Jakarta – Beredar film dokumenter yang berjudul ‘Dirty Vote’ yang berisi dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman mengatakan sebagian besar isi film tersebut adalah fitnah.
“Perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang bernada asumtif dan sangat tidak ilmiah. Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film tersebut, di rekaman tersebut,” ujar Habiburokhman dalam konferensi pers di Media Center TKN, Jakarta Selatan, Minggu (11/2/2024).
Habiburokhman menilai apa yang disampaikan dalam film tersebut tidak argumentatif dan tendensius. Dirinya juga meminta masyarakat tidak terprovokasi atas narasi dalam film tersebut.
“Ini tindakan-tindakan mereka yang menyampaikan informasi yang sangat tidak argumentatif, tetapi tendensius untuk menyudutkan pihak tertentu,” kata dia.
“Intinya kami menyarankan kepada rakyat, tidak terhasut, serta tidak memprovokasi narasi kebohongan dalam film tersebut,” tambahnya.
Habiburokhman mengatakan ada 3 hal yang disorot dalam film tersebut. Pertama terkait soal penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang dikaitkan dengan suara dalam pilpres yang menurutnya tidak ilmiah.
“Narasi ini sangat tak ilmiah ya dan sangat tak masuk akal. Susah sekali kita mencernanya. Bagaimana misalnya disebut Pak Jokowi menunjuk 20 Pj kepala daerah, jumlah penduduknya katanya lebih dari 50 persen lalu dikaitkan dengan istilahnya orkestrasi pemenangan salah satu paslon,” katanya.
Dirinya juga menyoroti pernyataan dari tokoh lainnya di film tersebut yang menyebutkan banyak terjadi kecurangan dalam pemilu kali ini. Dirinya menilai ucapan itu tidak berdasar karena tidak disebutkan peristiwa kecurangannya di mana.
“Pernyataan ini benar-benar tidak berdasar, tidak disebut peristiwa kecurangan yang mana, peristiwa yang mana, apa buktinya. Bagaimana status pelaporannya, dan bagaimana status penanganan perkaranya. Kan kalau kita bicara soal kecurangan harus faktual,” ungkapnya.
Terakhir yang disorotinya adalah soal tudingan APDESI yang digunakan untuk memenangkan paslon tertentu. Menurutnya hal itu juga tidak mendasar.
“Intinya mengatakan soal kepala desa, APDESI yang dikatakan kepala desa digunakan untuk memenangkan paslon tertentu. Nah ini juga nggak berdasar, karena tidak disebut di kasus mana kepala desa ini sudah kerja, lalu memastikan warga di desanya memilih Paslon tertentu. Bagaimana caranya,” sebutnya.
Habiburokhman berpikir bahwa film itu disengaja diluncurkan pada masa tenang. Hal itu dilakukan karena elektabilitas paslon nomor 2 sudah diatas 50 persen.
“Nah ini karena mungkin Elektabilitas Prabowo-Gibran terus meroket, bahkan sudah tembus batas psikologis aturan 50 persen plus satu suara, maka dilakukan cara-cara yang ini. Kami yakin (film) ini pasti nggak laku, di hati rakyat,” ungkapnya.
Adapun dalam film itu berisikan pernyataan dari 3 pakar hukum Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Mereka menjelaskan terkait dugaan kecurangan dalam pemilu kali ini.
Disinggung dalam film tersebut yakni dugaan pengangkatan Pj kepala daerah untuk urusan elektoral, dan sorotan terhadap netralitasnya. Ada pula tudingan adanya menteri di sejumlah paslon dan dikaitkan dengan dugaan kampanye terselubung.
Kata Bawaslu Usai Disinggung Gagal Awasi Pemilu di Dokumenter ‘Dirty Vote’
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI disorot dan disebut inkompeten dan gagal dalam film dokumenter ‘Dirty Vote’. Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja angkat bicara terkait hal tersebut.
“Silakan kritik kami, proses sedang berjalan, kami tidak ingin proses-proses ini dianggap tidak benar, namun pada titik ini Bawaslu sudah melakukan tugas fungsinya dengan baik, tapi tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat silahkan,” kata Bagja di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Minggu (11/2).
Rahmat menegaskan Bawaslu sudah bekerja sesuai perundang-undangan yang ada. Rahmat juga meminta masyarakat untuk menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan konflik menjelang hari pencoblosan.
“Hal-hal yang bisa menimbulkan konflik dan lain-lain, lebih baik dihindarkan karena sekarang menjelang masa pemungutan suara. Jangan sampai masa pemungutan suara ini terganggu gara-gara hal tersebut,” kata dia.
“Namun hak kebebasan berekspresi, berpendapat, apa yang diungkapkan oleh teman-teman adalah hak yang dilindungi konstitusional demikian juga hak dan tugas Bawaslu dijamin diatur oleh undang-undang juga,” imbuhnya.
Sebagai informasi, dokumenter ‘Dirty Vote’ ini baru dirilis hari ini. Adapun dalam film itu berisikan pernyataan dari 3 pakar hukum Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Mereka menjelaskan terkait dugaan kecurangan dalam pemilu kali ini.
Mulanya, Bivitri menjelaskan terkait dugaan kecurangan dalam Pemilu. Termasuk tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Presiden boleh berkampanye. Menurut Bivitri beberapa hal tersebut seharusnya bisa diatasi oleh Bawaslu sebagai pengawas.
“Sekarang semua penyalahgunaan wewenang ini siapa sebenarnya yang bisa menindak. Kita punya Bawaslu,” kata Bivitri.
Tak hanya itu, Feri Amsari pun melontarkan kritik serupa kala salah satu pasangan calon peserta Pilpres melakukan pelanggaran. Feri menilai Bawaslu tidak kompeten dan terkesan gagal sebagai pengawas. Pasalnya Feri menyebut Bawaslu hanya memberikan sanksi teguran bagi pelanggar alih-alih memberikan sanksi yang dapat membuat jera.
“Saya ingin bercerita tadi dengan menuturkan soal Bawaslu. tentu saja segala kecurangan itu harus ditangani oleh Bawaslu, dan ini merupakan tugas Konstitusional nya untuk mengawasi setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Tetapi faktanya Bawaslu inkompeten apa saja kira-kira kasus yang menceritakan betapa gagalnya Bawaslu mengawasi proses penyelenggaraan pemilu,” kata Feri.
“Bawaslu hanya berani memberikan sanksi teguran, padahal nyata nyata harusnya ada sanksi yang menjerakan agar peristiwa tidak berulang,” imbuhnya. (detik)