Jakarta -Rupiah ditutup melemah mendekati Rp16 ribu per dolar AS pada perdagangan awal pekan ini.
Pelemahan 61 poin hingga level Rp15.934 alias minus 0,38 persen mengundang kekhawatiran. Terlebih, tren buruk ini sudah menjangkiti mata uang Garuda sejak Mei 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun bersuara soal pelemahan rupiah ini. Ia mengatakan inflasi AS masih cukup tinggi yang direspons The Fed dengan mengeluarkan sinyal kenaikan suku bunga acuan dalam waktu cukup lama atau higher for longer.
“Ini yang menyebabkan banyak terjadinya capital flowing back ke AS, menyebabkan dolar index menguat di 106. Pak Gubernur (Bank Indonesia) sebelumnya mengatakan di 93, berarti dolar AS itu kuat secara global,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Senin (23/10).
Ia berjanji Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan menyinkronisasikan kebijakan moneter dan fiskal. Harapannya, jika pemicu pelemahan nilai tukar rupiah berasal dari negara lain, seperti AS, dampaknya bisa dimitigasi.
“Dan kita minimalkan (dampaknya), baik terhadap nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas sistem keuangan. Itu akan terus kita lakukan secara intensif,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan pelemahan rupiah sepanjang Oktober 2023 menyentuh 420 point atau melemah 2,6 persen month to date (mtd). Bahkan, Josua mengklaim ini adalah pelemahan terdalam sepanjang Oktober.
Ia lantas merespons positif kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 25 basis point ke level 6 persen. Menurutnya, langkah ini akan menjaga daya tarik investasi aset dalam denominasi rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi global.
“Beberapa faktor global akan menjadi penyebab utama rupiah cenderung terdepresiasi. Indikator ekonomi AS terkini, seperti pasar tenaga kerja, masih menunjukkan kondisi yang resilience sehingga tingkat inflasi meski menurun namun tetap cenderung berada di atas sasaran target 2 persen,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
“Konflik Israel-Hamas yang semakin memanas juga meningkatkan tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah, sehingga mendorong kenaikan harga minyak internasional yang berujung pada ekspektasi semakin sulitnya inflasi global turun secara persisten,” sambung Josua.
Pada akhirnya, ia meramal sentimen eksternal itu meningkatkan risiko higher for longer. Josua meyakini kenaikan suku bunga The Fed masih akan terbuka di sisa tahun ini.
Kondisi ini juga bakal memicu sentimen risk off investor yang memilih mengalihkan dananya ke aset safe haven. Jika kondisi ini terus bertahan, Josua meramal rupiah akan bergerak di rentang Rp15.700 sampai Rp15.900 per dolar AS hingga akhir bulan ini.
“Indikator global penting yang sangat perlu diantisipasi adalah keputusan The Fed di Federal Open Market Committee (FOMC) pada awal November 2023. Jika tone dari The Fed masih cenderung hawkish, maka tekanan pada rupiah dapat terus berlanjut,” tandasnya.
Senada, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky menyebut pelemahan rupiah didominasi oleh faktor eksternal. Kekhawatiran suku bunga AS akan kembali naik menjadi salah satu sentimen utama.
Ia mengamini bahwa nilai tukar yang fluktuatif akan sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar. Riefky menyebut kondisi ini juga menjadi tidak ideal untuk makroekonomi.
“Kalau kita lihat tren depresiasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di berbagai negara berkembang lainnya. Sehingga kalau bicara stabilitas ekonomi dalam negeri, ini memang bukan dipengaruhi faktor domestik,” tuturnya.
“Justru, kalau sampai akhir 2023 saya melihat (rupiah) akan kembali menguat lagi. Saya melihat ada faktor overshotting di jangka pendek. Rupiah akan stabil di kisaran Rp15.000-Rp15.500,” prediksi Riefky hingga akhir 2023.
Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo juga setuju bahwa perekonomian Indonesia masih oke di tengah pelemahan rupiah ini. Menurutnya, faktor eksternal masih mendominasi lesunya mata uang Garuda terhadap dolar AS.
Sentimen dari dalam negeri hanya satu, yakni imbal hasil aset portofolio yang masih rendah. Ini berujung pada larinya aliran modal asing.
“Secara fundamental, kinerja perekonomian domestik cukup solid, inflasi terkendali, surplus neraca perdagangan berlanjut, dan indeks manajer pembelian (PMI) masih dalam zona ekspansi. Sehingga pelemahan rupiah masih lebih berat disebabkan oleh faktor global,” jelas Banjaran.
Ia lantas mempertimbangkan sikap BI dalam meredam pelemahan rupiah. Jika langkah ini efektif, Banjaran meramal rupiah akan bergerak pada rentang Rp15.665 hingga Rp16.290 pada akhir 2023 mendatang.
Pelemahan nilai tukar bisa merugikan dan menguntungkan sejumlah pihak. Ilustrasi. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono).
Siapa yang Untung dan Buntung?
Banjaran membagi pihak-pihak yang bakal diuntungkan dan dirugikan dalam pelemahan rupiah ini.
Banjaran mengatakan eksportir akan mendulang cuan dari rapuhnya mata uang Garuda. Dengan kondisi seperti ini, harga barang ekspor menjadi relatif lebih murah bagi masyarat di negara tujuan ekspor.
Harga yang lebih kompetitif ini berpotensi mendorong permintaan barang ekspor. Pada akhirnya, eksportir akan memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Di lain sisi, importir akan meringis. Pelemahan rupiah akan menimbulkan imported inflation yang dapat meningkatkan inflasi secara umum dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Tak cuma importir dan masyarakat umum yang akan gigit jari, pemerintah juga bakal dibuat pusing dengan pelemahan rupiah.
“Berdasarkan sensitivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap asumsi makro, setiap pelemahan rupiah Rp100 rupiah per dolar AS dibandingkan dari asumsi APBN, berpotensi meningkatkan defisit APBN Rp3,1 triliun, antara lain akibat penambahan biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM),” tutupnya. (skt/sfr/CNN Indonesia)