Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan PSI. Usia minimal 40 tahun tetap menjadi syarat bagi capres dan cawapres.
Dalam sidang, salah satu hakim konstitusi membacakan soal sejarah dari adanya pembatasan usia minimum dan maksimum capres dan cawapres.
“Pembatasan usia minimum dan maksimum capres dan cawapres. Awalnya sudah diatur dalam UUD 1945. Lalu berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soekarno pada orde Lama hingga pemilihan umum pertama di bawah rezim Orde Baru pada tahun 1971,” ujar Hakim Agung Konstitusi, Arief Hidayat, saat sidang putusan, Senin (16/10/2023).
Ia menjelaskan, dalam kaitannya dengan UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri negara, tidak mengatur perihal batas minimum usia untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Untuk itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum Perubahan UUD 1945 berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IMPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR II/1973).
“Berkenaan dengan syarat orang Indonesia asli telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, selain mengatur perihal syarat orang Indonesia asli tersebut untuk Presiden dan Wakil Presiden, mengenai batas usia untuk dapat dipilih oleh MPR sebagai Presiden dan wakil Presiden telah berusia 40 (empat puluh) tahun diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b TAP MPR IV/1973,” ujarnya.
“Selanjutnya, berdasarkan Konsiderans Menimbang huruf b, karena TAP MPR II/1973 dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan demokrasi maka TAP MPR I/1973 diganti dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/1999 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR VI/1999),” sambungnya.
Arief mengatakan, sekalipun terjadi pergantian yang berkenaan dengan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden, itu tidak mengalami perubahan pengaturan, yakni orang Indonesia asli yang telah berusia berusia 40 tahun.
Ia pun mengutip beberapa pernyataan politikus mengenai batas usia capres dna cawapres ini dari buku IV ‘Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1’. Persyaratan Presiden yang mengkaitkan dengan usia mengemuka pertama kali pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19, 23 Februari 2000, dengan agenda dengar pendapat dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Anton Reinhart dari UKI yang berisi:
“Kemudian perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.”
Arief melanjutkan, masih dalam rangkaian agenda dengar pendapat, pada Rapat PAH I Ke- 26, tanggal 3 Maret 2000, Irma Alamsyah dari Kowani mengusulkan agar syarat Presiden telah berumur minimal 40 tahun. Dalam usia tersebut, baik pria maupun wanita dianggap sudah cukup matang dalam kepemimpinan, baik dari segi fisik maupun pikiran.
Sementara itu, pada Rapat PAH I Ke-34, tanggal 24 Mei 2000, dengan agenda membahas usulan Fraksi, F-PDIP melalui juru bicaranya, Soewarno, mengusulkan:
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya tiga puluh lima tahun.” Bukan empat puluh, sekurang-kurangnya.”
Arief menyampaikan bahwa pada akhirnya, PAH BP MPR menyepakati dua alternatif yang kemudian dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, pada tanggal 23 Oktober 2001. Berikut kedua alternatif yang terkandung dalam pasal 6 tersebut:
Alternatif satu, ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2), Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Lalu alternatif dua, bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah dijatuhi hukum pidana dan mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
“Kedua alternatif tersebut dimusyawarahkan dalam rapat Komisi A tanggal 8 November 2001 yang menghasilkan rancangan yang telah dirumuskan oleh tim perumus. Berkenaan dengan hal itu, Jakob Tobing selaku Ketua Komisi A Ke-5 MPR, tanggal 8 November 2001 yang menghasilkan rancangan yang telah dirumuskan oleh tim perumus,” tutur Arief.
Rumusan tersebut kemudian disampaikan pada Rapat Paripurna MPR 2001 Ke-6, tanggal 8 November 2001 dan disahkan menjadi salah satu materi perubahan ketiga UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 diubah menjadi:
1. Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indoensia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan
2. Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, persoalan batas usia Presiden termasuk persoalan yang pengaturannya dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yakni untuk diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan penelusuran dan pelacakan kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945 itu, Arief mengemukakan bahwa Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal Presiden adalah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, sehingga jangan sampai karena persoalan usia padahal telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftar dini sebagai Presiden maka pengubah UUD bersepakat untuk penentuan persoalan usia diatur dengan undang-undang.
Dengan kata lain, penentuan usia minimal Presiden dan Wakil Presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.
MK Tolak Gugatan PSI
Diketahui hari ini Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan PSI. Usia minimal 40 tahun tetap menjadi syarat bagi capres dan cawapres.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (15/10).
Putusan ini diketok oleh sembilan hakim konstitusi.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK Arief Hidayat merunut pembentukan UUD 1945 soal syarat usia capres/cawapres. Dalam runutan itu dimasukkan sebagai ranah kebijakan pembuat UU. MK juga menolak argumen PSI soal Perdana Menteri Sjahrir yang berusia di bawah 40 tahun.
“Sebab bukan kebiasaan atau konvensi,” kata Arief Hidayat.
MK juga menolak alasan PSI soal menteri yang tidak ada minimal usia bila menjadi Triumvirat.
“Tidak ada korelasi dengan ketiadaan pengaturan menteri, karena hal ikhwal menteri menjadi hak prerogatif presiden,” ucap Arief Hidayat. (maa/maa/detik)