PADA 20 Oktober 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pesan penting dalam pidato pelantikannya.
Pidato yang berlangsung selama kurang lebih satu jam menyoroti berbagai isu penting, mulai dari korupsi, kemiskinan, lapangan kerja, hingga swasembada pangan.
Diangkatnya isu-isu tersebut memunculkan rasa optimisme rakyat akan pemerintahannya dalam lima tahun kedepan.
Presiden langsung bergerak cepat. Sehari setelahnya, Prabowo langsung melantik jajaran kabinetnya agar bisa bekerja untuk kepentingan rakyat.
Kemudian, empat hari setelah pelantikan, presiden, bersama wakil presiden, mengadakan rapat kabinet perdana. Dalam rapat kabinet tersebut, presiden memberikan arahan pembangunan Indonesia kedepan berdasarkan pidato pelantikannya.
Namun, dalam rapat tersebut, ada satu pernyataan yang menarik perhatian saya. Presiden memberikan arahan – kalau bukan ultimatum – kepada seluruh kabinetnya untuk bekerja keras.
Pernyataannya seperti ini: “Begitu banyak orang yang mau mengabdi, tidak ada orang di sini yang kebal, yang tidak patuh, tidak bekerja keras untuk bangsa dan rakyat, saudara saya beri wewenang, copot segera, suruh tinggal di rumah aja daripada bikin susah kita.”
Retorika Kuat atau Rencana yang Tegas?
Pernyataan tersebut perlu kita apresiasi karena menunjukkan komitmen presiden untuk membangun Indonesia mulai dari para pemimpinnya.
Presiden pun juga tidak ragu untuk menunjukkan otoritas yang dimilikinya dan ketegasan tentang kinerja.
Menurut Wodak dan Meyer (2001), ketika power dikaitkan dengan bahasa, dia terjalin erat dengan kekuasaan. Misalnya, bahasa menunjukkan dan mengekspresikan kekuasaan, serta terlibat di mana ada pertentangan dan tantangan kekuasaan.
Presiden memberikan rambu-rambu jelas, keras, dan tegas. Sangat minim bahasa yang diperhalus. Kepribadian bahasa (linguistic personality) tersebut memang sesuai dengan latar belakang militer.
Menurut Zulean (2005), struktur komunikasi militer antara lain hierarkis, aturannya jelas, perannya jelas, dan konsistensi dalam aksi. Alhasil, presiden akan menyampaikan informasi sesuai fakta dan realita di lapangan.
Agaknya, speech portrait tersebut yang akan menjadi ciri khas Prabowo: tegas, lugas, dan sederhana, serta berorientasi pada tindakan dan aksi nyata. Itulah gambaran yang akan dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perspektif Communicology, gaya komunikasi tersebut menyimpulkan bahwa Presiden Prabowo merupakan sosok yang memegang otoritas tertinggi, dari segi komunikasi interpersonalnya maupun bahasa tubuhnya.
Sikap ini perlu ditunjukkan agar jajaran kabinetnya bisa menyelesaikan amanah dan tanggung jawabnya serta bekerja keras. Dengan demikian, presiden bisa merealisasikan visinya yang telah disampaikan pada pidato pelantikan 20 Oktober lalu.
Dibalik gaya komunikasi tersebut, tujuan besarnya adalah untuk kepentingan rakyat. Seperti apa yang telah diucapkan pada pidato pelantikan, presiden, beserta wakil presiden dan jajaran kabinetnya, akan berjuang keras demi kepentingan rakyat dan bangsa.
Rakyat pun mengharapkan bahwa gaya komunikasi dan kepemimpinan Presiden Prabowo membawa pada transparansi dan kelugasan.
Scacco & Coe (2016) menyimpulkan bahwa komunikasi presiden tetap berpegang teguh pada gagasan mendasar tentang kepresidenan yang informatif, transparan, dan bermartabat.
Artinya, dalam konteks arahan presiden kepada menterinya, presiden menginginkan adanya kerja nyata yang transparan, transformatif, dan informatif.
Tuntutan yang diberikan presiden kepada menterinya merupakan hal lumrah. Dengan 58 persen rakyat Indonesia memilih Prabowo-Gibran, tanggung jawab besar berada di pundak mereka.
Terlebih, menurut survei dari Indikator Politik Indonesia 2024, sebanyak 85,3 persen responden yang memiliki keyakinan bahwa Prabowo akan memimpin Indonesia dengan baik.
Angka tersebut menunjukkan keterikatan secara emosi sekaligus kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan saat ini.
Dengan harapan dan ekspektasi yang besar, retorika dan gagasan yang telah diucapkan oleh Presiden Prabowo akan direalisasikan dengan semaksimal mungkin.
Korupsi, Pangan, dan Kemiskinan
Sebagai presiden, ada beberapa isu yang disoroti dalam pidato pelantikannya. Isu tersebut adalah korupsi, pangan, dan kemiskinan.
Tiga masalah ini sifatnya struktural, umum, dan sesuai dengan kegelisahan rakyat Indonesia. Sehingga, apa yang disampaikan presiden nampaknya relevan dengan realita yang terjadi.
Dalam konteks Teori Relevansi, menurut Zakowski (2014), komunikasi yang dilakukan berdasarkan niat komunikator dan apa yang ingin didengar oleh audiens.
Presiden mengasumsikan bahwa masalah-masalah yang disebutkan merupakan isu urgen yang perlu diselesaikan oleh pemerintahannya, sehingga presiden menyebutkannya dalam pidatonya.
Melihat realitanya, hal itu bisa dikatakan tepat adanya. Misalnya, isu korupsi, di mana Presiden Prabowo dengan berani mengakui, “… terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan, dengan pengusaha-pengusaha yang nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik. Janganlah kita takut melihat realita ini.”
Mempertimbangkan kesopanan dalam bahasa, pernyataan tersebut memang tergolong keras dan lugas. Namun, karakteristik dan latar belakang presiden yang mendorongnya berani menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya.
Secara relevansi, presiden berbicara atas nama rakyat, dan menampilkan emosi yang ditandai dengan intonasi lebih tegas. Terlebih, pada tahun 2024, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia ada di angka 34.
Presiden sangat menyadari kondisi tersebut, sehingga dia tidak segan menyebutkan berbagai profesi yang terindikasi korupsi.
Presiden pun juga mengatakan, “Kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita, cucu-cucu kita.”
Garis bawahi kata masa depan dan cucu-cucu, ini menunjukkan kepekaan presiden atas situasi negara Indonesia.
Kemudian, presiden juga menyoroti masalah pangan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Global Food Security Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 69 dari 113 negara dengan skor 60,2.
Angka paling rendah adalah di sisi ketersediaan (peringkat 84) serta keberlanjutan dan adaptasi (peringkat 83).
Dalam rapat kabinet, presiden pun juga menghimbau para menterinya untuk tidak bangga Indonesia bisa masuk anggota G20 apabila masih ada rakyat yang kelaparan.
Oleh karena itu, presiden menargetkan dalam waktu 4-5 tahun, Indonesia mencapai swasembada pangan. Ini target ambisius, tetapi penting karena pangan merupakan kebutuhan dasar bagi rakyat Indonesia.
Bagi presiden, Indonesia harus tercukupi soal pangan. Terlebih, angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 21,6 persen berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022.
Terakhir adalah isu kemiskinan, yang mana masalah ini masih belum bisa terselesaikan. Masih ada 25,22 juta orang miskin berdasarkan data BPS per Maret 2024.
Selain itu, jumlah kelas menengah menurun. Saat ini, menurut data BPS Agustus 2024, ada 137,5 juta jiwa yang tergolong aspiring middle class, meningkat lebih dari 8 juta dibandingkan tahun 2019.
Isu-isu itulah yang sekiranya akan menjadi fokus pemerintahan kedepan. Semua isu yang disampaikan mencerminkan goodwill dari pemerintahan saat ini.
Tujuan untuk membuat Indonesia menjadi lebih maju dan sejahtera. Intensi itulah yang disampaikan presiden kepada seluruh rakyat Indonesia.
Tentu masih banyak isu-isu lainnya, tetapi menyelesaikan isu-isu tersebut perlu kolaborasi dari banyak sektor, mulai dari pangan, pemberdayaan perempuan, penegakan hukum, hingga pendidikan tinggi. Sehingga, apa yang diucapkan oleh presiden saat pelantikan sangat relevan.
Selain itu, dari sisi Logos, Ethos, dan Pathos, presiden menyentuh sanubari rakyat. Dalam pidatonya, kata “Kita” disebutkan sebanyak 69 kali dan “Harus” sebanyak 35 kali.
Dari data di atas, presiden berupaya menempatkan diri di sisi rakyat, terlebih secara etika, presiden adalah pemegang kekuasaan rakyat.
Mandat rakyat harus dijalankan secara konsisten dan sesuai atas kemauan rakyat. Kata “Harus” juga mencerminkan bahwa apa yang diinginkan oleh rakyat harus dijalankan tanpa terkecuali.
Dampaknya adalah, pidato presiden tentang bahan pokok mendapat sentimen positif. Survei dari Indikator Politik Indonesia 2024 mengungkapkan bahwa 30,5 persen responden percaya pemerintahan Presiden Prabowo mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, 18,9 persen responden berharap pemerintahan saat ini mampu mengatasi masalah pengangguran.
Sebagai langkah awal untuk menyelesaikan isu-isu multidimensi, presiden menginstruksikan jajaran kabinetnya untuk menjadi contoh bagi rakyat Indonesia.
Presiden mengatakan bahwa semua pejabat, dari semua tingkatan harus memberi contoh baik dan menjalankan pemerintahan sebersih-bersihnya.
Kemudian langkah berikutnya, Presiden Prabowo telah menginstruksikan para menterinya untuk mempelajari kembali semua proyek supaya tidak ada lagi proyek mercusuar. Fokusnya adalah swasembada pangan karena situasi global yang mendorong hal tersebut.
Komitmen dan tanggung jawab besar
Pemerintahan Presiden Prabowo memiliki komitmen besar untuk menyelesaikan isu-isu yang menjadi perhatian publik. Komitmen tersebut dimulai dengan penunjukkan menteri dan wakil menteri. Ada 48 menteri dan 55 wakil menteri yang akan membantu presiden merealisasikan visinya.
Cukup banyak kritik yang mengatakan bahwa komposisi kabinet Merah Putih sangat besar. Namun, argumen yang disampaikan oleh presiden bisa dipahami.
Menurut presiden, jumlah tersebut mencerminkan kondisi Indonesia yang besar, sehingga membutuhkan banyak menteri.
Presiden pun menyadari kondisi tersebut, di mana dia mengatakan, “Jumlah ini saya sadari memang bisa dianggap tergolong besar, tetapi memang bangsa kita bangsa yang besar.”
Pernyataan ini secara implisit mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo telah memikirkan masalah tersebut dengan utuh dan penuh pertimbangan.
Presiden juga menyadari akan ada kritik atas keputusannya untuk menambah jumlah menteri dan kementerian. Oleh karena itu, secara emosi, presiden memahami kritik tersebut.
Namun, semua langkah-langkah tersebut dibutuhkan guna mencapai visi lima tahun kedepan. Harapannya adalah bahwa menteri dan wakil menterinya akan berkoordinasi dan bersinergi secara optimal.
Presiden pun juga menggunakan Uni Eropa sebagai contoh, di mana untuk mengelola Eropa membutuhkan 27 menteri di bidangnya masing-masing.
Terlepas dari kritik yang ada, publik memercayai pemerintahan Presiden Prabowo selama lima tahun kedepan. Banyak yang menantikan kinerja 100 hari pertama kabinet Merah Putih: apa inovasinya dan progres penyelesaian masalahnya seperti apa.
Saya memiliki harapan terhadap pemerintahan saat ini, khususnya pada komitmen terhadap ekonomi, pendidikan, kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Ada optimisme bahwa lima tahun kedepan, kesejahteraan makin merata, kapabilitas manusia Indonesia semakin inovatif dan kreatif, serta kualitas pendidikan semakin baik dan pengangguran semakin berkurang. (kompas).
Penulis: Taufan Teguh Akbari, Dosen Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.