Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah disahkan menjadi UU Nomor 6/2023. Beleid itu digugat oleh sejumlah elemen buruh dan masyarakat.
Massa buruh yang menggelar aksi di Patung Kuda, Jakarta Pusat memanas. Pantauan di lokasi, Selasa (2/10/2023), salah satu kelompok buruh yang menuntut omnibus law UU Cipta Kerja dicabut mencoba bergerak menggeruduk MK. Namun, kelompok buruh lainnya mencoba menahan massa, alhasil terlibat aksi saling dorong.
Dua orator dari dua aliansi itu mencoba memperingati massa agar tidak saling dorong-dorongan. Selain itu, massa juga membakar spanduk bergambar jajaran majelis hakim MK.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah disahkan menjadi UU Nomor 6/2023.
“Menolak permohonan penggugat,” kata Anwar Usman setelah membuka sidang sebagaimana disiarkan di channel YouTube MK, Senin (2/10/2023).
MK menyatakan dalil gugatan ‘kegentingan yang memaksa’ yang tidak dipenuhi lahirnya Perppu Ciptaker ditolak hakim konstitusi. Sebab, hal itu menjadi kewenangan DPR untuk menilainya.
“Hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar hakim MK Daniel membacakan pertimbangan MK.
Alasan lain, MK menilai lahirnya Perppu Ciptaker karena dampak perang Rusia-Ukraina sehingga bisa dipahami sebagai kegentingan yang memaksa. Apalagi situasi ekonomi baru saja dihantam oleh pandemi COVID-19.
“Fungsi pengawasan oleh DPR dan menempuh rangkaian pembentukan UU di DPR dan akhirnya mendapatkan persetujuan UU 6/2023. Maka penetapan Perppu 2/2022 merupakan kebijakan hukum presiden yang sesuai dengan konstitusi,” ujar hakim MK Guntur M Hamzah.
MK juga menilai Perppu Ciptaker tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum dan jaminan kepastian hukum.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Perppu melanggar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk UU untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu, adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Guntur Hamzah.
Putusan ini tidak bulat. Empat hakim konstitusi tidak sependapat dan membuat dissenting opinion, yaitu Enny Nurbaningsih, Saldi ISra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. (detik)