Dua orang ibu rumah tangga, Ny. Apriani Kahe Ane Iha (27), dan Ny. Shinta Banja Uru (23), ditemui di Desa Pambota Njara, Senin (22/8/2011), dengan memelas menceritakan kondisi yang mereka hadapi, terutama persoalan air bersih.
“Untuk mendapatkan air bersih, harus berjalan sekitar 15 kilometer menuju kecamatan tetangga yang terdapat sumber mata air. Kalau musim kemarau begini semua orang pergi ke Mata Air Kalela di Desa Makaminggit, Kecamatan Goa,” jelas Ny. Apriani.
Setiap hari, katanya, mereka berangkat pagi dan pulang malam hari untuk mendapatkan air bersih.
Selain itu, untuk mendapatkan air bersih mereka terpaksa harus membawa bekal dari rumah. Pasalnya, mereka harus menunggu hingga mendapatkan tumpangan untuk mengangkut gentongan air minum.
“Kadang-kadang kalau tidak ada kendaraan sampai malam, kami terpaksa tumpahkan air dan titip jerigen di orang punya rumah dan besok datang lagi,” tutur Ny. Apriani.
Hal senada disampaikan Ny. Shinta Banja Uru (23). Dia menjelaskan, kalau tidak mendapatkan tumpangan, mereka terpaksa harus pulang dengan tangan kosong. Selain itu, untuk memenuhi kebuthan air, mereka terkadang juga meminjam kepada tetangga mereka yang masih memiliki stok. “Muat di oto yang dari Sumba Barat ke Waingapu, kalau tidak kami pulang rumah dan besok baru datang lagi,” katanya.
Dua orang ibu rumah tangga lainnya, Ny. Lakamboni (54) dan Ny. Kristina Lawajati (42), mengatakan, untuk menghemat air bersih mereka terpaksa harus mengurangi jatah mandi. Tak jarang, setiap anggota keluarga mandi sekali seminggu. Mau bagaimana lagi, kalau mau mandi setiap hari, air untuk minum tidak ada,” ujar Kristina.
Rata-rata warga di desa mereka, lanjutnya, tidak mampu untuk membeli air bersih yang dijual oleh PDAM. Harganya mahal Rp 350.000/tangki. “Jangankan untuk beli air bersih, untuk makan saja terpaksa kita cari iwi (ubi hutan),” tandasnya.
Persoalan kekurangan air bersih di Desa Pambota Njara memicu masalah ikutannya. Warga setempat menderita diare, mencret, gatal-gatal dan infeksi saluran pernapasan akut (Ispa).
“Hampir semua anak di sini kena ispa,” kata Ny. Kristina.
Hal senada disampaikan Ny. Lakamboni (54). Dia mengatakan, bak penampung air yang dibuat oleh setiap kepala keluarga (KK) hanya bisa digunakan hingga bulan April. Ketika memasuki musim panas, air yang ditampung pada saat musim hujan sudah habis.
Sementara tuntutan kebutuhan air bersih dalam rumah tangga setiap hari harus dipenuhi. “Masalah air minum di desa ini sudah ada sejak kami kecil. Kami tidak tahu sampai kapan masalah ini diatasi,” tandas Ny. Lakamboni. (Tribunnews)