graha (MEG), yakni membangun pabrik kaca dan solar panel hasil investasi Xinyi Group. Lalu, ada 1 kampung lain di luar Rempang yang bakal dibangun tower PT MEG.
Ia mengklaim yang dilakukan BP Batam seluruhnya untuk rakyat. Rudi menyinggung uang sewa per 30 tahun dari seluruh investasi pada 7.572 hektare lahan di Batam senilai Rp1,4 triliun. Sedangkan total biaya untuk merelokasi warga terdampak ke Dapur 3 Sijantung menyentuh Rp1,6 triliun.
“Artinya apa yang kami dapat dari Pulau Rempang? Sewa lahannya semua kami habiskan untuk membangun, demi kesejahteraan rakyat Rempang semuanya,” tuturnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (13/9). (fnr, msa, syd, tim/kid/cnnindonesia)
terusir dari rumah sendiri?