PADA saat naskah ini ditulis, jumlah korban jiwa akibat gempa bumi di kawasan perbatasan Turkiye dan Suriah sudah melampaui total 25.000 orang meninggal dunia.
Tampaknya gempa Turkiye-Suriah merupakan gempa terbesar pada awal abad XXI. Bendera dikibarkan setengah tiang di seluruh pelosok Turkiye dan Suriah. Dunia berbelasungkawa terhadap Turkiye dan Suriah.
Namun ternyata tidak semua pihak merasa prihatin. Bahkan ada yang meyakini musibah dahsyat yang menimpa sesama mamusia tersebut sebagai kutukan Tuhan mirip kisah apokaliptik yang meluluh-lantakkan Sodom dan Gomorrah.
Secara kodrati memang manusia memiliki beberapa jenis naluri. Naluri yang paling mendasar sebab langsung terkait dengan kehidupan adalah naluri untuk bertahan hidup. Namun ada pula naluri yang sebenarnya tidak terlalu perlu, yaitu naluri mengejek sesama manusia yang kebetulan sedang menderita akibat mengalami musibah.
Maka pada saat sesama manusia mengalami musibah seperti misalnya terdampak gempa bumi senantiasa ada saja sesama manusia yang sedang tidak mengalami musibah tega mengejek sesama manusia yang terdampak musibah.
Lebih parah lagi adalah mengejek sesama manusia yang terkena musibah dikaitkan dengan suku, bangsa, ras, dan agama. Bahkan ada yang meyakini bahwa gempa bumi merupakan kutukan Tuhan terhadap umat beragama tertentu yang dianggap berdosa maka justru wajib dikutuk.
Suatu keyakinan yang absurd serta anakronis dengan era globalisasi di mana praktis sudah tidak ada daerah apalagi negara yang 100 persen semua warganya beragama yang sama. Misalnya, Kota Jerusalem kini dihuni oleh warga Israel yang beragama saling beda satu dengan lainnya mulai dari Yudaisme, Islam, Nasrani, Bahia sampai Agnostik bahkan Atheis.
Di Iran masa kini Zoroasterisme masih eksis sehingga punya wakil di parlemen Iran. Memang ideologi Republik Rakyat China adalah komunisme yang secara prinsip tidak percaya Tuhan, namun masih cukup banyak warga Republik Rakyat China masa kini secara resmi menganut agama Buddha, Nasrani, dan Islam.
Maka pada hakikatnya mengejek sesama manusia yang sedang mengalami derita musibah gempa bumi atau kecelakaan lalu lintas atau penyakit fatal atau apapun jenis musibahnya bukan merupakan perilaku manusia yang beradab.
Sebagai pembelajar apa yang disebut sebagai humor serta pendiri Perhimpunan Pencinta Humor dan Pusat Studi Humorologi, penulis tidak pernah tertawa atas lelucon tentang penderitaan sesama manusia.
Penulis sadar, bahwa setiap saat, saya sendiri bisa mengalami musibah yang sama dengan mereka yang dipaksa untuk menjadi bahan lelucon tidak lucu tersebut.
Di Indonesia, khususnya mereka yang tega mengejek sesama warga yang tertimpa musibah perlu dicurigai apakah mereka benar-benar warga Indonesia.
Apabila mereka ternyata warga Indonesia, maka masih perlu dipertanyakan apakah mereka benar-benar sudah menghayati kemudian mengejawantahkan Pancasila menjadi kenyataan. Sebab perilaku mengejek sesama manusia yang sedang tertimpa musibah jelas sama sekali tidak sesuai dengan sukma adi luhur yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. (kompas)
Penulis: Jaya Suprana, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan