Meskipun sebagian besar fraksi menyetujui agar RUU disahkan hari ini, pimpinan sidang Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan memilih untuk melakukan voting. “Karena masih ada perdebatan, maka pengambilan keputusan ini akan diambil melalui mekanisme voting,” kata Taufik.
Mekanisme pengambilan keputusan dalam voting adalah dengan menghitung suara per fraksi. Fraksi yang menyetujui agar RUU ini disahkan adalah Demokrat (107 anggota), Golkar (75 orang), PDIP (62 orang), PKS (35 orang), PPP (22 orang), PKB (10 orang). Dengan demikian, anggota DPR yang menyetujui pengesahan RUU Ormas menjadi UU sebanyak 311 orang dari total anggota yang hadir di paripurna 361 orang.
Sementara fraksi yang menolak pengesahan RUU Ormas adalah PAN (26 orang), Gerindra (18 orang), dan Hanura (6 orang), sehingga total anggota DPR yang menolak hanya 56 orang.
Dengan perhitungan suara itu, maka RUU Ormas resmi disahkan menjadi UU. “Setuju (disahkan),” kata mayoritas anggota DPR menjawab pertanyaan pimpinan sidang Taufik Kurniawan.
Sebelum pengesahan UU ini, anggota Fraksi Gerindra Martin Hutabarat sempat menginterupsi untuk meminta pengesahan UU Ormas ditunda. Ia berpendapat UU itu seharusnya disosialisasikan lebih luas kepada masyarakat sebelum disahkan. Sementara anggota Fraksi PAN Ahmad Rubai mengatakan, RUU Ormas belum perlu disahkan karena masih banyak ormas yang menolak.
Di sisi lain, fraksi yang mendukung pengesahan RUU berpendapat RUU Ormas amat penting. “Pasal-pasal ini tidak menghambat kebebasan berserikat. UU ini mengakhiri UU sebelumnya yang dikeluarkan tahun 1985,” kata anggota Fraksi PKS Nur Yasin.
Alasan Muhammadiyah Tolak UU Ormas
Pengurus Pusat Muhammadiyah tetap menolak Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang akhirnya disahkan oleh Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa 2 Juli 2013.
Anggota Lembaga Hikmah Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Nadjamuddin Ramly, menyatakan, UU Ormas berparadigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut untuk melakukan kontrol ketat kepada warga masyarakat, serta memposisikan rakyat sebagai objek dan posisi negara sebagai sangat superior.
"Padahal, dalam perspektif sosiologi hukum, setiap regulasi yang akan dirumuskan senantiasa mengakomodasi kepentingan dan dinamika rakyatnya. Ini berarti harus terjadi simbiosa-mutualisme, yakni adanya kemitraan strategis antara masyarakat dan negara," kata Nadjamudin dalam siaran pers.
Alasan lain mengapa Muhammadiyah menolak RUU ini adalah definisi ormas dalam pasal ketentuan terjadi kerancuan intelektual. UU ini mendefinisikan ormas sangat umum, sehingga tidak memiliki kategorisasi sosiologis, seperti ormas yang sudah mapan, Ormas yang programnya homogen, paguyuban, arisan, pengajian ibu-ibu di RT, geng motor, organisasi lokal, kesamaan hobi atau ormas yang baru berdiri tanpa tujuan tertentu.
Selain itu, menurut dia, RUU Ormas ini diskriminatif, karena tidak mengatur ormas-ormas yang menjadi sayap partai politik. Padahal, mereka ormas bukan parpol yang tidak diatur dalam UU Parpol. "UU Ormas mengatur juga ormas yang berbadan hukum seperti yayasan, padahal UU Yayasan sudah ada, sehingga UU ormas ini memposisikan dirinya sebagai peraturan yang sangat superior," ujar dia.
Ia juga mempersoalkan pendafataran ormas yang akan menjadikan Indonesia kembali memasuki rezim izin dengan sejumlah persyaratan yang rumit, termasuk tidak boleh berpolitik. Padahal, Muhammadiyah selalu berpolitik, namun politik yang dilakukan adalah politik moral.
"Soal pendaftaran ini akan menjadi pasal karet serta akan menjadi alat pemukul bagi rezim yang berkuasa di setiap jenjang. Jika ada pendiri ormas yang tidak dikehendaki oleh rezim penguasa di setiap jenjang, maka Surat Tanda Terdaftar Ormas tidak akan pernah terbit," kata dia.
Berbagai pasal karet dalam UU Ormas dapat dijadikan sebagai alat pemukul bagi rezim berkuasa secara sepihak tanpa proses pengadilan. Muhammadiyah menganggap RUU Ormas tidak diperlukan dan tidak ada urgensinya, karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
"Jika ditelusuri lebih cermat, dapat dipastikan RUU Ormas membawa Indonesia kembali di zaman otoriter dahulu, saat semua ormas dipaksa dan dizalimi untuk berazas tunggal," ujar dia. (viva)